Enam tahun telah berlalu sejak Elise meninggalkan rumah besar keluarganya. Dari seorang putri bangsawan yang bergelimang harta, kini ia hanyalah seorang wanita sederhana yang bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah perusahaan di Italia.
Elise memilih menghapus nama belakangnya, menjadikan dirinya hanya Elise. Semua demi satu alasan, Alexander—putranya.
Alexander, bocah berusia enam tahun, tumbuh menjadi anak laki-laki yang tampan, dengan garis wajah tegas dan tatapan yang sering kali membuat orang dewasa merasa seolah pikiran mereka ditelanjangi.
Meskipun masih belia, Alex memiliki kecerdasan yang luar biasa.
Elise tahu, itu bukan semata-mata hasil didikan biasa, melainkan warisan darah. Darah pria misterius yang benihnya tertanam dalam rahimnya enam tahun silam.
**
Pagi itu, ketenangan Elise terusik ketika ponsel murahnya bergetar. Panggilan dari sekolah Alex.
"Nyonya Elise? Mohon segera datang ke sekolah. Ada masalah dengan putra anda."
Tanpa berpikir panjang, Elise menanggalkan sarung tangan karetnya, menitipkan ember pada rekannya, lalu bergegas menuju halte bus terdekat.
Sesampainya di sekolah elite itu, suasana tampak riuh. Beberapa anak berkerumun, guru-guru terlihat sibuk menenangkan.
Elise menerobos masuk hingga tiba di ruang guru.
Di sana, Alexander duduk dengan wajah tenang. Tidak ada tangisan, tidak ada penyesalan.
Sementara di hadapannya, seorang bocah lelaki sebaya sedang menangis tersedu-sedu, darah mengalir dari hidungnya. Wajahnya lebam.
Seorang wanita paruh baya yang berdandan mewah berdiri sambil menunjuk wajah Alex.
"Bocah biadab! Dia memukul putraku hingga berdarah. Anak kampungan seperti ini tidak pantas bersekolah di sini!"
Elise menatap Alex, mencoba mencari penjelasan.
"Alex, katakan pada Mama. Mengapa kau melakukan ini?" tanyanya lembut namun tegas.
Alex membisu. Tatapannya dingin, lurus, seolah menantang siapa pun yang berani meremehkannya.
Karena frustrasi, Elise menepuk pundak Alex cukup keras. "Jawab, Alexander!"
Bocah itu mengangkat wajahnya. Matanya memerah, bukan karena tangis, melainkan karena menahan gejolak emosi.
Lalu dengan suara bergetar ia berujar, "Jika mereka memanggilku anak haram, aku tidak peduli. Tapi mereka menyebut Mama jala-ng. Aku tidak akan tinggal diam!"
Ruangan itu mendadak sunyi. Elise tertegun. Ia ingin marah, ingin menegur, namun di sisi lain, ada rasa haru dan sakit yang beradu di dadanya.
"Lihatlah! Anak tidak beretika!" Wanita paruh baya itu kembali menjerit, "Pantas saja tidak punya ayah, ibunya pasti—"
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Elise berdiri. Matanya menyala tajam. Tanpa ragu, ia menjambak rambut wanita itu.
"Sekali lagi kau berani membuka mulutmu," desis Elise tajam, "aku pastikan kau akan keluar dari ruangan ini dengan wajah hancur!"
Semua orang terpana. Guru-guru berusaha melerai, sementara wanita itu menjerit histeris.
Alex hanya bisa membelalakkan mata. Ia tak menyangka ibunya yang selalu menekannya agar bersikap manis bisa melakukan tindakan se brutal itu di sekolah elite.
Sesaat kemudian, Alex memejamkan mata, lalu menggeleng pelan. "Ternyata Mama lebih gila daripada aku," gumamnya datar.
Setelah suasana mereda, Elise menarik Alex keluar dari ruangan itu. Wajahnya masih memerah dan napasnya tersengal.
"Nyonya Elise!" seorang guru mencoba menghentikan, "tindakan anda ini akan kami laporkan—"
"Laporkan saja. Aku tidak peduli," balas Elise cepat, lalu menggandeng tangan putranya.
Mereka tidak tahu saja siapa Elise sebenarnya. Jika mereka tahu, mereka tidak akan berani berkata seperti ini.
***
Sesampainya di area parkir, Elise berjongkok di hadapan Alex.
"Kamu tidak boleh bersikap seperti itu lagi, Alex. Mama tidak ingin kamu menjadi anak berandalan."
Alex menatap ibunya, tatapan dingin yang sangat mirip dengan seseorang yang bahkan tak berani Elise bayangkan.
"Aku bukan berandalan, Ma. Aku hanya tidak bisa membiarkan orang menginjak harga diri Mama. Kalau untuk itu aku harus disebut liar, biarlah."
Elise terdiam. Ia ingin membantah, namun bibirnya kelu.
"Dan Mama," Alex menambahkan pelan, "kalau memang tidak suka aku bertindak, mengapa Mama sendiri tadi menjambak wanita itu? Ironis sekali!"
Elise tersentak. Ia tak mampu memberikan jawaban.
Alex menyilangkan tangan di dada, kembali dengan ekspresi datarnya yang dewasa sebelum waktunya.
"Lain kali, Mama jangan menyalahkan aku. Karena kita sama saja. Sama-sama berandalan." Alex menyunggingkan senyuman tipis, lalu masuk ke mobil.
Kata-kata itu menghantam Elise Lebih keras daripada hardikan siapa pun.
"Sebenarnya benih siapa yang tertanam di rahimku enam tahun silam?" batin Elise sambil bergidik ngeri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
Yeni Prastyaning
penasaran nunggu kelanjutannya...kayaknya seru nee...semangat bwt penulisnya
2025-10-04
3
Sri Rahayu
menarik ceritanya....ditunggu lanjutan nya.Thorr 😘😘😘
2025-10-05
0
@pry😛
mafia cok🤣
2025-10-05
1