BAB 4. TINDAKAN CEPAT

Langit pagi itu muram. Seolah awan-awan kelabu sengaja berkumpul untuk menutup sinar matahari, menindih desa kecil di kaki bukit dengan kesuraman yang berat. Angin berhembus malas, membawa serta aroma tanah lembap bercampur anyir keringat manusia yang hidup dalam keterbatasan. Di jalan tanah yang becek, Aruna melangkah pelan, mengikuti langkah cepat Nyi Ratna yang tergesa setelah seorang petani mengetuk pintu rumahnya, memohon pertolongan.

Aruna baru dua hari berada di dunia asing ini, tahun 1819, masa yang tak pernah ia bayangkan bisa disentuh oleh dirinya. Sejak bangun di gubuk Nyi Ratna, rasa bingung dan terasing tak pernah benar-benar hilang. Namun sore itu, tatkala ia menyusuri jalan desa bersama perempuan tua yang baik hati itu, ada sesuatu yang menusuk lebih dalam dari sekadar kebingungan: kepedihan melihat kenyataan hidup rakyat jelata.

Rumah-rumah bambu berdiri miring, sebagian besar atap ilalangnya bolong hingga tampias hujan pasti sering merembes ke dalam. Di sepanjang jalan, Aruna melihat anak-anak kurus duduk di tanah dengan perut buncit dan tulang rusuk menonjol, tanda kelaparan kronis. Beberapa dari mereka hanya menatap kosong, tanpa tenaga untuk berlari atau sekedar tertawa. Orang-orang dewasa yang lewat menunduk, wajah mereka pucat, keringat asin membasahi dahi meski udara tak begitu panas.

Aruna merasakan dadanya diremas. Ia seorang dokter, setidaknya di zamannya sendiri. Ilmunya bertahun-tahun dipupuk dengan idealisme: menyelamatkan nyawa, menolong tanpa pandang bulu. Namun di sini, di masa ini, ia tak memiliki apa-apa selain pengetahuan yang tersimpan di kepalanya. Tanpa obat-obatan, tanpa alat, tanpa rumah sakit, apa yang bisa ia lakukan?

Namun matanya tak bisa berpaling. Setiap pandangan manusia di desa itu bagai duri yang menancap di hatinya. Beberapa orang menghentikan langkah hanya untuk menatapnya dengan wajah penuh curiga. Tubuhnya, kulitnya yang lebih terang, pakaian pinjaman yang tampak asing, membuatnya terlihat bukan bagian dari mereka. Ada anak kecil yang bersembunyi di balik kaki ibunya, ketakutan seolah Aruna adalah makhluk dari dunia lain.

Nyi Ratna sempat menoleh, menyadari lirikan-lirikan itu lalu berkat, "Jangan hiraukan, Nduk," katanya pelan sambil tetap melangkah cepat. "Orang-orang sini belum pernah melihat kamu. Dan kamu terlihat berbeda, makanya pada penasaran."

Aruna hanya mengangguk, menelan kembali kegelisahan yang sempat naik ke tenggorokan.

Rumah yang dituju akhirnya terlihat: sebuah gubuk reyot di pinggir sawah, berdinding anyaman bambu yang sudah rapuh. Dari dalam, terdengar suara isak tangis perempuan bercampur dengan teriakan cemas. Begitu pintu digeser, suasana riuh langsung menyeruak. Seorang anak laki-laki berusia sekitar tujuh tahun terbaring di tikar lusuh, tubuhnya kejang-kejang hebat. Mulutnya berbuih, matanya terbalik ke atas, napasnya tersengal.

"Ndoro Gusti, tulungana!" jerit ibu si anak, memegangi tubuh mungil itu yang bergetar tak terkendali.

Nyi Ratna segera berlutut, tangannya gemetar saat mencoba menahan gerakan anak itu. Wajahnya tegang, jelas bingung harus berbuat apa.

"Gusti ... parah tenan iki, kulo kudu piye?" ucap Nyi Ratna yang menggunakan bahasa setempat.

