Begitu masuk ke dalam restoran, Soojin langsung merasa seluruh mata tamu menoleh ke arahnya. Atau mungkin hanya perasaannya saja yang sedang parno. Lampu gantung kristal memantulkan cahaya hangat, sementara dentingan piano live mengalun pelan di sudut ruangan. Aroma steak panggang bercampur dengan harum wine memenuhi udara.
Soojin menunduk, berusaha menutupi wajahnya dengan rambut. Eunhee, sebaliknya, berjalan santai dengan ekspresi percaya diri.
“Lo jangan jalan kayak maling, Jin. Santai aja,” bisik Eunhee.
“Apa lo pikir gampang? Pacar gue ada di sana, lagi asik sama cewek lain! Gue bisa kena serangan jantung mendadak tau nggak?” Soojin mendesis, wajahnya pucat.
“Tenang, tenang. Ingat rencana. Kita pura-pura jadi pasangan normal. Duduk agak jauh, awasi, dan jangan bikin ribut.”
Soojin mendengus pelan. “Pasangan normal apaan, tangan gue udah keringetan parah nih.”
“Yaudah, gue nggak maksa lo gandengan lagi. Tapi jangan gemeteran kayak ayam mau dipotong.”
“Gue bukan ayam!”
“Ya, tapi lo keliatan kayak ayam.”
“Eunhee!!!” Soojin melotot, tapi buru-buru menunduk lagi ketika hampir bertatapan dengan Minjae yang melirik ke arah pelayan.
Mereka akhirnya memilih meja di pojok ruangan, agak tertutup tanaman hias, sehingga pandangan mereka ke meja Minjae cukup jelas tapi aman dari sorotan langsung.
Pelayan datang membawa menu. “Apa yang ingin Anda pesan?”
Soojin panik. “Uh, aku… aku… teh tawar aja.”
Eunhee menutup menu dengan tenang. “Satu pasta carbonara, satu wine putih. Terima kasih.”
Soojin melotot ke sahabatnya begitu pelayan pergi. “Apaan coba pesen wine? Kita kan nggak minum!”
“Shhh, diem! Kalau cuma pesen teh tawar doang, keliatan mencurigakan. Kita harus blend in, ngerti?”
“Blend in kepala lo. Ntar gue mabok gimana?”
“Ya kan wine-nya buat gue, bodoh. Lo cukup pura-pura minum aja.”
Soojin menepuk keningnya sendiri. “Astaga… gue nyesel bawa lo.”
“Kalau nggak bawa gue, lo pasti udah maju teriak ‘SELINGKUH!’ dari tadi. Jadi syukurin gue ada di sini.”
Soojin hanya mendengus, tapi diam-diam mengakui ucapan Eunhee ada benarnya.
Mereka pun mulai mengintai. Dari meja Minjae, suara tawa terdengar samar. Wanita bergaun merah itu mendekatkan tubuhnya, bahunya hampir bersentuhan dengan Minjae.
Soojin langsung mencengkram lengan Eunhee. “Liat! Liat! Itu udah bukan rekan kerja, Hee. Itu bahasa tubuh pasangan selingkuh!”
Eunhee meneguk air putih dengan tenang. “Sabar, Jin. Jangan langsung vonis. Kita tunggu interaksi berikutnya.”
“Tunggu apaan? Mereka udah ketawa bareng, Minjae bahkan ngusap rambut dia tadi! Gue sumpah, tangan gue gatel banget pengen ngelempar sendok.”
“Jangan lebay. Lo mau ditendang keluar sama satpam?”
“Daripada gue liat pemandangan sakit hati ini, mending ditendang sekalian!”
Eunhee langsung menutup mulut Soojin dengan tangannya. “Sssst! Suara lo gede banget. Ntar mereka denger!”
Soojin menyingkirkan tangan Eunhee. “Oke, oke. Gue diem. Tapi serius, Hee, gue nggak kuat.”
“Lo harus kuat. Ingat, kita butuh bukti. Jadi tenang, nikmati dulu pasta pesanan gue.”
“Gue nggak selera makan!”
“Nggak peduli. Lo tetep harus makan, biar nggak lemes kalo nanti lo tiba-tiba harus konfrontasi.”
Soojin mendengus, tapi akhirnya meraih garpu dan menusuk pasta yang baru saja dihidangkan. Sambil mengunyah malas, matanya tak lepas dari meja Minjae.
Lalu, sesuatu terjadi. Minjae meraih tangan wanita itu di atas meja.
