Lift terbuka dengan suara cling, dan udara dingin dari ruang redaksi menyambut Emma kembali ke dunia nyata.
Laptop, laporan, deadline — semua hal normal yang seharusnya bisa membuatnya melupakan satu hal.
Sayangnya, “satu hal” itu sekarang duduk di ruang kaca berjarak dua belas meter dari mejanya.
Liam Dawson.
Dengan jas abu-abu gelap, wajah tanpa ekspresi, dan tangan yang terus mengetik seolah seluruh dunia menunggu hasil kerjanya.
Emma menghela napas dan duduk.
“Baiklah,” gumamnya. “Aku profesional. Aku dewasa. Aku tidak akan menatap dia setiap dua menit.”
“Baru bilang nggak mau menatap, tapi udah nengok tiga kali,” suara Ryan muncul dari belakang, sambil menaruh dua cangkir kopi di meja.
Emma menatapnya. “Aku tidak—!”
“Empat kali,” sambung Ryan dengan senyum licik.
Ia menyerahkan satu gelas padanya. “Kopi latte tanpa gula, seperti pesananmu.”
Emma menerima kopi itu dengan tatapan curiga. “Kau hafal pesanan kopi semua orang di kantor?”
“Enggak. Cuma kamu.”
Nada suaranya ringan, tapi ada sesuatu di baliknya.
Emma mengerjap. “Kau terlalu cepat akrab, tahu nggak?”
Ryan mengangkat bahu. “Aku magang, bukan robot. Lagipula, kalau aku mau belajar dari senior, harus tahu dulu minuman favoritnya, kan?”
Emma mencoba menahan tawa, gagal, lalu akhirnya menggeleng. “Kau benar-benar aneh, Ryan.”
“Terima kasih, aku sering dengar itu,” katanya bangga.
---
Siang itu, ruang redaksi seperti kapal yang hampir tenggelam oleh tumpukan kerjaan.
Emma mengetik cepat, menyunting artikel lifestyle tentang “10 Cara Menjaga Hubungan Profesional dengan Mantan” — ironi yang bahkan semesta pun tampak menikmatinya.
Sementara itu, Liam berdiri di depan ruangannya, berbicara dengan beberapa staf senior. Suaranya rendah, tapi setiap kali terdengar, Emma merasa seolah udara di sekitarnya ikut menegang.
Ia berusaha fokus, tapi matanya sesekali melirik — dan tentu saja, Liam sedang melihat ke arahnya juga.
Tatapan mereka bertemu.
Sekilas saja. Tapi cukup untuk membuat waktu berhenti sepersekian detik.
Ryan menepuk meja di depan Emma, membuatnya kaget. “Jangan bilang kamu lagi ngelamunin bos?”
Emma buru-buru memalingkan wajah. “Aku cuma... menatap ruangan. Kebetulan pandangan jatuh ke arahnya.”
“Pandanganmu jatuh ke dia kayak gravitasi, Emma,” kata Ryan sambil menahan tawa. “Kalau gini terus, aku yang jatuh duluan.”
Emma menatapnya tajam. “Apa maksudmu?”
Ryan tersenyum kecil. “Maksudku... aku yang jatuh cinta duluan.”
Kalimat itu meluncur begitu saja, ringan tapi memukul jantung Emma seperti dentuman kecil yang tidak ia duga.
Ia menatap Ryan — cowok muda dengan senyum cerah dan mata jujur itu — dan untuk sesaat, lupa harus membalas apa.
Ryan cepat-cepat menambahkan, “Santai aja, itu cuma lelucon. Mungkin. Sedikit.”
Emma memutar mata dan pura-pura sibuk lagi. Tapi pipinya hangat.
---
Menjelang sore, rapat mendadak diumumkan. Tim editorial dipanggil untuk meninjau ulang konsep kampanye digital yang disebut-sebut “terlalu berani.”
Emma masuk ruang rapat dengan catatan di tangan — hanya untuk menemukan Liam sudah di sana, duduk di kursinya, memandangi layar tablet.
“Baik,” kata Liam tanpa menatap siapa pun. “Kita bahas ulang ide interactive series yang muncul pagi tadi.”
Emma menegakkan tubuh. Ia tahu ini ide “bohongan” hasil spontan Ryan, tapi sekarang tak ada jalan mundur.
Ia mulai menjelaskan dengan cepat — bagaimana konsep itu bisa melibatkan audiens lewat komentar, pilihan, dan interaksi sosial media.
Liam memperhatikan dengan serius.
Ketika ia menatap langsung ke Emma, ada perubahan kecil di wajahnya. Dingin, tapi tidak lagi sepenuhnya formal.
“Menarik,” katanya akhirnya. “Tapi kamu yakin bisa memimpin proyek ini?”
“Bisa, Pak,” jawab Emma mantap, meski dalam hati ia panik.
“Kami,” tambahnya cepat, melirik Ryan. “Saya dan Ryan akan mengerjakannya bersama.”
Ryan yang sedang sibuk mencatat tiba-tiba mendongak. “Apa? Aku—eh, ya! Kami siap, Pak!”
Liam menatap mereka berdua lama. “Baiklah. Kalian berdua pegang proyek ini.”
“Terima kasih, Pak,” ucap Emma lega.
Tapi sebelum ia sempat duduk, Liam menambahkan pelan,
“Dan Carter… tolong jangan ulangi kebiasaan lama.”
Emma berhenti. “Kebiasaan apa, Pak?”
Tatapan Liam sedikit melembut. “Bekerja terlalu keras sampai lupa makan.”
Hening. Seketika seluruh ruangan terasa lebih sunyi.
Emma hanya bisa menatapnya — terkejut, bingung, dan entah kenapa... sedikit tersentuh.
Liam menunduk ke tabletnya lagi, seolah tak pernah mengatakan apa-apa.
Ryan melirik Emma dengan alis terangkat tinggi. “Oke, kalau itu bukan sinyal masa lalu, aku nggak tahu lagi apa.”
Emma menatapnya dengan pandangan membunuh. “Diam, Ryan.”
Tapi bibirnya tersenyum sedikit.
---
Sore menjelang malam. Kantor mulai sepi.
Emma duduk sendiri di meja, menyelesaikan proposal proyek. Ryan sudah pamit duluan, tapi meninggalkan sticky note kecil di laptopnya bertuliskan:
> “Kau hebat hari ini. Jangan biarkan masa lalu bikin kamu lupa masa depan.” — R.”
Emma menatap catatan itu lama.
Di luar jendela, lampu kota New York mulai menyala satu per satu.
Dan di kejauhan, di ruang kaca yang remang, Liam masih di mejanya — memandangi sesuatu.
Entah laporan kerja… atau seseorang.
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments