Lift berbunyi ting begitu tiba di lantai tujuan. Suasana koridor sunyi, hanya dihiasi deretan lampu dinding yang temaram. Karpet merah marun membentang sepanjang lorong, membuat langkah Soojin terasa berat.
“Nomor… 203… ini dia.” Soojin berbisik, tangannya gemetar ketika mendekat ke pintu.
Dengan hati-hati ia memasukkan kunci yang tadi diberikan resepsionis, lalu memutar gagang pelan. Pintu terbuka hanya sedikit, cukup untuk mengintip.
Namun baru saja celah pintu terbuka, suara-suara dari dalam langsung menyambar telinganya.
“Ahhh… Minjae… kebawah lagi…” suara perempuan itu terdengar manja bercampur desahan.
Soojin terbelalak, tubuhnya langsung kaku.
Suara Minjae menyusul, rendah dan menggoda.
“Kamu suka, kan? Kalau gini gimana, hm? Nakal banget kamu…”
“Ahhh… Min-jae… kamu jahat ya… tapi aku suka…” perempuan itu kembali merengek, menyebut nama Minjae dengan jelas.
Soojin buru-buru menutup pintu perlahan, nafasnya tercekat. Tangannya dingin, tubuhnya bergetar. Matanya langsung memerah, air mata menetes tanpa bisa ia tahan. Bibirnya bergetar, dadanya naik turun tak karuan.
Enggak… ini pasti salah. Ini bukan Minjae-ku. Ini pasti mimpi buruk.
Eunhee yang sejak tadi menunggu di ujung lorong melangkah mendekat, wajahnya serius. “Ada apa? Aku sengaja nggak langsung ikut biar kamu bisa hadapi sendiri.”
Soojin menunduk, suaranya lirih hampir tak terdengar. “Di dalam… mereka…”
Eunhee mendekat ke pintu, menempelkan telinga. Suara desahan wanita masih jelas terdengar, bercampur dengan suara berat Minjae. Mata Eunhee langsung membelalak. “Sialan. Mereka beneran… melakukan itu?”
Soojin hanya mengangguk pelan, air matanya menetes lagi.
“Ini nggak bisa dibiarin.” Eunhee mendesis marah. Tanpa pikir panjang, ia meraih gagang pintu, memutarnya dengan kasar.
CEKLEK!
Pintu terbuka lebar, disusul suara keras dari dalam.
GUBRAK!
“Apa-apaan lo berdua?!” teriak Eunhee lantang.
Soojin mematung di ambang pintu, wajahnya pucat pasi, matanya kosong. Di hadapannya, Minjae bergegas menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, sementara wanita itu menjerit kecil lalu bersembunyi di balik bantal, hanya wajahnya yang masih terlihat.
“SOO… Soojin?!” Minjae melotot kaget. “Kenapa kamu ada di sini?!”
Soojin menggenggam tasnya erat-erat, tubuhnya gemetar. Suaranya pecah. “Se-seharusnya… aku yang tanya! Kenapa kamu ada di sini bersama wanita itu?!”
Minjae langsung gagap. “A-a-aku… ini… aku bisa jelasin!”
“JELASIN?!” Soojin berteriak, air mata membanjiri pipinya. “Kamu bilang malam ini ada rapat! Rapat, Minjae! INI RAPAT YANG KAMU MAKSUD?!”
Minjae bungkam, wajahnya penuh panik.
Soojin jatuh terduduk di lantai, bahunya bergetar. “Kenapa, Jae… kenapa harus kayak gini…?”
Eunhee berdiri di sampingnya, matanya tajam menatap Minjae. “Lo masih punya muka buat bilang ‘bisa jelasin’? Gue rasa nggak ada penjelasan yang cukup buat nutupin pengkhianatan sebusuk ini.”
Suasana kamar mendadak membeku, hanya tersisa isak tangis Soojin yang pecah berkali-kali.
Minjae buru-buru turun dari ranjang, masih dengan selimut melilit pinggangnya. Wajahnya pucat, keringat bercucuran.
“Soojin, dengerin aku dulu… aku bisa jelasin ini semua. Ini nggak seperti yang kamu pikir!”
Soojin terisak, menatapnya dengan mata sembab. “Nggak seperti yang aku pikir?! Aku baru aja denger suara kalian… aku liat dengan mata kepala sendiri, Jae! Masih berani bilang bukan apa-apa?!”
Wanita di ranjang—rambutnya acak-acakan, wajahnya merah padam—berusaha bicara. “Oppa… siapa dia? Kenapa tiba-tiba masuk gini aja?”
Soojin langsung melotot ke arahnya. “Jangan panggil dia oppa di depan aku! Dia pacarku, orang yang selama ini aku percaya! Dan kamu…” suaranya tercekat, “…kamu orang yang hancurin semua itu.”
Minjae panik, berjalan mendekat, berusaha meraih tangan Soojin. “Soojin, please, aku sayang sama kamu. Aku cuma… khilaf. Dia cuma… pelarian, nggak ada artinya. Kamu yang utama di hati aku.”
Soojin buru-buru mundur, menepis tangannya. “Pelarian? Kamu sebut ini pelarian? Setelah semua yang aku korbankan buat kamu, gajiku, waktuku, kepercayaanku—dan kamu balas dengan selingkuh di hotel begini?!”
Eunhee melangkah maju, berdiri di depan Soojin, matanya penuh amarah. “Minjae, lo jangan sok manis sekarang. Gue udah muak liat cowok model lo. Kalau bener sayang, nggak mungkin lo tega bikin dia nangis kayak gini. Khilaf? Itu cuma alasan pecundang!”
Minjae menunduk, wajahnya makin pucat. “Aku… aku janji ini terakhir kalinya. Aku bakal putusin dia sekarang juga. Tolong, jangan tinggalin aku, Soojin…”
Wanita di ranjang mendengus. “Apa?! Jadi aku cuma mainan?! Oppa, kamu gila ya?! Setelah semua ini kamu mau ninggalin aku?!”
Suasana kamar makin panas.
Soojin memegang dadanya, merasa sesak. Suaranya pelan tapi penuh luka. “Aku nggak kenal kamu lagi, Jae. Orang yang aku cintai… orang yang aku perjuangkan… ternyata cuma topeng. Kamu bukan Minjae yang aku tau.”
Eunhee menatap sahabatnya dengan lembut. “Jin… lo nggak perlu denger omong kosong dia lagi. Sakit memang, tapi lebih sakit kalau lo terus bertahan sama orang kayak gini.”
Minjae langsung memohon, berlutut di depan Soojin. “Soojin, please… jangan pergi. Aku butuh kamu.”
Soojin terdiam, air matanya kembali jatuh.
"Kita putus…" ucap Soojin lirih, suaranya hampir pecah bersama butiran air mata yang terus jatuh di pipinya. Bahunya bergetar, tangannya mengepal, seolah ingin menahan sakit yang tak sanggup lagi ditahan.
Minjae refleks maju, mencoba meraih tubuh Soojin ke dalam pelukannya.
"Soojin, jangan gini, aku bisa jelasin… aku khilaf, aku—"
Namun lengan Eunhee langsung menghalanginya dengan tegas. "Jangan sentuh dia." Tatapannya tajam, dingin, membuat Minjae terdiam sesaat.
Eunhee memeluk pundak sahabatnya, lalu berbisik lembut, "Ayo kita pergi dari sini. Gue udah reservasi ruangan khusus buat kita. Di sana lo bisa nangis sepuasnya, nggak ada yang ganggu."
Soojin hanya mengangguk pelan, suaranya serak, "Aku… nggak kuat lagi, Hee."
