04. Dua Minggu kemudian

Ruang tengah keluarga Biantara malam itu terasa hening, hanya denting jam antik yang sesekali terdengar. Hanum duduk dengan canggung di sisi Miranti. Sejak kepergiannya dari rumah Galih, ia memang lebih sering berada di dekat mantan mertuanya itu, satu-satunya orang yang masih memandangnya sebagai anak.

Siska duduk di kursi utama, menatap Hanum dengan sorot penuh pertimbangan. “Aku sudah lama memperhatikanmu, Nak. Waktu acara syukuran bayi Kevin bulan lalu … aku melihat sendiri bagaimana kamu menggendongnya. Bayi itu diam, tenang, seolah menemukan pelukan yang ia cari. Dari situlah aku tahu, kamu bukan wanita biasa.”

Hanum menunduk, wajahnya memerah. Hatinya perih karena mengingat malam itu juga adalah tepat sebulan setelah ia kehilangan bayinya sendiri. Langkah sepatu terdengar mendekat. Abraham muncul dari lorong, posturnya tegak dengan kemeja hitam yang sederhana namun menegaskan wibawanya. Pandangannya langsung jatuh pada Hanum, menelisik tajam, mengingat kembali pertemuan singkat saat pesta itu. Tatapan mereka bertemu sepersekian detik, membuat dada Hanum bergetar tak nyaman.

“Jadi, inilah yang Ibu bicarakan,” ucap Abraham datar.

“Wanita itu..." Abraham duduk dengan kaki terangkat satu di menatap dingin ke arah Hanum.

Hanum tersentak kecil. “Wanita itu?” gumamnya lirih, seolah dirinya bukan manusia, hanya sekadar objek.

“Abraham,” tegur Siska. “Jangan bicara begitu, Hanum bukan sembarang perempuan. Dia keluarga Miranti, dan aku sudah tahu betul kisahnya.”

Abraham mendesah berat. “Aku tidak melupakan wajahnya. Saat pesta itu, aku memang memperhatikannya. Dia duduk sendiri di sudut ruangan, tapi matanya … penuh luka. Lalu bayi itu diam saat berada di pelukannya. Itu memang mengejutkan. Tapi...” ia kembali menatap lurus ke arah Hanum, nadanya mengeras, “aku tidak pernah berniat menikah lagi. Istriku baru sebulan lebih pergi. Aku tidak mau mengkhianati ingatan tentangnya.”

Siska meraih tangan putranya. “Bukan soal mengganti istrimu, Bian. Ini soal Kevin. Kau lihat sendiri, tidak ada susu formula yang bisa diterimanya. Dia butuh ibu susu. Dia butuh kasih sayang seorang perempuan yang kehilangan, sama seperti dia kehilangan ibunya.”

Abraham menahan rahang, jelas sedang berperang dengan dirinya sendiri. Ingatan saat melihat Hanum di pesta itu muncul lagi. Wanita yang tampak rapuh, tapi di balik itu tersimpan ketegaran yang membuatnya diam-diam terkesan.

Akhirnya ia menghela napas panjang. “Baik, kalau memang harus … ada syaratnya.”

Hanum mendongak, menahan detak jantungnya yang kencang.

“Syarat pertama, kamu boleh tinggal di rumah ini sebagai pengasuh Kevin sampai pernikahan berlangsung. Kedua, kamu tidak boleh pernah mengaku Kevin sebagai anakmu. Dia adalah putraku, darah Biantara. Kamu hanya ibu susu, bukan ibu kandung. Dan terakhir…” tatapannya menusuk, “tidak ada cinta di antara kita. Pernikahan ini hanya formalitas. Untuk menjaga nama baik keluarga dan melindungi Kevin dan tidak lebih.”

Miranti terhenyak. “Abraham...”

Namun Hanum memejamkan mata, menahan perih di matanya. Dia teringat Kevin yang menangis keras malam pesta itu, dan betapa dada yang kosong ini justru terasa penuh setiap kali mendengarnya. Dengan suara bergetar, ia menjawab, “Saya … akan melakukannya. Demi anak itu, bukan untuk saya, bukan juga untuk pernikahan.”

Siska menatapnya haru. “Tuhan memberkati keputusanmu, Nak.”

Abraham hanya diam. Meski nadanya dingin, matanya menyiratkan sesuatu yang tak bisa ditebak, seperti sedang berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua ini hanyalah urusan kewajiban, padahal jauh di lubuk hati ia tahu Hanum sudah meninggalkan jejak sejak pertemuan pertama.

Beberapa hari berlalu.

Pagi itu, gerbang besar rumah keluarga Biantara terbuka. Mobil Miranti melaju pelan masuk halaman luas yang dipenuhi pepohonan rindang dan taman bunga yang tertata rapi. Hanum duduk di samping Miranti, tangannya meremas ujung kerudung, wajahnya pucat karena gugup.

“Tenang saja, Nak,” ucap Miranti menepuk tangan Hanum. “Kamu tidak sendiri ... aku percaya kamu bisa menjalani ini, memulai hidup baru."