Soojin hampir tersedak. “HEE!!! TANGAN DIA DIPEGANG!!!”
Eunhee buru-buru menepuk punggung Soojin. “Ya ampun, Jin. Jangan teriak! Pelan-pelan! Gue juga liat kok.”
Soojin menatap Eunhee dengan mata berkaca-kaca. “Hee… kalau ini bukan selingkuh, gue nggak tau lagi harus nyebut apa.”
---
Soojin menatap meja Minjae dengan wajah syok. Tangannya bergetar di atas meja, garpu hampir jatuh dari genggamannya.
“HEE… dia… dia beneran megang tangan cewek itu! Gue nggak salah lihat, kan?!” bisiknya dengan suara setengah teriak.
Eunhee buru-buru menarik wajah Soojin agar menunduk. “Sssst! Jin, tolong jangan bikin konser di sini. Semua orang bisa denger lo kalau lo terus teriak-teriak.”
“Tapi Hee! Itu jelas banget mesra! Tangan di atas meja, senyum-senyum manis… kayak adegan drama romansa yang sering gue tonton. Dan masalahnya… gue bukan pemeran utama wanitanya!” Soojin nyaris menangis.
Eunhee menahan tawa. “Yaelah, Jin, bahkan di momen genting gini lo masih sempet mikir drama.”
“Ini nggak lucu! Gue mau maju sekarang juga, gue tarik tangan Minjae, gue teriak, ‘APA MAKSUDMU?!’” Soojin sudah setengah berdiri dari kursinya.
Eunhee langsung menarik lengan Soojin paksa hingga ia terduduk lagi. “Woy! Lo gila ya? Lo mau bikin semua tamu restoran jadi penonton drama gratis? Duduk manis dulu, Sherlock Soojin.”
“Sherlock apaan… gue lebih mirip korban pembunuhan cinta sekarang.”
Eunhee mendesah panjang. “Dengerin gue, Jin. Kalau lo teriak sekarang tanpa bukti jelas, dia bisa ngeles dengan seribu alasan. Nanti malah lo yang keliatan lebay. Kita butuh sesuatu yang lebih… konkret.”
Soojin melotot. “Konkret? Lo pikir gue harus ambil batu bata dulu biar konkret?”
“Bukan itu maksud gue! Maksud gue kita harus ambil foto atau rekaman. Itu baru bukti yang nggak bisa dibantah.”
Soojin mendengus. “Foto? Video? Hee, gue lagi setengah pingsan gini, mana kepikiran selfie rame-rame sama pengkhianatan?”
“Bukan selfie, tolol. Pake zoom kamera hp lo. Lo rekam diam-diam.”
Soojin mengerutkan dahi, lalu perlahan mengeluarkan ponselnya dari tas. “Oke… oke… gue coba. Tapi kalo ketahuan gimana?”
“Kalau ketahuan, pura-pura aja lo lagi vlogging makanan. Kan gaya lo emang receh gitu.”
“Woy! Jangan hina vlog gue!”
“Ya udah, buruan sebelum momen emasnya lewat.”
Soojin pun membuka kamera ponselnya, mengintai dari balik gelas wine. Jemarinya gemetar hebat saat menekan tombol rekam.
Di layar, jelas terlihat Minjae masih menggenggam tangan wanita itu. Bahkan kini si wanita berani menyandarkan kepalanya sebentar ke bahu Minjae.
Soojin nyaris menjatuhkan ponselnya. “Astaga… Hee… kepala dia… di bahu Minjae… AAAAA—”
Eunhee buru-buru menutup mulut Soojin dengan tangannya. “Diam, Jin! Nanti ketauan! Rekam aja, rekam terus.”
Dengan mata berkaca-kaca, Soojin tetap melanjutkan merekam. Dadanya serasa diremas, antara marah, sedih, dan tak percaya.
“Udah cukup, stop. Bukti kita udah lebih dari jelas,” bisik Eunhee setelah beberapa detik.
Soojin menutup kamera dengan tangan gemetar. “Hee… gue nggak sanggup liat lagi.”
Eunhee menatapnya penuh iba. “Sabar, Jin. Kita udah punya bukti. Malam ini, lo harus putusin langkah. Mau konfrontasi langsung… atau lo siapin dulu mental buat perang dingin.”
Soojin terdiam. Air matanya mulai menggenang, tapi ia buru-buru mengusapnya kasar. “Gue nggak tau, Hee. Gue bener-bener nggak tau.”
---
Restoran mulai sepi, Minjae dan wanita itu akhirnya berdiri. Tangan mereka masih saling menggenggam, bahkan tertawa kecil sebelum keluar.
