bab 5.Pilihan.

Clara berlari terengah hingga keluar dari gerbang sekolah. Nafasnya kacau, seragam putih abu-abu sudah basah karena gerimis. Ia berdiri di tepi jalan, matanya liar mencari cara agar bisa cepat sampai rumah.

“Bagaimana aku bisa sampai ke rumah? Jaraknya… terlalu jauh kalau aku harus berlari!” pikirnya panik. Dadanya terasa sesak oleh cemas, seolah waktu terus menertawakan langkahnya yang terhambat.

Suara deru mesin motor besar tiba-tiba terdengar dari arah belakang. Seorang siswa dengan jaket hitam dan helm full-face mengendarai motor gede, baru saja keluar dari parkiran sekolah.

Tanpa pikir panjang, Clara nekat berdiri di tengah jalan, kedua tangannya terangkat. “Berhenti! Tolong berhenti!!” teriaknya dengan suara bergetar.

Rem motor berdecit keras, ban meninggalkan jejak di aspal basah. Motor itu berhenti hanya beberapa inci di depan Clara. Siswa itu menoleh, wajahnya tak terlihat jelas di balik kaca helm.

“Hei! Kau gila ya berdiri di tengah jalan? Mau mati?” suaranya terdengar berat, teredam oleh helm.

Clara menelan ludah, matanya berkaca-kaca. “Tolong… aku harus pulang sekarang juga! Aku… aku butuh tumpangan!” katanya hampir menangis.

Siswa itu terdiam sejenak, seolah menimbang. “Aku bahkan nggak kenal kamu…” gumamnya dingin.

Clara maju selangkah, meraih lengan jaketnya dengan gemetar. “Aku mohon…ini soal nyawa. Kalau aku telat sedikit saja… aku akan kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupku.”

Hujan gerimis membasahi wajah Clara, air mata bercampur dengan air hujan. Siswa itu menunduk sedikit, menatap Clara yang bergetar di depannya. Entah apa yang ia lihat dalam sorot mata gadis itu, tapi hatinya tergerak.

Ia menghela napas, lalu menggerakkan kepalanya memberi isyarat. “Naik. Pegangan yang kuat.”

Clara tertegun, lalu buru-buru mengangguk. “Terima kasih… terima kasih banyak!”

Ia naik ke boncengan motor, tangannya refleks meraih erat jaket hitam itu. Suara mesin meraung keras, lalu motor melaju kencang menembus jalanan yang licin oleh hujan.

Angin malam menghantam wajah Clara, membuat rambutnya beterbangan. Dadanya berdegup kencang, bukan karena takut, melainkan karena waktu terus berdetak.

Dalam hati, Clara berbisik penuh doa. Tolong… jangan biarkan aku terlambat lagi. Aku harus sampai sebelum semuanya terlambat. Mama… tunggu aku.

Tak beberapa lama kemudian, akhirnya mereka sampai ke rumah Clara.

Motor gede itu berhenti tepat di depan rumah Clara. Dengan cepat Clara turun dari boncengan, langkahnya terburu-buru, matanya langsung terpaku pada pintu rumah yang masih tertutup rapat.

“Terima kasih… sungguh terima kasih. Aku… aku tidak akan pernah melupakan pertolonganmu seumur hidupku.” Ucapnya terburu-buru, suaranya serak oleh tangis dan hujan.

Ia tidak menoleh lebih lama, segera berlari menuju pintu rumah dengan jantung berdegup kencang. Tangannya gemetar saat mengetuk keras-keras, lalu membuka pintu dengan terburu-buru.

Sementara itu, sosok pengendara motor itu masih duduk di atas motornya, helmnya perlahan ia angkat. Dari balik helm, tampak wajah tampan dengan sorot mata tajam yang penuh rasa ingin tahu. Rambutnya sedikit basah, bibirnya melengkung samar.

Tatapan matanya mengikuti Clara yang menghilang di balik pintu rumah. Ada sesuatu dalam sorot mata gadis itu yang membuatnya tak bisa berpaling. “Clara…” gumamnya lirih, seakan nama itu meninggalkan jejak aneh di hatinya.

Dialah Finn Morgan yaitu kakak kelas terkenal di sekolah, idola para gadis dengan reputasi badung sekaligus karismatik. Tak ada yang berani macam-macam padanya, tapi diam-diam banyak gadis yang rela apa saja demi sekedar mendapat perhatiannya.

Finn menyalakan kembali motornya, namun matanya sempat menatap lama ke arah pintu rumah Clara, senyum samar menghiasi wajahnya. “Menarik,” bisiknya pelan.

Clara tak tahu… pria yang baru saja menolongnya adalah sosok yang dalam kehidupan sebelumnya menjadi tunangan yang dijodohkan oleh ayahnya. Seorang pewaris keluarga kaya, masa depan cerah, pilihan ideal semua orang. Namun Clara dulu menolak dengan keras hanya karena hatinya untuk Arman.

Ia memilih hidup penuh luka bersama Arman, daripada menerima perjodohan dengan Finn.

Namun kini… takdir memberinya kesempatan kedua.

Di dalam rumah, Clara menutup pintu dengan terburu-buru, terengah, dan matanya langsung mencari sosok yang paling ia cintai. “Mama! Mama di mana?!” teriaknya panik, langkahnya berlari ke ruang tamu.

Clara berlari ke ruang tamu, namun ruangan itu kosong. Jantungnya berdegup kencang, matanya liar mencari ke setiap sudut.

