BAB 4. KACAU

Menjelang siang, Rubiana memutuskan untuk bangun. Tubuhnya masih lemah, tapi ia tahu ia tak bisa terus berdiam diri. Ia mengenakan gaun sederhana yang tergantung di lemari, lalu perlahan berjalan keluar kamar.

Koridor rumah itu luas, tapi terasa sunyi. Setiap langkah kakinya bergema, seolah rumah itu menelannya bulat-bulat.

Ia berhenti di depan tangga besar yang mengarah ke ruang bawah. Dari kejauhan, ia mendengar suara langkah kaki berat, Elias.

Rubiana menahan napas, tubuhnya menegang. Elias berjalan menaiki tangga dengan jas hitam, rambutnya masih sedikit basah, sepertinya baru dari luar. Wajahnya tetap dingin, tanpa ekspresi.

Mereka berdua bertemu di pertengahan tangga.

Tak ada sapaan, tak ada salam.

Elias hanya menatapnya sesaat, lalu berkata pelan tapi tegas, "Mulai hari ini, kau tinggal di kamar itu saja. Aku akan mengatur semuanya dengan pengacara. Jangan ikut campur dalam urusanku."

Rubiana menunduk. "Baik."

Elias hendak melangkah pergi, tapi langkahnya terhenti. Ia menatap Rubiana lagi, kali ini lebih lama.

"Katakan pada orang tuamu," katanya pelan, tapi nadanya menahan amarah, "bahwa permainan mereka sudah berakhir."

Lalu tanpa menunggu jawaban, Elias berlalu menuruni tangga, meninggalkan Rubiana yang berdiri membeku di tempat. Ia tak tahu harus merasa apa, marah, takut, atau hancur.

Rubiana hanya mengasihani dirinya sendiri karena harus terjebak dalam situasi yang jauh di luar kendalinya.

Namun di balik kesedihan itu, ada sesuatu yang pelan-pelan tumbuh dalam dirinya: tekad. Seperti selama ini, Rubiana selalu dapat bertahan dalam situasi terberat sekali pun.

Jika dunia menganggapnya lemah, jika Elias memandangnya dengan benci karena dosa yang bukan miliknya, maka ia akan membuktikan bahwa ia berbeda. Bahwa Rubiana bukan Vivian.

Bahwa ia bukan pengganti siapa pun.

Ia menatap punggung Elias yang menjauh dengan mata yang kini mulai mengeras.

Dalam hatinya, ia berjanji, suatu hari, pria itu akan tahu siapa dirinya yang sebenarnya.

Dan pagi itu, di rumah yang dingin dan megah itu, dua jiwa yang sama-sama terluka memulai babak baru dari kisah yang akan mengubah keduanya selamanya.

Sudah tiga hari sejak pagi penuh luka itu.

Tiga hari sejak Elias meninggalkan kamar dengan tatapan dingin dan kata-kata yang membekas seperti pisau di dada Rubiana.

Ia kini tinggal sendiri di kamar kecil di ujung koridor lantai dua, kamar yang dulunya seperti gudang, jendela kecil dengan tirai tebal, debu di sudut-sudut dinding, dan aroma kayu tua yang menua bersama waktu.

Rubiana berusaha membersihkannya sendiri. Tangan lembutnya kini penuh goresan kecil akibat menyapu dan mengelap tanpa alat. Ia tak tahu di mana harus mencari pelayan atau bahan makanan, karena sejak hari pertama, Elias tidak pernah menyebut bahwa ada orang lain di rumah itu.

Dan memang tak ada. Tak satu pun.

Rumah besar itu seperti istana kosong.

Setiap pagi, Rubiana bangun sebelum matahari naik, berjalan perlahan ke dapur yang bersih seolah tidak pernah ada yang memasak di sana, mencoba menyalakan kompor tua hanya untuk memanaskan air. Mencari bahan makanan apa pun yang bisa ia makan.

Sementara itu, Elias hampir tak pernah terlihat. Ia keluar pagi, pulang malam, wajahnya selalu tampak lelah dan dingin. Jas hitamnya tak pernah kusut, langkahnya selalu tegas. Ia seperti bayangan yang hidup hanya untuk menghantui rumahnya sendiri.

