Cahaya pagi menyelinap lembut melalui celah tirai yang berat dan berdebu, menembus udara dingin kamar yang semalam menjadi saksi dari sesuatu yang tak seharusnya terjadi. Udara itu terasa berat, menyesakkan, seolah menyimpan sisa-sisa jeritan yang tertahan. Rubiana terbangun perlahan, kelopak matanya terasa berat, tubuhnya nyeri di setiap gerakan kecil yang ia lakukan. Rasa sakit menjalar dari tubuh ke dada, seperti pisau dingin yang diselipkan ke dalam kulitnya, pelan, tapi menyakitkan.
Seketika napasnya tercekat. Di tepi ranjang, di sana, duduk sosok yang membuat darahnya berhenti mengalir sesaat; Elias Spencer.
Pria itu duduk diam, tegak, dengan pandangan tajam yang menatap lurus ke arah lantai, seolah sedang menimbang sesuatu yang tak terkatakan. Jemarinya yang besar dan kokoh menggenggam lututnya, sementara rahangnya menegang. Sekilas, wajahnya tampak dingin dan tanpa emosi, tapi sesuatu dalam sorot matanya menunjukkan bahwa pikirannya tak tenang.
Rubiana refleks menarik selimut ke dadanya, menutupi tubuh yang penuh tanda merah kebiruan hasil dari malam yang kelam. Ia meringis. Rasa sakit itu seperti cambuk yang membuatnya sadar bahwa apa yang terjadi semalam bukan mimpi buruk, itu kenyataan yang menusuk.
Tubuhnya menggigil. Entah karena dingin, atau karena ketakutan.
Elias menoleh perlahan, menatapnya. Tatapan itu tajam, penuh kuasa, namun anehnya juga mengandung sesuatu yang samar, penyesalan, mungkin. Atau kebingungan.
"Jangan banyak bergerak dulu," katanya dengan suara rendah tapi tegas.
Nada suara pria itu dingin, namun tidak lagi setajam malam sebelumnya. Ia memandang Rubiana dengan ekspresi yang sulit diuraikan, antara ingin bertanya dan menahan amarah.
Rubiana tak berani menjawab. Ia hanya menunduk, memeluk selimutnya lebih erat, bibirnya bergetar halus.
Elias menghela napas panjang, kemudian menatap langit-langit, seolah mencoba menenangkan pikirannya sendiri.
"Sebelum aku keluar dari kamar ini, aku perlu tahu sesuatu," ucap Elias akhirnya, dengan nada datar namun mengandung tekanan. "Dan kau akan menjawab dengan jujur. Mengerti?"
Rubiana menggigit bibir bawahnya, menahan gemetar. Ia hanya mengangguk pelan.
"Apakah kau ...," Elias berhenti sejenak, menatapnya dalam, "... Vivian Adams?"
Nada itu berubah menjadi tegas, seolah setiap hurufnya adalah vonis.
Tubuh Rubiana menegang. Ia menelan ludah, matanya membesar karena terkejut mendengar nama itu disebut. Vivian, saudari kembarnya. Nama yang seharusnya menggantikan dirinya di sini. Nama yang menyebabkan semua kekacauan ini.
"B-bukan. Aku bukan Vivian," jawab Rubiana dengan suara bergetar.
Elias menatapnya dalam diam beberapa detik, seolah menimbang kebenaran dari setiap kata yang keluar dari bibir pucat itu. Lalu ia memijit pelipisnya, menarik napas berat, seperti seseorang yang baru saja menyadari kesalahan fatal.
Tangan besar itu menekan keningnya sendiri, lalu ia berdiri, berjalan beberapa langkah menjauh dari tempat tidur. Suara langkah kakinya di lantai yang dingin terdengar berat dan penuh beban.
"Tentu saja," kata Elias, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Tentu saja ... aku seharusnya sadar. Dia tidak mungkin si jalang itu."
Rubiana mengeratkan pegangan pada selimut. Ia dapat merasakan ada amarah dalam diri Elias.