Eunhee menuntunnya keluar dari kamar jahanam itu dengan langkah pelan, sementara Minjae masih berusaha memanggil.
"Soojin, tunggu! Dengerin aku dulu! Aku bisa jelasin semuaaa!" teriaknya, namun hanya pintu yang menjawab.
Begitu pintu menutup, Minjae menghela napas kasar. Alih-alih menyesal, ia justru kembali menoleh ke arah wanita di ranjang. Senyum sinis muncul di wajahnya. Besok aja gue bujuk dia. Dia pasti luluh, kayak biasanya. Soojin cinta mati sama gue. Salah segede apa pun, dia pasti maafin… pikir Minjae penuh percaya diri. Tanpa beban, ia melanjutkan “aktivitasnya” malam itu.
Sayangnya, kali ini ekspektasinya terlalu besar. Soojin sudah sampai pada titik lelah, dan cintanya yang dulu begitu kuat kini hanya menyisakan luka.
Kamar VVIP Hotel VVI
Eunhee menyalakan lampu temaram ruangan yang elegan. Meja sudah tertata rapi dengan satu botol wine merah mahal dan dua gelas kristal. Ia membuka botol itu dengan tenang, lalu menuangkan isinya.
"Nih, minum. Khusus malam ini nggak papa mabuk. Gue temenin," ucap Eunhee, menyodorkan segelas penuh pada Soojin.
Soojin menerima gelas itu dengan tangan gemetar. Ia menatap cairan merah berkilau di dalamnya, lalu menangis lagi.
"Huaaaaaa… hati gue sakit, Hee… hiks… sakit banget."
Eunhee mendesah, lalu mengusap lembut punggung Soojin. "Gue tau, Jin… nangis aja. Jangan ditahan. Itu cowok brengsek nggak pantas lo tangisin, tapi kalau dengan nangis lo jadi lebih lega, yaudah. Gue temenin sampe lo tenang."
Soojin mengangkat gelasnya, meneguk pelan. Rasa pahit bercampur asam memenuhi mulutnya, seolah menyatu dengan pahitnya nasib malam ini.
"Udahlah, segelas aja ya. Nanti gue mabok beneran," ucap Soojin dengan suara parau. Tangisnya sudah mulai mereda, meski matanya masih sembab.
Eunhee duduk di sampingnya, menatap penuh perhatian. "Terserah lo aja, Jin. Yang penting sekarang lo udah agak tenang. Kalo udah enakan, mau gue anter pulang?"
Belum sempat Soojin menjawab, ponsel Eunhee berdering. Ia melihat layar, wajahnya langsung berubah serius.
"Sebentar ya, gue angkat dulu," katanya sambil melangkah menjauh.
Obrolan singkat terjadi di ujung telepon, lalu Eunhee kembali dengan wajah sedikit canggung.
"Jin, maaf banget… gue nggak bisa nganter lo pulang malam ini. Ada urusan mendadak yang harus gue kerjain."
Soojin menatapnya lemah. "Nggak apa-apa… gue bisa pulang sendiri."
Eunhee mengeluarkan dompetnya, lalu menyelipkan sebuah kartu ke tangan Soojin.
"Nih, pake ini buat bayar taksi. Pin-nya ulang tahun lo. Tadi kan lo bilang gaji bulan ini udah lo transfer semua ke si bajingan itu, otomatis lo nggak punya duit sepeserpun. Jadi pake aja dulu. Gantinya kapan-kapan aja, santai."
Soojin menatap kartu itu dengan mata berkaca-kaca. "Hee… lo selalu ada buat gue."
Eunhee tersenyum tipis, lalu mengelus puncak kepala sahabatnya. "Ya iyalah. Gue kan sahabat lo. Udah ya, jangan nangis lagi. Besok pagi gue jemput, kita jalan-jalan biar lo nggak boring di rumah terus. Oke?"
Soojin mengangguk pelan, tersenyum samar meski masih terlihat rapuh.