Namun Rubiana tahu, pria itu belum tenang.

Setiap kali Elias lewat di koridor, Rubiana bisa merasakan udara menjadi lebih berat. Ada amarah yang belum padam di dalam dirinya, tapi juga sesuatu yang lain: kelelahan, dan rasa bersalah yang terkubur di balik pandangan tajamnya.

Malam-malam pertama, Rubiana sering terjaga mendengar langkah kaki Elias di lantai bawah, langkah-langkah tak beraturan, kadang diikuti bunyi gelas pecah atau pintu yang dibanting. Ia tidak pernah keluar dari kamarnya untuk melihat, tapi ia tahu: pria itu sedang bertarung dengan dirinya sendiri.

Hari ketiga, hujan turun deras.

Langit Boston tampak kelabu, seolah menolak memberi cahaya pada rumah itu. Rubiana duduk di dekat jendela kamarnya, membungkus diri dengan selimut tebal. Suara hujan menjadi satu-satunya teman.

Namun rasa lapar memaksa ia turun ke dapur. Ia menyalakan lampu dapur. Ia mencari roti, tapi yang tersisa hanyalah tepung dan sedikit madu. Tidak ada makanan yang tersisa. Dan tak sengaja Rubiana menjatuhkan wadah-wadah yang ada di sana.

BRAK!

Suara itu bergema ke seluruh rumah.

Rubiana menunduk cepat, hendak memungut wadah yang ia jatuhkan, namun langkah kaki berat terdengar dari arah koridor. Langkah yang ia hafal.

Elias muncul di ambang pintu, wajahnya tegas, jaket hitam masih basah oleh hujan.

Tatapannya tajam menelusuri keadaan dapur, beberapa wadah berceceran, dan Rubiana yang berlutut di lantai dengan tangan mengumpulan yang ia jatuhkan.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Elias datar, namun menggema seperti dentang baja.

Rubiana menunduk, suaranya nyaris berbisik, "Aku lapar, tapi tidak ada-"

"-dengan membuat kekacauan?" potong Elias dingin. Ia berjalan masuk, menghela napas panjang melihat keadaan dapur. "Astaga, sudah kubilang, jangan menyentuh apa pun di rumah ini tanpa izin."

Rubiana menggigit bibirnya, ia berusaha menenangkan suara sendiri, tapi suaranya pecah. "Aku hanya lapar, tidak berniat apa pun."

Elias menatap gadis itu lama. Tatapannya tetap dingin, tapi di sana ada sesuatu, keraguan, mungkin iba, yang cepat sekali ia sembunyikan. Ia melangkah ke arah lemari logam besar, membukanya, lalu mengambil beberapa kaleng makanan dan sepotong roti kering. Ia meletakkannya di atas meja tanpa berkata apa pun.

"Makan ini," suruh Elias.

Rubiana menatapnya, mengambil makanan itu. "T-terima kasih."

Elias tidak menjawab. Ia memutar badan, tapi langkahnya berhenti di ambang pintu. "Dan bersihkan dapur ini setelahnya. Aku tidak suka kekacauan."

Kemudian pria itu pergi. Suara langkahnya menghilang di balik lorong panjang.

Rubiana menatap punggungnya yang menjauh, lalu menunduk. Tangannya gemetar saat membuka kaleng itu. Di antara rasa takut dan rasa malu, entah mengapa, ada sedikit kehangatan yang sulit dijelaskan.

Mungkin karena untuk pertama kalinya dalam tiga hari, Elias tidak meninggalkannya tanpa suara.

Malam itu, badai datang. Dan lampu sekejap mati, membuat suasana cukup menakutkan.

Angin mengetuk jendela dengan keras, dan rumah besar itu berderit di setiap sudutnya. Dalam kegelapan, Rubiana duduk meringkuk di tempat tidurnya, menatap langit-langit yang sesekali diterangi kilat.

Tiba-tiba terdengar suara keras dari luar kamar, sesuatu jatuh. Gadis itu terlonjak.

Hatinya berpacu cepat. Rumah itu terlalu sunyi, dan setiap suara terasa seperti ancaman. Ia memegang ujung selimut, menahan napas. Kemudian suara langkah itu datang, berat, perlahan, mendekat.

