BAB 2

Beberapa jam setelah meninggalkan rumah, langkah Rea terasa seperti menyeret beban berat. Pusing yang ia rasakan bukan hanya karena sakit kepala, tetapi juga karena beban emosional. Ia berjalan linglung menuju gerbang kampus.

Bruk!

Rea tersandung sesuatu, dan tumpukan buku yang ia dekap jatuh berserakan di aspal. Ia hampir kehilangan keseimbangan jika saja sebuah lengan tidak dengan sigap menahan tubuhnya.

“Rea! Kamu melamun, ya?”

Jeremy, dengan wajah khawatir, memegang bahunya. Rea sedikit tersentak, lalu tersenyum tipis.

"Aku baik-baik saja, Jem. Terima kasih," jawab Rea dengan suara paraunya. Ia segera berjongkok untuk memunguti buku-bukunya yang tercecer dan dibantu oleh Jeremy.

"Maaf jadi merepotkanmu lagi," lirih Rea saat mereka berdiri.

Jeremy tersenyum dan tanpa ragu pemuda tampan itu meletakkan telapak tangannya di dahi Rea. Tindakan yang begitu mendadak itu membuat Rea mematung.

"Ya ampun, badanmu panas sekali. Kamu demam," kata Jeremy terkejut.

"Cuma pusing biasa. Nanti juga hilang," ucap Rea mencoba tenang.

"Tidak bisa. Kamu harus pulang dan istirahat. Atau kita ke rumah sakit dulu? Aku bisa mengantarmu, aku punya waktu luang," ajak Jeremy menunjuk motornya.

"Ke rumah sakit saja, Jem," ucap Rea akhirnya setuju. Senyum getir menghiasi wajahnya. Ia sempat melirik ke jalanan. Itu sebuah kebiasaan otomatis, berharap melihat Azelio menjemputnya. Tapi seperti biasa, suaminya tidak ada.

Mereka tiba di rumah sakit. Saat berjalan di koridor menuju ruang pemeriksaan, ponsel Jeremy tiba-tiba berdering keras.

"Rea, kamu jalan duluan saja ke meja registrasi. Mama telepon nih," pinta Jeremy sembari menunjukkan nama Mama Azura di layar.

Rea mengangguk pelan lalu melanjutkan langkahnya. Namun, ia tidak menuju meja registrasi. Langkahnya melambat dan terhenti total di sebuah persimpangan koridor. Matanya tertuju pada lorong di sebelah kanan yang mengarah ke kamar Emira.

"Ada apa, Ma?" Jeremy berbisik ke ponselnya dengan khawatir.

"Kamu di mana? Dengan siapa?" tanya Mama Azura cemas.

"Di rumah sakit, Ma. Rea sakit, jadi aku bawa periksa dulu. Maaf kalau aku telat pulang." Jeremy melihat ke depan, namun Rea sudah menghilang.

Ke mana dia?

"Mama telepon cuma mau kasih tahu... Emira sudah sadar, Jem. Baru saja Kakakmu telepon Mama. Tolong jaga Rea baik-baik, jangan sampai Abangmu tahu dia ada di sana."

Mendengar itu.. mata Jeremy membelalak.

Bang Zilo ada di sini? Dan Emira sadar?

Setelah telepon terputus, Jeremy segera berlari mencari Rea. Firasatnya menuntunnya ke lorong kamar Emira. Tampak Rea berdiri di samping ranjang Emira sambil menggenggam lembut tangan Emira yang terbalut infus.

“Kak Emi… maafkan Rea. Maafkan Rea sudah menikah dengan Kak Zilo. Bukan niat Rea merebutnya,” lirihnya dengan air mata mulai menetes. "Tante Luna benar, aku tidak pantas berada di keluarga ini. Seharusnya aku yang di sini, Kak. Seharusnya aku yang kena sial..."

Tangisnya pecah karena teringat kembali hari insiden itu. Mereka berdua hendak menyeberang zebra cross ketika mobil itu melaju kencang. Emira mendorongnya sekuat tenaga dan Emira lah yang tertabrak. Sejak saat itu, Rea dicap pembawa sial oleh semua orang yang menyayangi Emira.

“Karena aku, Kakak jadi begini. Aku memang nggak berguna. Maafkan aku, Kak. Kalau Kakak bangun, Rea janji akan pergi. Pergi jauh dari kalian, supaya Kakak bisa kembali bersama Kak Zilo,” isak Rea menyeka air matanya dan menghela napas. "Kumohon, bangunlah sekarang."

Lalu, ia terdiam sejenak. Sebelum pergi, Rea melihat selang pernapasan Emira sedikit terlilit di sisi ranjang. Ia mendekat, hendak meluruskannya.

Tiba-tiba, sebuah tangan kokoh mendorong bahunya dengan keras.

"Apa yang kau lakukan?!"

Teriakan marah itu membuat Rea menjerit kaget, tubuhnya nyaris mencium lantai. Azelio berdiri di ambang pintu, matanya menyala penuh amarah, lebih menakutkan dari malam pengantin mereka.

"Kamu mau menghabisinya, kan?! Sudah kubilang jangan dekati dia! Dasar ibllis!" bentak Azelio.

Rea menggeleng cepat. "Nggak, Kak! Aku nggak... Selangnya terlilit, jadi aku..."

Ucapan Rea terhenti. Azelio mencengkeram rahangnya kuat-kuat dan memaksa Rea mendongak menatap mata Azelio yang penuh kebencian.

"Membela diri?! Aku melihatnya sendiri! Tanganmu sudah mendekati wajahnya! Pergi! Keluar dari sini, sekarang!" Azelio melepaskan cengkeramannya, lalu menunjuk pintu dengan tangan gemetar.

Hati Rea langsung mencelos. Pria yang seharusnya melindunginya, kini menuduhnya sebagai pembunuh dan mencekalnya. Rea tak sanggup menatapnya lagi. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia berbalik dan berlari sekuat tenaga. Rea terus berlari tanpa tujuan, hingga akhirnya menabrak Jeremy di koridor utama.

“Rea! Ya ampun! Kenapa kamu nangis?! Siapa yang berani menyakitimu?” tanya Jeremy, diliputi panik melihat air mata Rea yang tumpah deras.

Jeremy merengkuh bahunya. Begitu dipeluk, semua kesedihan, rasa sakit, dan rasa bersalah yang Rea tahan selama ini tumpah ruah. Ia menangis terisak dalam pelukan adik iparnya.

Kenapa aku dibenci? Apa karena aku memang... pembawa sial?

Terpopuler

Comments

Yus Nita

Yus Nita

duplikat kang zander si Azelio, padahal Bapak nykang koeson..
sama2 farah mafia

2025-10-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!