"Oke…"
Eunhee berdiri, melambaikan tangan. "Bye bye, Jin. Jangan overthinking lagi. Gue cabut dulu."
Pintu tertutup, meninggalkan Soojin seorang diri di ruangan VVIP itu. Ia menatap gelas wine-nya lagi, lalu menghela napas panjang. Malam itu terasa begitu sunyi, seakan seluruh dunia ikut menertawakan hatinya yang hancur.
Sepuluh menit setelah Eunhee pergi, Soojin akhirnya bangkit dari kursi. Matanya masih sembab, langkahnya berat, tapi ia tak sanggup lagi diam di kamar itu. Ia ingin pulang, menutup mata, dan melupakan semuanya meski hanya sebentar.
Lorong hotel VVIP itu begitu sepi. Hanya cahaya lampu temaram di dinding yang menemani setiap langkahnya. Suara Sepatunya beradu pelan dengan karpet tebal. Suasananya membuat bulu kuduknya meremang.
Namun, belum jauh ia melangkah, tiba-tiba sebuah tangan kuat menariknya dari samping.
"Ah!" pekik Soojin kaget. Tubuhnya ditarik masuk ke dalam sebuah kamar yang pintunya baru saja terbuka.
Pintu langsung tertutup, menyisakan Soojin yang terperangah dengan jantung berdetak kencang.
Seorang pria berdiri di hadapannya. Napasnya tersengal-sengal, dada naik turun, wajahnya pucat sekaligus memerah. Dasinya tampak longgar, kemejanya berantakan seolah ia baru saja keluar dari situasi kacau.
"B-bantu saya…" ucap pria itu dengan suara parau.
Soojin membeku. Otaknya tidak konek, tidak bisa memproses apa yang terjadi.
"Hah? A-apa…?"
"Bantu saya…" pria itu kembali meraih lengannya, suaranya lemah namun matanya penuh rasa putus asa.
"Apa yang bisa aku bantu?" Soojin bertanya gugup, tubuhnya kaku.
Tanpa menjawab, pria itu menariknya ke sisi ranjang. Dalam hitungan detik, posisi mereka berubah—Soojin terjatuh ke atas ranjang, sementara tubuh pria itu kini berada di atasnya.
"A-apa-apaan ini!" seru Soojin panik, mencoba mendorong dada pria itu.
Namun pria itu justru menatapnya dalam, wajahnya semakin merah, keringat membasahi pelipisnya. Tangannya meraih dasinya, mengendurkannya dengan kasar. Nafasnya semakin panas menghantam wajah Soojin.
"Aku… akan bertanggung jawab, nona. Tolong bantu saya…" suaranya bergetar, entah karena sakit atau sesuatu yang lain.
Soojin semakin panik. Jantungnya berdetak tak beraturan, tangan dan pikirannya berlawanan. Tapi sebelum sempat ia bereaksi lebih jauh—
Tanpa aba-aba, pria itu menunduk dan melumat bibirnya. Sentuhan itu lembut, namun sarat gairah yang membuat tubuh Soojin kaku. Matanya membelalak, mencoba menolak, tapi tubuhnya seakan kehilangan tenaga.
🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸
Bersambung......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Dasyah🤍
jin cewek apa cowok sih ?, apa jangan jangan jin WARIA lagi
2025-09-22
1
Septi Utami
Eunhee ini penggambaran orang yang bahkan jauh lebih marah jika sahabatnya diperlakukan dengan semena-mena oleh orang, tapi dia juga bisa jadi lebih bahagia ketika sahabatnya juga mengalami hal baik, jarang bisa menemukan teman macam ini
2025-09-23
0
@dadan_kusuma89
Minjai, Emong Lu tau yang Soojin pikirin?😁. Kalau gitu, artinya berarti yang Lu lakuin sama seperti pikiranmu yang kau anggap juga dipikirkan oleh Soojin wkwkwk
2025-09-22
0