Elias menatap Rubiana lagi, kini lebih intens. "Kau masih suci. Hal yang tidak mungkin Vivian miliki."
Kata-kata itu meluncur datar, tapi cukup untuk membuat Rubiana memalingkan wajah dengan air mata yang mulai menetes tanpa bisa ditahan. Ia tak mampu membantah, tak bisa berbicara. Karena setiap kenangan semalam membuat dadanya terasa seperti diremas.
Elias mendengus pelan, langkahnya kaku saat kembali mendekat. Ia menatap gadis itu dari atas ke bawah, lalu berkata dengan nada rendah, "Siapa kau sebenarnya?"
Rubiana menggenggam ujung selimut erat-erat, seolah itu satu-satunya pelindung yang ia punya dari dunia yang terlalu kejam.
"Aku Rubiana Adams. Saudari kembar Vivian," jawab Rubiana.
Elias terdiam. Untuk sesaat, hanya bunyi napas mereka berdua yang terdengar. Udara pagi yang seharusnya menenangkan kini terasa menggigit.
"Saudari kembar?" ulang Elias pelan, seolah sedang mencerna kata itu. "Dan kau yang datang ke altar kemarin?"
Rubiana mengangguk. "Aku dipaksa." Suaranya nyaris berbisik. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Vivian kabur saat pagi. Dad dan Mom memaksaku untuk menggantikan Vivian walau aku tidak mau. Mereka bilang kalau aku tidak melakukannya, nama baik keluarga kami akan hancur. Mereka bahkan mengancam-"
"Cukup!" potong Elias tiba-tiba, nadanya meninggi, membuat Rubiana terkejut.
Ia menatap gadis itu tajam, rahangnya mengeras. "Jadi keluargamu berpikir bisa mempermainkan Elias Spencer begitu saja?Mereka menukar pengantin, tanpa sepengetahuanku, hanya untuk menyelamatkan reputasi mereka?"
Suara pria itu kini bergetar karena amarah yang ditahan. Rubiana yang mendengar hanya bisa menunduk takut.
"Kau tahu siapa yang mereka tipu, Miss. Adams?" Elias melangkah mendekat, suaranya semakin rendah tapi menusuk. "Kau tahu berapa banyak hal yang telah kulakukan untuk sampai ke titik ini? Aku tidak menikahi Vivian karena cinta, aku menikahinya karena janji yang harus kutepati pada adikku. Pada Liana."
Rubiana mengangkat wajah perlahan, matanya basah. Elias bilang kalau adik perempuannya mendapatkan rundungan dari Vivian.
Elias tersenyum getir, tapi senyuman itu tak mengandung kebahagiaan sama sekali. "Kau tidak tahu, tentu saja. Liana adikku. Dia dihancurkan oleh Vivian. Saudarimu. Gadis yang kau bela dengan menggantikan posisinya sebagai pengantinku."
Rubiana terdiam, darahnya seakan berhenti mengalir. "Dihancurkan?"
Kata itu seperti duri yang menancap di dadanya.
"Vivian mempermalukannya di depan seluruh kampus, menelanjanginya, menyebarkan videonya, dirundung, sampai Liana tak sanggup lagi menatap dunia. Adikku yang tidak bersalah harus mengalami hal seperti itu," Elias berkata lirih tapi dingin, matanya menatap kosong ke arah jendela.
Rubiana membekap mulutnya, menahan tangis yang nyaris pecah. Hatinya bergetar hebat, matanya membesar tak percaya.
"Vivian melakukan semua itu?"
"Dia melakukannya," potong Elias tajam, tatapannya kembali menusuk. "Setiap kata yang keluar dari bibirmu akan membuatku semakin muak. Karena kau memiliki darah yang sama dengannya."
Keheningan menyelimuti kamar. Hanya bunyi detak jam dinding yang perlahan terasa menyayat. Rubiana gemetar, menunduk, menahan isak yang menggumpal di tenggorokannya.
Elias berdiri lama di sana, kedua tangannya terkepal di sisi tubuh. Antara amarah dan keterkejutan, antara dendam dan kesadaran pahit bahwa gadis di depannya bukanlah orang yang harus menanggung semua itu.