Hanum mengangguk kecil. Meski hatinya berat, ia sudah bertekad, demi bayi itu dan demi melupakan semua kisah hidupnya yang pahit.

Sesampainya di teras utama, beberapa pelayan sudah menunggu. Mereka menunduk sopan, namun tatapan mata mereka penuh tanya. Tak ada yang berani berkomentar, hanya bisik-bisik pelan yang sesekali terdengar.

“Ini Hanum,” jelas Miranti tegas. “Mulai hari ini dia akan tinggal di sini.”

Salah satu pelayan, Mbok Sarti, menatap Hanum lama, lalu tersenyum lembut. “Selamat datang, Nduk. Semoga betah di sini.”

Hanum membalas dengan senyum gugup. Ia menunduk hormat sebelum mengikuti langkah Miranti masuk ke dalam rumah.

Di ruang tamu yang luas dan elegan, Abraham sudah berdiri menunggu. Penampilannya rapi dengan kemeja putih, rambut hitamnya disisir ke belakang. Wajahnya tetap dingin, sorot matanya menusuk Hanum tanpa ekspresi.

“Jadi kau datang,” ucapnya datar.

Hanum hanya menunduk. “Iya, Tuan.”

Miranti hendak menegur dinginnya sikap Abraham, namun Hanum buru-buru menahan lengannya, memberi isyarat bahwa ia baik-baik saja.

“Mulai hari ini, kau akan menempati kamar di lantai dua, dekat kamar Kevin,” jelas Abraham. “Tugasmu jelas, menjaga Kevin, memberinya susu, memastikan dia sehat. Selain itu, tidak ada urusan lain. Kau bukan nyonya rumah ini ... ingat perjanjian kita.”

Kata-kata itu menusuk, tapi Hanum hanya bisa mengangguk. “Saya mengerti.”

Abraham menatapnya sejenak, lalu berbalik tanpa banyak kata lagi. “Bi Sarti, antar dia ke kamarnya.”

Kamar yang diberikan untuk Hanum cukup luas, dengan jendela besar menghadap taman. Saat pintu ditutup, Hanum menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Baru saja ia ingin duduk di ranjang, terdengar tangisan nyaring dari kamar sebelah. Tanpa pikir panjang, Hanum berlari keluar dan masuk ke kamar bayi. Di sana, dua pengasuh tampak panik, mencoba menenangkan Kevin yang menangis keras.

“Kenapa tidak diam-diam juga, Mbak…” salah satu pengasuh mengeluh.

Hanum mendekat. “Boleh … saya coba?” tanyanya pelan.

Kedua pengasuh itu saling pandang ragu. Namun akhirnya mengangguk. Hanum meraih bayi mungil itu dengan hati-hati, lalu mendekapnya erat. Tangisan Kevin mereda perlahan. Ia menatap Hanum dengan mata bulat bening, seakan mengenali kehangatan asing yang sekaligus familiar. Dada Hanum terasa sesak, air susunya kembali keluar, tubuhnya bereaksi alami seakan memang untuk anak ini.

“Diam … ya, Nak. Jangan nangis lagi,” bisik Hanum dengan suara lembut yang nyaris pecah karena emosi. Saat itu juga, tangisan Kevin benar-benar berhenti. Ia tertidur pulas di pelukan Hanum, kepalanya bersandar di dada Hanum seolah menemukan rumahnya.

Dari balik pintu yang terbuka sedikit, Abraham berdiri. Ia memperhatikan dengan mata tajam namun tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Bayi yang semalam terus menangis akhirnya diam hanya dengan pelukan seorang wanita yang bahkan bukan ibunya. Rahangnya mengeras, ada sesuatu dalam dirinya yang berontak.

Dia masuk perlahan. “Taruh dia di tempat tidur.”

Hanum tersentak, buru-buru menoleh. “Tuan … maaf, saya hanya ingin...”

“Aku bilang, taruh dia.” Suaranya dingin, tapi samar terdengar getar emosi di dalamnya. Hanum mengangguk patuh, lalu membaringkan Kevin ke ranjang bayi dengan hati-hati. Bayi itu tetap tertidur pulas, tak terganggu sama sekali. Abraham mendekat, tatapannya masih tajam pada Hanum. “Jangan terlalu larut. Ingat, kau bukan ibunya.”

Kata-kata itu menusuk sekali lagi. Namun Hanum hanya menunduk. “Saya mengerti, Tuan.”

Dalam hati, Abraham sebenarnya tengah dilanda dilema. Ia melihat sesuatu di diri Hanum, kekuatan lembut yang bahkan tak dimilikinya sendiri. Namun ia tak ingin mengakuinya. Karena, rasa kehilangan itu masih segar di ingatannya.

Terpopuler

Comments

ken darsihk

ken darsihk

Bapake si Kevin ini nama nya Biantara apa Abraham ??