Aruna mendekat dengan cepat. Sekilas saja ia tahu bahwa ini bukan sekadar demam biasa. Kejang dengan demam tinggi, ingatan medisnya berbisik: Malaria Serebral. Penyakit yang ia tahu, di masanya, bisa berakibat fatal bila tak segera ditangani.

"Nyi?" Aruna berkata cepat namun tetap penuh hormat, "izinkan saya membantu."

Perempuan tua itu menoleh, ragu sejenak, lalu teringat pada kata-kata Aruna beberapa hari lalu: bahwa dirinya seorang tabib dari tempat jauh. Dalam situasi genting ini, ia tak punya pilihan. "Cepet, Nduk. Yang kamu bisa tolong, tolonglah."

Aruna mengangguk. Ia segera mendekat, lututnya menempel di tikar. Tangannya terlatih menyentuh dahi anak itu, panas sekali. Denyut nadi cepat dan lemah. Bibir kering. Tubuhnya berkeringat deras.

"Pindahkan semua barang di sekitarnya, jauhkan benda keras!" seru Aruna. Ia ingat dengan jelas, saat pasien kejang, mereka bisa melukai diri sendiri.

Orang-orang di ruangan itu kebingungan, tapi segera menuruti. Aruna menahan kepala anak itu dengan lembut, memastikan ia tidak terbentur.

"Nak, dengarkan aku. Kau akan baik-baik saja," bisiknya lirih meski tahu anak itu mungkin tak sadar. Namun itulah kebiasaan yang ia lakukan kepada pasien pertama kali, mengangkat tekad pasien terlebih dahulu dan menenangkannya.

Kejang berlangsung beberapa menit, lalu tubuh anak itu perlahan melemas, hanya tersisa napas terengah dan tubuh panas membara. Ibu si anak menangis sesenggukan, memegangi tangan kecil yang lemah.

Aruna menarik napas panjang, mencoba mengendalikan degup jantungnya sendiri. "Ini penyakit malaria," gumamnya. "Aku harus menurunkan panasnya dulu. Kalau tidak, otaknya bisa rusak."

Dengan sigap, Aruna meminta air bersih. Ia celupkan kain tipis, lalu mulai mengompres dahi, leher, dan ketiak anak itu.

"Kita harus menurunkan suhu tubuhnya, dia terlalu panas," kata Aruna sigap.

Lalu ia menoleh ke Nyi Ratna. "Apakah di desa ini ada daun sambiloto? Rasanya sangat pahit."

Nyi Ratna mengangguk cepat. "Ada, banyak di kebon."

Ia menyuruh salah satu pemuda berlari mengambil daun sambiloto yang dimaksud.

Aruna melanjutkan, "Juga air kelapa muda, kalau ada."

Ibu si anak terisak, "Nggih, wonten ... saya ambilkan."

Sambil menunggu, Aruna menjelaskan dengan suara tegas agar semua mendengar. "Anak ini sakit karena gigitan nyamuk. Nyamuk itu membawa racun yang masuk ke dalam darah di tubuh. Racun itu yang membuat panas, menggigil, dan kejang. Penyakit ini bisa membunuh bila kita tidak berhati-hati."

Wajah-wajah di sekitarnya menegang, sebagian ketakutan, sebagian tak percaya.

"Nyamuk bisa mateni?" bisik seseorang.

Aruna menatap mereka penuh kesungguhan. "Ya. Karena itu, genangan air harus dikeringkan. Nyamuk berkembang di air yang tergenang. Kalau ada air yang disimpan pastikan tutup tempat airnya jika sedang tidak digunakan."

Beberapa orang berbisik-bisik, seolah baru mendengar hal mustahil. Namun Nyi Ratna mengangguk mantap, mendukung kata-kata Aruna.

Tak lama kemudian, daun sambiloto segenggam dibawa. Aruna menumbuknya di cobek, menambahkan sedikit air hangat, lalu menyaring sarinya. "Pahit memang, tapi bisa menurunkan panas." Dengan hati-hati, ia membantu anak itu minum sedikit demi sedikit saat sadar sebentar di sela kejang.

Air kelapa juga diberikan, menambah cairan tubuh yang hilang.