Beberapa saat kemudian, ia menghela napas berat, menatap Rubiana sekali lagi. Tatapan itu kini tak hanya dingin, ada sedikit rasa bersalah di baliknya, tapi tertutup rapat oleh keangkuhan.
"Jadi, kau dikorbankan oleh keluargamu sendiri," kata Elias akhirnya. "Lucu. Keluarga sepertimu benar-benar akan melakukan apa pun demi menyelamatkan nama mereka."
Rubiana menatapnya dengan air mata berlinang. "Aku tidak tahu apa pun, Mr. Spencer. Aku tidak tahu kalau Vivian telah melakukan hal seburuk itu."
Ia berbalik, berjalan ke arah meja kecil di dekat jendela, mengambil jaket yang tergantung di sana. Gerakannya cepat, teratur, tapi setiap langkahnya terasa berat, seperti menahan sesuatu yang ingin meledak dari dalam dadanya.
Rubiana menatap punggungnya yang tegap namun tegang. Ia ingin berkata sesuatu, meminta maaf, atau sekadar menjelaskan bahwa ia sama sekali tak tahu, tapi lidahnya kelu. Setiap kali ia membuka mulut, hanya isak yang keluar.
Elias menoleh setengah, tatapannya kembali tajam. "Aku tidak tahu siapa yang lebih kejam, saudarimu yang menghancurkan hidup orang lain, atau orang tuamu yang menjualmu untuk menutupi kebusukan mereka."
Wajah Rubiana memucat. Kata-kata itu seperti cambuk di wajahnya. Air mata kembali mengalir tanpa bisa dihentikan. Ia tahu dengan jelas bahwa apa yang Elias katakan benar, bahwa Rubiana juga selama ini selalu merasa kalau ia hanya seperti barang investasi.
Elias menatapnya lama, seolah menimbang apakah ia harus menambahkan sesuatu. Tapi akhirnya, ia hanya berkata dengan nada rendah namun dingin, "Urus dirimu. Kau berantakan," katanya.
Lalu ia membuka pintu dan keluar, meninggalkan aroma parfum maskulin yang samar, meninggalkan Rubiana sendirian dalam ruang yang terasa membeku.
Rubiana memeluk selimut, masih di atas tempat tidur. Tubuhnya terasa seperti bukan miliknya lagi. Luka fisik mungkin bisa sembuh, tapi luka batin yang ditinggalkan malam itu terasa dalam. Ia merasa seperti boneka yang dijatuhkan tanpa belas kasihan. Air mata menetes satu per satu, jatuh di atas punggung tangannya.
"Vivian," bisik Rubiana lirih. "Apa yang sebenarnya kau lakukan?"
Ia menatap ke luar jendela, ke langit yang perlahan berubah terang. Di luar sana, dunia tetap berjalan, burung-burung bernyanyi, matahari bersinar seperti tak ada yang salah. Tapi di dalam kamar itu, hidup Rubiana seolah berhenti di antara rasa bersalah, sakit, dan kebingungan.
Ia meraih selimut, berusaha menutup dirinya lebih rapat. Rasa perih di tubuhnya masih menyiksa. Setiap kali ia mencoba bergerak, nyeri itu datang seperti gelombang yang memukul tanpa henti. Tapi yang paling menyakitkan bukan luka di tubuh, melainkan pandangan dingin Elias yang membuatnya merasa kotor, tak pantas, dan tak berharga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Ir
ditatap dingin balas tatap dingin lah Rubi, aku ga iklas ya kalo kamu masih baik sama si dispenser ini
2025-10-06
1
Miss Typo
ayo kuat Rubi jangan lemah, jangan mau diremehkan direndahkan oleh Elias.
tak sumpahin Elias akan bucin ke Rubi suatu saat nanti
tiap baca nama Elias Spencer, aku bacanya Elias dispenser 🙈
2025-10-08
1
Deyuni12
agaiiiiiin
2025-10-05
1