2025-09-18

0

Lusi Hariyani

Lusi Hariyani

klo g blh dkt2 trs gmn cb nyysuin y

2025-09-18

0

Eka

Eka

hanum tingal pergi saja biar kevin nagis kejer biar tau rasa abraham sok2an bikin abraham bucin sama hanum thor

2025-10-28

0

lihat semua
Episodes
1 01. Pengkhianatan
2 02. Ditinggalkan dan diceraikan
3 03. Sebulan kemudian
4 04. Dua Minggu kemudian
5 05. Bayangan itu masih tersimpan meskipun tak bisa disentuh lagi
6 06. Terpaksa menikah demi Anak
7 07. pesta pernikahan mantan suami
8 08. Dia istriku!
9 09. menyesal?
10 10. Dibuang tak terhina
11 11. Suami idaman banget!
12 12. Menyesal pun tiada artinya.
13 13. Kotak bekal
14 14. Kejar cinta suamimu, Hanum.
15 15. pelan pelan saja
16 16. Perasaan itu sulit untuk dicerna.
17 17. kau tetap istriku.
18 18. Calon pelakor
19 19. Mas!
20 20. pelakor harus di lawan biar nggak ngelunjak.
21 21. malam ini dia bintangnya.
22 22. Harus jadi istri yang setara dengan suami.
23 23. Suami istri itu tidur bersama bukan terpisah.
24 24. Ini rumah kita!
25 25. Pemilik Sketsa itu...
26 26. Aku iri pada anakku.
27 27. kecupan kening yang tertinggal.
28 28. Ulat Bulu ...
29 29. Alma?
30 30. pemandangan yang indah
31 31. Siapa gadis itu sebenarnya?
32 32. Tiba ... Tiba
33 33. Bayangan?
34 34. Hanum or Alma
35 35. Hanum, kamu rumahku.
36 36. Jangan berhenti mencoba.
37 37. berhenti menyebut nama Alma! karena istriku saat ini Hanum.
38 38. malam pesta ultah
39 39. Karma
40 40. Sampai kapan dia akan terus mencari Masalah.
41 41. Staf kecil
42 42. Restoran
43 43. Beberapa bulan kemudian
44 44. Disandera
45 45. Balasan untuk mereka
46 46. Hari yang manis
47 47. Hamil?
48 48.Dua hari berlalu
49 49. 5 bulan kemudian
50 50. Hanum
51 51. Rumah sakit
52 52. Galih
53 53. Bayi Kembar
54 54. Beberapa bulan berlalu.
55 55. Keesokan harinya
56 56. Masuk Sekolah
57 57. waktu terus berjalan
58 58. Semua akan sembuh pada waktunya
59 59. Kalau hari itu tidak ada perpisahan maka tidak ada pertemuan ini.
60 60. Semua akan indah pada waktunya
61 Pengumuman
Episodes

Updated 61 Episodes

1
01. Pengkhianatan
2
02. Ditinggalkan dan diceraikan
3
03. Sebulan kemudian
4
04. Dua Minggu kemudian
5
05. Bayangan itu masih tersimpan meskipun tak bisa disentuh lagi
6
06. Terpaksa menikah demi Anak
7
07. pesta pernikahan mantan suami
8
08. Dia istriku!
9
09. menyesal?
10
10. Dibuang tak terhina
11
11. Suami idaman banget!
12
12. Menyesal pun tiada artinya.
13
13. Kotak bekal
14
14. Kejar cinta suamimu, Hanum.
15
15. pelan pelan saja
16
16. Perasaan itu sulit untuk dicerna.
17
17. kau tetap istriku.
18
18. Calon pelakor
19
19. Mas!
20
20. pelakor harus di lawan biar nggak ngelunjak.
21
21. malam ini dia bintangnya.
22
22. Harus jadi istri yang setara dengan suami.
23
23. Suami istri itu tidur bersama bukan terpisah.
24
24. Ini rumah kita!
25
25. Pemilik Sketsa itu...
26
26. Aku iri pada anakku.
27
27. kecupan kening yang tertinggal.
28
28. Ulat Bulu ...
29
29. Alma?
30
30. pemandangan yang indah
31
31. Siapa gadis itu sebenarnya?
32
32. Tiba ... Tiba
33
33. Bayangan?
34
34. Hanum or Alma
35
35. Hanum, kamu rumahku.
36
36. Jangan berhenti mencoba.
37
37. berhenti menyebut nama Alma! karena istriku saat ini Hanum.
38
38. malam pesta ultah
39
39. Karma
40
40. Sampai kapan dia akan terus mencari Masalah.
41
41. Staf kecil
42
42. Restoran
43
43. Beberapa bulan kemudian
44
44. Disandera
45
45. Balasan untuk mereka
46
46. Hari yang manis
47
47. Hamil?
48
48.Dua hari berlalu
49
49. 5 bulan kemudian
50
50. Hanum
51
51. Rumah sakit
52
52. Galih
53
53. Bayi Kembar
54
54. Beberapa bulan berlalu.
55
55. Keesokan harinya
56
56. Masuk Sekolah
57
57. waktu terus berjalan
58
58. Semua akan sembuh pada waktunya
59
59. Kalau hari itu tidak ada perpisahan maka tidak ada pertemuan ini.
60
60. Semua akan indah pada waktunya
61
Pengumuman

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!