Bab 4
Pagi itu, udara Desa Tembung masih dibungkus kabut tipis. Dari jauh, terdengar sayup adzan Subuh yang baru saja selesai dikumandangkan. Yasmin duduk di serambi rumah sambil memeluk lutut, pandangannya menerawang ke arah jalan setapak yang sunyi. Hatinya masih gelisah sejak semalam. Tatapan mata Ziyad dan kata-kata singkatnya masih terngiang jelas—bahwa rahasia bisa menjadi cara melindungi orang lain.
Semakin Yasmin mengingatnya, semakin ia merasa ingin tahu, semakin hatinya tak bisa berhenti berdebar. Ia menunduk, lalu mengusap wajahnya sendiri. “Kenapa aku jadi begini, ya Allah…” bisiknya lirih.
Dari dapur, suara Nek Wan terdengar, mengaduk wajan sambil sesekali batuk kecil. “Min, sini dulu. Nek ada yang mau dibicarakan,” panggilnya tegas.
Yasmin segera bangkit, berjalan dengan hati-hati ke arah dapur. Bau bawang merah tumis memenuhi udara, berpadu dengan aroma kayu bakar. Nek Wan menatapnya lekat-lekat, sorot matanya tajam seperti hendak menembus pikiran cucunya.
“Kau akhir-akhir ini sering dekat-dekat rumah itu, kan?” tanya Nek Wan, nadanya menusuk.
Yasmin tercekat. “Rumah siapa, Nek?” jawabnya gugup.
“Jangan pura-pura. Rumah keluarga itu. Rumah si Ziyad,” ucap Nek Wan tegas.
Yasmin menggigit bibirnya, hatinya berdebar semakin kencang. “Aku hanya… kebetulan lewat, Nek. Tidak lebih,” balasnya pelan.
Nek Wan menghela napas berat. “Jangan pernah coba-coba dekat dengan mereka. Keluarga itu penuh luka, penuh aib. Kau akan terseret kalau kau terus mencari tahu,” ujarnya tegas.
Yasmin menunduk, matanya memanas. “Tapi, Nek… Ziyad itu baik. Aku lihat sendiri bagaimana ia menolong orang-orang di mushola. Bagaimana mungkin orang sebaik itu harus dijauhi?” katanya membela dengan suara gemetar.
“Min!” seru Nek Wan dengan suara meninggi. “Kebaikan di luar tidak sama dengan luka yang mereka simpan di dalam. Kau masih kecil, tidak tahu apa-apa. Jangan campuri urusan yang bukan milikmu,” ucapnya keras.
Air mata Yasmin menetes. Ia ingin menjawab, tapi suaranya tercekat. Ia merasa seolah hatinya ditarik ke dua arah: satu, pada larangan neneknya; dan satu lagi, pada perasaan yang semakin sulit ia bendung terhadap Ziyad.
***
Siang itu, Yasmin pergi ke sungai dengan membawa pakaian kotor untuk dicuci. Suara riak air menenangkan sedikit resah di dadanya. Namun saat ia pulang, langkahnya melambat ketika melewati jalan kecil di samping rumah Ziyad. Pintu kayu rumah itu terbuka setengah, seolah lalai ditutup.
Yasmin menoleh sekilas, niatnya hanya sekedar melirik. Tapi pemandangan di dalam membuat kakinya berhenti.
Di ruang sederhana yang diterangi lampu minyak, Ziyad duduk di tepi ranjang. Di atas ranjang, seorang perempuan tua terbaring lemah, wajahnya pucat, tubuhnya kurus. Itu pasti ibunya.
Ziyad memegang mangkuk kecil, menyuapkan bubur pelan-pelan ke mulut ibunya. Tangannya bergetar, tapi gerakannya penuh kelembutan. Sesekali ia mengusap keringat di dahi ibunya dengan kain basah, lalu membetulkan selimut yang menutupi tubuh rapuh itu.
“Pelan-pelan, Bu. Jangan buru-buru,” ucap Ziyad lirih.
Ibunya menatapnya dengan mata sayu, lalu tersenyum lemah. “Maafkan Ibu, Nak… kalau kau harus menanggung semua ini sendirian,” bisiknya serak.
“Jangan bicara begitu. Ibu tidak salah apa-apa,” jawab Ziyad tegas tapi suaranya bergetar.
Air mata Yasmin menetes begitu saja. Ia menutup mulut dengan tangannya agar tidak terdengar. Lelaki yang selalu terlihat dingin itu, ternyata menyimpan sisi yang begitu lembut, penuh kasih.
“Ibu… hanya ingin kau bahagia. Jangan simpan semua luka itu sendiri,” ucap ibunya lirih.
Ziyad menunduk, air matanya jatuh ke pangkuan ibunya. “Bahagia itu apa, Bu? Aku bahkan tidak tahu caranya lagi,” bisiknya dengan suara patah.
Yasmin menahan isak. Dadanya sesak. Ia ingin masuk, ingin menenangkan, ingin berada di samping lelaki itu. Tapi ia hanya berdiri kaku di balik jendela, jadi saksi dari cinta seorang anak kepada ibunya yang sekarat.
***
Beberapa menit berlalu, hingga akhirnya Ziyad menoleh ke arah jendela. Matanya membelalak saat melihat sosok Yasmin di luar. Wajahnya seketika berubah tegang.
“Yasmin…” ucapnya pelan tapi sarat tekanan.
Yasmin tersentak, tubuhnya kaku. “Maaf… aku tidak sengaja,” balasnya gugup.
Ziyad bangkit, berjalan cepat ke luar rumah. Wajahnya keras, tapi sorot matanya penuh luka. “Kenapa kau harus melihat semua ini? Aku tidak butuh belas kasihanmu,” ucapnya tajam.
“Aku… aku hanya lewat, sungguh,” jawab Yasmin terbata-bata.
“Yasmin, jangan pernah dekat dengan dunia ini. Dunia yang kupikul penuh beban, penuh darah, penuh air mata. Kau terlalu suci untuk ikut menanggungnya,” ujar Ziyad berat.
Yasmin menunduk, air matanya jatuh deras. “Tapi aku tidak peduli. Aku hanya—” suaranya terhenti, karena dadanya terlalu sesak.
Ziyad menatapnya lama, lalu menghela napas panjang. “Pulanglah. Lupakan apa yang kau lihat. Jangan biarkan hatimu terikat pada sesuatu yang hanya akan menyakitimu,” ucapnya lirih.
Yasmin menatap matanya, lalu berlari pergi dengan air mata yang terus mengalir.
***
Malam itu, Yasmin duduk di kamarnya, wajahnya masih basah oleh tangis. Nek Wan masuk, membawa segelas air. Tatapannya penuh amarah bercampur resah.
“Kau lihat sendiri kan, Min? Itulah kenapa Nek melarangmu. Kau tidak tahu apa yang mereka simpan,” ucapnya tegas.
Yasmin menggigit bibir. “Nek… apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa semua orang seolah menutup mulut?” tanyanya lirih.
Nek Wan terdiam lama, lalu menunduk. “Dulu… ada seseorang yang jadi korban ulah keluarga itu. Orang dekat Nek sendiri,” ucapnya dengan suara pecah.
Yasmin menatap neneknya dengan mata membesar. “Siapa, Nek?” tanyanya tercekat.
Nek Wan menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. “Ayahmu sendiri…” jawabnya lirih.
Yasmin terdiam, tubuhnya membeku. Air matanya kembali pecah tanpa bisa ditahan. Dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Cinta yang mulai tumbuh di hatinya ternyata berakar di atas luka lama yang begitu dalam.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments