Kediaman Pramulya
"Mbak. Mbak Inah."
"Iya non." mendengar dirinya di panggil mbak Inah berlari menghampiri. Ia lap tangan basahnya karena cucian piring ke celana bahan yang ia kenakan. Alangkah terkejutnya Ia melihat penampilan anak majikannya.
"Astagfirullah ya ampun, non. Baju non kenapa? Perasaan tadi pagi pamitnya cantik, wangi. Pulang-pulang kok koyo ngene? Kotor banget. Non, habis ngapain ?" Mbak Inah meraba pakaian Kirana.
"Mbak Inah mau tahu aja. Papa mana, mbak?" matanya mencari keberadaan ayahnya.
"Itu tuan ada di ruang kerjanya. Buruan mandi non wes di tunggu sama papanya. Cepatan mandi non kalau papa lihat non kayak gini mbak bisa kena omel."
"Mbak Inah biasa aja kali. Gini nih kebanyakan nonton drama korea. Bawaanya lebay. Orang cuma kotor. Seenggaknya kan aku pulang utuh bukan nama."
"Hus ngomongnya. Awas di denger tuan." Asisten rumah tangga berusia tiga puluh itu menyentil bibir Kirana.
"Ya udah aku ke kamar dulu, mbak. Badan ku gerah, pliket."
Langkah Kirana terhenti, Ia pun berbalik.
"Mbak Inah."
"Iya, non."
"Mama kemana, mbak? Ini sudah sore kok nggak kelihatan?"
"Itu non. A-anu." Mbak Inah tergagap. Ia menunduk bingung mau jawab apa.
"A-nu non. Mamanya nyekar ke makam ka-"
BRAK !
Kata-kata mbak Inah terpotong suara bantingan pintu. Kirana sudah hilang masuk ke kamarnya.
"Sampai kapan non nggak terima kenyataan? mbak kasihan lihat non." Mbak Inah membatin.
****
Kirana yang telah membersihkan diri dan berdandan rapi, berdiri di depan pintu ruang kerja ayahnya.
"Semoga bukan masalah itu itu lagi." Ia mendesah kasar
Tok tok tok
Kirana membuka pintu ruang kerja ayahnya. Laki-laki paruh baya itu sedang duduk di sofa. Matanya yang sendu, rambut sedikit memutih dan gurat-gurat usia tak mampu menutupi karismanya.
"Sini nak papa ingin bicara."
Kirana duduk, mencium punggung tangan ayahnya.
"Papa hari ini nggak ngantor? tumben?"
"Hari ini ingin di rumah saja. Kantor biar Om Lukman yang urus."
"Nak, Papa mau menjodohkan kamu sama anak teman papa."
Mata Kirana terbelalak.
"Apa? Perjodohan lagi? Papa ini sudah yang ketiga kalinya. Jawaban Kirana tetap nggak mau! Titik!"
"Nak, ini demi keluarga kita."
"Keluarga kita kurang apa sih, pa? Apa semua ini kurang?"
Pria tua itu mengulurkan tangannya meraih tangan Kirana.
"Ini menyangkut perusahaan kita, nak. Sekarang cuma kamu anak papa. Kalau suatu hari papa nggak ada. Siapa yang akan menjaga kamu dan mama? Makanya papa pengen kamu segera menikah. Kalau kamu menikah kamu dan mama ada yang menjaga. Kamu dan suami mu kelak bisa meneruskan perusahaan papa."
"Aku bisa menjalankan perusahaan papa tanpa perlu menikah. Kapan? Kasih tahu saja kapan aku harus memulai." tantang Kirana, melepaskan tangan ayahnya.
"Kuliah mu saja belum selesai, kamu juga masih harus magang kan."
"Aku bisa mulai belajar mengurus perusahaan, soal nilai magang itu kan bisa di atur. Asal kan aku tidak di jodoh-jodohkan lagi dengan siapapun. Aku akan mengurus semua bisnis papa dan mama."
Papa menangkup pipi Kirana. Menatap lekat mata putrinya penuh harap.
"Orangnya baik. Dulu waktu kecil kalian akrab. Dia sering jagain kamu. papa yakin dia bisa membahagiakanmu."
Kirana berpikir keras mengingat-ngingat siapa-siapa saja yang dekat dengannya waktu kecil. Tapi yang muncul hanya Hanun.
"Siapa, pa?"
"Bagas. Kamu ingat?"
"Bagas? Bagas gendut? bukannya dia waktu SD pindah ke Jerman."
Bagas, teman gembulnya waktu umur lima tahun. Dulu rumah mereka berhadapan. Bagas memang selalu baik pada Kirana, tapi baiknya itu bukan tanpa maksud.
Bagas selalu bilang masakan mamanya tak enak, jadi dia sering main ke rumah Kirana karena suka masakan Sarah, mama Kirana. Bagas juga suka diam-diam memperhatikan Sonia. Dan Kirana tahu kalau Bagas menaruh hati pada Sonia yang lebih tua empat tahun.
Hanun dan Bagas tidak pernah akur. Mereka adalah tom and jerry di dunia nyata. Tiada hari tanpa pertengkaran jika kedua orang itu bertemu.
Sayang, setahun kemudian Bagas dan Kirana masuk SD, Om Ilyas di pindah tugaskan ke Jerman memaksa Bagas dan tante Mira juga harus ikut.
Kirana melepas tangan ayahnya. Memalingkan wajahnya.
"Kirana nggak mau di jodohkan, apalagi sama Bagas, pa. Nggak pa please."
"Dulu Papa juga ngelakuin hal yang sama ke kak Sonia. Papa bilang dengan perjodohan kakak ku akan bahagia. Tapi nyatanya? Apa yang terjadi? Kakak ku harus." Kirana menunduk. Dadanya sesak, rasa sakit menghujam jantungnya, merobek-robek hatinya. Gadis itu terisak. Sedangkan sang ayah mematung. Raut wajah tuanya tak kalah pilu.
"Kirana masih ingin sendiri, pa. Kirana nggak percaya yang namanya perjodohan, cinta atau pun pernikahan. Kita sudahi saja percakapan ini. Keputusan ku sudah bulat. Kalau papa memaksa. Papa rasanya harus siap-siap kehilangan satu putri lagi."
"Kirana ngomong apa kamu, nak?" sang ayah mengangkat tangannya ke udara. Kirana yang takut terkena pukulan refleks menutup mukanya.
Beruntung sang ayah tersadar dan mengendalikan diri. Hampir saja Wijayanto melakukan tindakan yang akan Ia sesali. Laki-laki tua itu meraup wajahnya.
"Jaga ucapanmu, nak. Kamu lupa sedang bicara dengan siapa?" ketus ayahnya
"Jodoh sudah ada yang mengatur kenapa harus bingung pa? Jika Allah berkehendak dan menetapkan jodoh untuk ku, suatu hari orang itu pasti akan datang. Untuk sekarang ini maaf Kirana belum siap. Kirana saja masih dalam pengawasan psikiater. Bagaimana Kirana bisa membahagiakan pasangan Kirana nanti? Kirana saja belum menerima kematian kakak."
"Coba kamu pikirkan lagi, nak" suara ayah Kirana memelas.
Kirana bangkit dari duduknya. Menatap ayahnya kecewa. Baru kali ini sang ayah tidak mau mengertikan kegundahan hatinya.
"Sekali Kirana bilang nggak, ya nggam papa. Maafkan aku." Gadis itu bergegas keluar dari ruang kerja sang ayah.
.
.
.
Bersambung...
Selesai membaca tolong tinggalkan jejakmu ya...😊
Tolong Like, komen dan vote.
Terima Kasih*** 😘❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
Edah J
Semua orang tua ingin yg terbaik untuk anak"nya
2024-06-23
0
Nia cerewet
masih nyimak
2021-01-25
1
Yuyun Sardi
mulai membaca 🤓
2021-01-25
2