Soojin nyaris loncat dari kursinya.
“HEE! Mereka mau kemana lagi tuh?! Jangan bilang… jangan bilang ke—”
Eunhee langsung menyambar tasnya. “Jangan banyak narasi, buruan ikut! Kalau telat kita bisa ketinggalan episode penting.”
Dengan gaya bak agen rahasia gagal latihan, mereka berdua menyelinap mengikuti Minjae dan pasangannya sampai ke pelataran hotel mewah di seberang jalan.
Begitu wanita itu dan Minjae masuk lobby, Soojin membeku di tempat. “Hee… itu… itu kan hotel bintang lima?!”
Eunhee mengangguk. “Ya jelas. Masa selingkuh di hotel melati, gengsinya nggak level dong.”
Soojin menggigit bibir. “Sumpah demi nasi padang, gue udah nggak kuat lagi. Gue mau masuk sekarang, gue seret dia keluar, gue—”
“WOY!” Eunhee buru-buru menahan bahunya. “Sabar, emak sinetron! Lo pikir gampang masuk hotel beginian? Ada penjaga, ada resepsionis, ada CCTV. Lo mau viral masuk akun gosip?”
Belum sempat Soojin menjawab, seorang penjaga hotel berbadan tegap sudah menghampiri.
“Permisi, Nona. Ada yang bisa saya bantu? Anda tamu yang menginap di sini?”
Soojin langsung kaku. “E-eh… iya… maksudnya… eh… saya lagi… lagi…”
Eunhee buru-buru nyamber. “Lagi survey interior, Pak! Hehe. Kami suka banget sama lampu gantung lobby hotel ini.”
Penjaga hanya menaikkan alis. “Kalau bukan tamu, mohon maaf tidak bisa masuk. Aturan hotel, demi kenyamanan.”
Soojin panik. “Tapi… tapi… saya harus masuk! Suami saya di dalam! Dia bawa cewek lain! Saya harus—”
Penjaga langsung menegakkan tubuh. “Mohon maaf, Nona. Kalau ada urusan pribadi, silakan diselesaikan dengan cara lain. Saya tidak bisa izinkan masuk tanpa bukti reservasi atau check-in.”
Eunhee buru-buru menarik tangan Soojin mundur. “Baik, Pak, kami paham. Maaf sudah merepotkan.”
Begitu agak jauh, Soojin langsung meledak.
“GIMANA GUE MAU CHECK-IN, HEH?! Duit gue semua ditransfer ke rekening Minjae! Saldo gue tinggal cukup buat beli ciki sama air mineral doang! MANA MUNGKIN GUE BAYAR HOTEL BEGINIAN?!”
Eunhee sampai ngakak setengah mati. “Astaga Jin, lo ini istri apa donatur MLM sih?! Semua duit lo dikasih dia?!”
Soojin meremas rambutnya. “GUE NYESEL BANGET HEH! Gaji bulan ini, bonus lembur, THR kemarin… semua gue kasih dia, gue pikir demi masa depan keluarga. Eh ternyata masa depannya sama cewek lain di hotel bintang lima!”
Eunhee masih berusaha nahan tawa tapi juga kasihan. “Ya ampun Jin, kalau gue jadi lo, udah gue tulis surat open donasi di medsos.”
Soojin mendengus, matanya merah. “Hee… gue nggak peduli. Malam ini juga, meski harus jadi satpam palsu atau nyamar jadi cleaning service, gue harus dapet bukti tambahan. Gue nggak mau kalah sama bajingan itu.”
Eunhee melongo. “Satpam palsu? Cleaning service? Lo pikir ini sinetron jam tujuh?”
“Kalau perlu gue masuk dari ventilasi AC!”
“Woy! Jangan halu, badan lo muat kagak tuh?”
Soojin menatap Eunhee dengan wajah penuh tekad bercampur putus asa. “Hee… apa pun caranya, gue harus tau kebenaran malam ini. Kalau perlu… kita tidur di depan lobby sampe pagi.”
Eunhee menghela napas panjang. “Ya udah deh, kalau emang lo niat segila itu, gue temenin. Tapi tolong, jangan bikin gue viral di Tiktok dengan hashtag #IstriNgamukDiHotel.”
---
Eunhee menempelkan ponselnya di telinga, suaranya sengaja diturunkan.
“Ya, aku Eunhee. Tolong siapkan kamar. Iya, segera. Dan… pastikan aksesnya bebas.”
Soojin hanya bisa melongo, mondar-mandir di depan hotel sambil menggigit kuku. “Hee, serius lo? Jangan bilang lo lagi nelpon… mafia.”
Eunhee menutup telepon dan tersenyum tenang. “Bukan mafia, Jin. Lebih berbahaya dari mafia.”
“APAAAN?!” Soojin hampir salto.
Lima belas menit kemudian, seorang pegawai hotel keluar lobby, memberi tanda tangan kecil, lalu Eunhee langsung menggenggam tangan Soojin.
“Yuk, masuk.”
Soojin terbelalak. “Loh… kok bisa? Bukannya tadi kita ditolak mentah-mentah?!”
Eunhee mengedikkan bahu santai. “Kan gue baru check-in, gampang.”
Soojin menghentikan langkahnya. “Tunggu dulu. Lo check-in di hotel beginian? Duit darimana?! Jangan bilang lo—lo jual ginjal?”
Eunhee mendengus. “Dasar lebay. Tenang, gue punya akses khusus.”
Soojin menatapnya curiga tapi akhirnya ikut masuk. Aroma parfum mewah menyambut begitu mereka melangkah ke lobby. Lantai marmer berkilau memantulkan cahaya lampu kristal raksasa di atas kepala. Soojin sampai minder sendiri dengan kaos oversize dan jeansnya.
“Ya ampun… outfit gue kayak bocah nyasar ke pernikahan orang kaya,” gumam Soojin.
Eunhee nyaris ketawa tapi buru-buru tarik dia ke resepsionis.
“Permisi, Mbak,” sapa Eunhee sopan.
Resepsionis wanita tersenyum manis. “Iya, ada yang bisa saya bantu, Nona?”
“Saya Eunhee.”
Mata resepsionis itu membesar sesaat, lalu ekspresinya berubah penuh hormat. Ia buru-buru membuka laci, mengeluarkan kunci kamar, dan menyerahkannya. “Ini, Nona. Nomor 203. Tuan sudah menelpon saya sebelumnya, jadi Nona bebas melakukan apapun di hotel ini.”
Soojin hampir keselek ludahnya. “Hah?! Bebas ngelakuin apapun? Itu maksudnya gimana?! Jangan-jangan ini hotel punya… keluarga lo?!”
Eunhee mengambil kunci dengan santai. “Emang.”
“APA?!” Suara Soojin sampai bikin tamu lain nengok.
“Yaelah, nggak usah teriak gitu kali. Nanti orang-orang ngira lo nemu kecoak di marmer hotel.”
Soojin langsung nutup mulutnya dengan kedua tangan. “Hee… jadi lo… anak konglomerat?! Dari tadi lo diem aja, padahal kita kayak mata-mata murahan!”
Eunhee hanya mengangkat alis. “Drama lebih seru kalau ada penyamaran, kan?”
Soojin menatapnya tak percaya. “Gila… jadi selama ini gue nganggep lo partner kriminal, ternyata lo… pemilik hotel?! Hee, lo tau nggak kalau ini plot twist setara drama Netflix?!”
Eunhee tertawa kecil. “Udah ah, jangan ribet. Fokus kita sekarang satu: kamar 203.”
Mereka lalu melangkah masuk ke lift. Musik instrumental lembut mengalun, kontras dengan jantung Soojin yang berdegup kencang.
Soojin menatap angka-angka di layar lift yang perlahan naik. “Hee… kalau kita ketahuan, apa yang bakal terjadi?”
Eunhee menatap lurus ke depan, ekspresinya dingin. “Kalau ketahuan… gampang. Gue tinggal bilang: ini hotel gue, masalah?”
Soojin langsung memeluk tasnya erat-erat. “Astaga naga… kenapa sahabat gue kayak karakter boss mafia yang nyamar jadi sahabat setia.”
Eunhee hanya nyengir tipis. “Jangan banyak drama. Begitu pintu lift terbuka, siap-siap ya. Nomor 203… itu kamar Minjae.”
---
Bersambung.........
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Annisa Chairiy
Cha eunhee cewek apa cowok sih?
kok perasaan di awal kayak temen cewek gitu?
2025-09-20
1
Septi Utami
pasti Eunhee kesel banget ngadepin tingkah sahabatnya, padahal Soojin yg ngajak dia, tapi sekarang malah dia yg harus nahan sabar ngadepin sikap Soojin yg panik karena melihat cowoknya sama cewek lain🤣
2025-09-22
0
Dasyah🤍
jin Lo mau lebrak atau mau paparazi sih🤣
2025-09-20
1