“Mama!!” panggilnya lagi, suaranya pecah.

Langkahnya terhenti ketika melihat pintu ke halaman belakang terbuka lebar, tirai tipis yang basah oleh hujan berayun pelan. Tanpa pikir panjang, Clara berlari ke arah sana.

Begitu tiba di halaman, tubuhnya seketika membeku. Mamanya tergeletak di tanah berumput yang basah oleh gerimis, wajahnya pucat, napasnya tersengal lemah.

“Mama!!” Clara berteriak, segera berlutut di sisi tubuh ibunya. Tangannya gemetar saat meraih wajah sang ibu, matanya penuh air mata, tapi pikirannya mencoba tetap tenang.

Ia menempelkan telapak tangannya ke hidung ibunya, memastikan napasnya masih ada. “Syukurlah… masih bernafas,” bisiknya, meski air matanya jatuh deras.

Dengan cepat Clara memiringkan posisi tubuh sang ibu agar tidak tersedak, lalu membuka kerah baju agar pernapasannya lebih lega. “Mama, bertahan ya… tolong jangan tinggalkan aku,” ucapnya panik tapi berusaha tenang.

Clara menoleh ke arah pintu belakang, lalu berteriak sekuat tenaga. “Budi!! Sari!! Cepat kemari!!!”

Tak lama, dua pelayan rumah berlari tergopoh-gopoh, wajah mereka panik.

“Nyonya jatuh pingsan! Cepat, panggil ambulans sekarang juga!!” Clara bersuara tegas, meski tubuhnya sendiri bergetar.

“Baik nona!!” salah satu pelayan segera berlari ke dalam untuk menghubungi ambulans, sementara yang lain membantu Clara menahan tubuh mamanya agar tetap stabil.

Clara terus menggenggam tangan ibunya erat, seolah tidak ingin melepaskan. “Mama… tolong bertahan. Aku sudah pulang… aku di sini… jangan tinggalkan aku, ma.”

Di kejauhan, suara sirene samar-samar mulai terdengar, mendekat ke arah rumah.

Clara mengusap wajah mamanya yang basah oleh hujan, berbisik penuh harap. “Kali ini… aku tidak akan terlambat lagi.”

Berkat pertolongan pertama Clara, mamanya kembali sadar karena mamanya lemah akhirnya petugas ambulan membawanya ke rumah sakit.

Di tempat lain…

Arman berjalan sendirian menyusuri lorong sekolahnya yang sudah mulai sepi. Langkahnya terasa berat, seakan setiap ubin yang ia lewati menyimpan kenangan yang pernah ia coba lupakan.

Tangannya menyentuh dinding, lalu berhenti di depan jendela besar. Hujan yang masih turun pelan membuat kaca dipenuhi titik-titik air. Di sana, Arman menatap pantulan dirinya sendiri.

Wajah yang dulu penuh semangat kini tampak lelah dan penuh penyesalan. “Kenapa aku dulu begitu bodoh…” gumamnya lirih.

Ia menutup mata, bayangan masa lalu berkelebat Clara dengan tatapan penuh cinta, Loly dengan senyum yang selalu ia rindukan. Ia ingat jelas, hanya demi memanasi Loly, ia dulu menerima cinta Clara dan dari sanalah semua jalan hidupnya berbelok.

Arman mengepalkan tangan. “Tidak… aku tidak boleh mengulang kesalahan yang sama. Kali ini, aku harus berani menghadapi perasaanku sendiri.”

Suara langkah kaki tiba-tiba terdengar dari arah samping lorong. Arman menoleh, dan seketika jantungnya berdegup lebih kencang.

Seorang gadis berdiri tak jauh darinya, memegang payung yang masih basah oleh hujan. Loly. Rambut panjangnya sedikit lembap, wajahnya tetap sama seperti yang selalu ia kenal lembut, tapi dengan tatapan tajam yang selalu menusuk ke dalam hatinya.

Arman terdiam, tubuhnya kaku. Ia tak menyangka bisa bertemu kembali dengan Loly di tempat ini, pada saat seperti ini.

“Loly…” suaranya serak, hampir tak terdengar.

Gadis itu menoleh, dan untuk beberapa detik, waktu seakan berhenti. Sorot mata Loly menatap Arman lama, seolah mencari sesuatu yang berbeda dari dirinya.

Arman menarik napas panjang, lalu melangkah maju. “Aku… aku harus bilang sekarang. Kalau tidak, aku akan menyesal seumur hidupku.”

Ia berdiri tepat di hadapan Loly, hujan deras di luar jendela seakan mengiringi detik-detik itu. “Aku… aku mencintaimu sejak dulu.Tapi hatiku… dari dulu, sampai sekarang… hanya untukmu, Loly.”

Suara Arman bergetar, tapi matanya menatap Loly dengan ketulusan yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya.

Reaksi Loly tak terduga ia memegang tangan Arman, dan mencium pipi Arman. “Aku sudah lama menunggumu mengatakannya, Arman. ”

Arman pun tidak menyangka semudah itu Loly menerimanya, senyum bahagia tergambar jelas diwajahnya.

Arman merasa masa depannya akan berubah lebih baik daripada bersama Clara, apakah ini hal terbaik untuk Arman dan Clara?

Mereka berdua memilih jalur yang berbeda untuk masa depan mereka sendiri, akankah pilihan mereka itu merupakan keputusan yang terbaik untuk masa depan mereka.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!