Pintu kamarnya terbuka. Elias berdiri di sana, membawa senter yang memancarkan cahaya terang ke dalam ruangan.

"Kau baik-baik saja?" tanya Elias dengan suara terdengar serak, tapi tidak sekeras biasanya.

Rubiana menelan ludah. "A-aku baik-baik saja, hanya kaget."

"Listrik padam," katanya pelan, melangkah masuk. "Jangan panik."

Ia meletakkan senter di meja kecil di samping tempat tidur. Cahaya hangat menyoroti ruangan sederhana itu, selimut tipis, dinding lembap, dan Rubiana yang tampak pucat di bawah cahaya. Elias menatap sekeliling, lalu pada akhirnya matanya jatuh pada wajah gadis itu.

"Kau masih lapar?" tanya Elias.

Rubiana mengangguk.

Elias menatapnya sejenak, lalu tanpa banyak bicara ia keluar lagi. Suara langkahnya hilang beberapa menit, lalu kembali dengan dua mangkuk sup yang masih hangat.

Ia meletakkannya di meja, lalu duduk di kursi kayu di sudut kamar.

"Sup ayam. Bukan makanan istimewa, tapi lebih baik dari pada kelaparan," katanya datar, tanpa menatap langsung.

Rubiana memandangnya dengan mata membesar. "Mr. Spencer?"

"Diam dan makan," suruh Elias.

Nada perintah itu tak sekeras biasanya, tapi cukup membuat Rubiana patuh. Ia mengambil sendok, meniup sup panas itu perlahan, lalu meneguknya sedikit. Rasanya seperti makanan restoran keluarga.

Elias duduk diam, menatap jendela. Cahaya kilat sesekali menyoroti wajahnya yang serius.

Rubiana mencuri pandang padanya. Ada bayangan kelelahan di mata pria itu, seolah badai di luar tak seberapa dibandingkan badai di dalam dirinya sendiri.

"Terima kasih," ucap Rubiana akhirnya, pelan tapi tulus.

Elias menoleh sedikit. "Untuk apa?"

"Untuk tidak membiarkanku kelaparan," jawab Rubiana.

Elias tidak langsung menjawab. Hanya mendengus pelan, lalu berkata, "Aku tidak tega membiarkan seseorang mati di rumahku. Bukan berarti aku peduli."

Tapi nada suaranya tidak sekeras kata-katanya.

Rubiana menatapnya lama. "Tapi tetap saja ... terima kasih."

Elias menghela napas, lalu berdiri. "Kau harus tidur. Badai ini akan lama. Aku akan ada di bawah."

"Baik," kata Rubiana.

Sebelum keluar, ia sempat berhenti di ambang pintu. "Dan berhenti memanggilku Mr. Spencer. Aku sudah menikah denganmu, meski dengan kebohongan. Panggil aku Elias."

Pintu tertutup pelan, meninggalkan Rubiana yang terpaku di tempat. Ia menggenggam selimutnya, jantungnya berdegup aneh.

Malam itu, untuk pertama kalinya, suara langkah Elias tidak terdengar menakutkan. Hanya ... sunyi.

Mungkin besok Rubiana akan meminta izin untuk kembali ke rumah orang tuanya dna memberitahu bahwa kebohongan ini sudah terbongkar.

Walau tampaknya Rubiana tidak tahu hal buruk apa yang didapatkannya di sana. Penyesalan bahwa ia pernah menyebut itu sebagai rumah.

Terpopuler

Comments

Deyuni12

Deyuni12

hm
Elias tertipu wajah polos Rubiana,kalo tau aslinya Rubi seorang hacker,ntah apa yg akan engkau lakukan

2025-10-07

1

mustika ikha

mustika ikha

wah belum tau saja elias, klw rubiana masih polos tp aslinya ganas, semangaaaat rubi perlihatkan teringat mu💪💪💪

2025-10-06

2

Miss Typo

Miss Typo

Rubi mau pulang ke rumah orang tuanya kok aku deg2an, pasti akan terjadi sesuatu padanya secara semua dah terbongkar Elias pasti marah dan mungkin perusahaan orang tua Rubi hancur

2025-10-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!