Aruna bekerja dengan tenang, meski dalam hati ia tahu ini hanya pertolongan terbatas. Di zamannya, ia akan langsung memasang infus, memberi obat antimalaria intravena, memantau laboratorium. Tapi di sini, semua itu hanyalah bayangan. Ia hanya punya pengetahuan, sedikit herbal, dan keyakinan.

Sore menjelang, tubuh anak itu masih demam tinggi, tapi kejangnya berkurang setelah diberi kompres dan ramuan pahit. Aruna duduk di sampingnya, menunggu, mendengarkan napas yang perlahan lebih teratur.

Ibu si anak menunduk, mencium tangan Aruna dengan air mata bercucuran. "Matur nuwun, Nduk ... Gusti mbales kebaikanmu."

"Tidak perlu sampai mencium tangan saya. Saya hanya membantu, saya juga orang biasa," kata Aruna sopan, menggenggam tangan ibu itu. Ia tidak ingin dianggap seperti Tuhan hanya karena memberikan sedikit bantuan saja.

Aruna hanya tersenyum samar. Hatinya bergetar hebat. Ia tahu perjuangan belum selesai. Penyakit ini bukan yang bisa hilang dalam semalam. Tapi setidaknya, ia telah menahan maut untuk sementara.

Dan malam itu, di tengah rumah bambu sederhana dengan lampu minyak yang redup, Aruna menyadari satu hal: mungkin, alasan ia terlempar ke masa ini adalah untuk ini, untuk membawa sedikit cahaya pada dunia yang tenggelam dalam kelam.

Terpopuler

Comments

🅰️Rion bee 🐝

🅰️Rion bee 🐝

mungkin yg kuasa ingin kamu membuktikan ucapanmu Aruna kalo kamu peduli sama wong cilik,makanya kamu terlempar kemasa itu,dimana jasamu tanpa imbalan tanpa gaji tanpa hadiah hanya sekedar ucapan tulus ikhlas dari hati mereka yg kamu bantu..

2025-09-07

2

Ita Xiaomi

Ita Xiaomi

Aku jd meneteskan air mata pas baca ini. Saat hidup dlm kesusahan bantuan sekecil apapun sangat berarti.

2025-09-21

1

RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑

RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑

semangat Aruna semoga kamu bisa membantu mereka yang kesusahan

2025-09-07

1

lihat semua
Episodes
1 BAB 1. ARUNA
2 BAB 2. TERJEBAK DI MASA LALU
3 BAB 3. SEKILAS INFORMASI
4 BAB 4. TINDAKAN CEPAT
5 BAB 5. DITERIMA
6 BAB 6. MEMBANTU
7 BAB 7. HASIL HUTAN
8 BAB 8. GAWAT
9 BAB 9. DOA
10 BAB 10. PULIH
11 BAB 11. KETAHUAN
12 BAB 12. TERTANGKAP
13 BAB 13. PERJALANAN KE BATAVIA
14 BAB 14. PANIK
15 BAB 15. BATAVIA TAHUN 1819
16 BAB 16. VAN DER CAPELLEN
17 BAB 17. SIDANG
18 BAB 18. KEPUTUSAN
19 BAB 19. NYAI
20 BAB 20. TIDAK DISANGKA
21 BAB 21. PINGSAN
22 BAB 22. SAKIT
23 BAB 23. PULANG?
24 BAB 24. JALAN-JALAN
25 BAB 25. TINDAKAN DARURAT
26 BAB 26. UNDANGAN
27 BAB 27. RUMAH KESEHATAN
28 BAB 28. FITNAH
29 BAB 29. DIADILI
30 BAB 30. SAKSI
31 BAB 31. HUKUMAN
32 BAB 32. MARAH
33 BAB 33. PERMINTAAN MENGEJUTKAN
34 BAB 34. MALU
35 BAB 35. HADIAH
36 BAB 36. MENDALAM
37 BAB 37. TAMU
38 BAB 38. GAWAT DARURAT
39 BAB 39. BERHASIL
40 BAB 40. KETAKUTAN BARU
41 BAB 41. JAWABAN RUMOR
42 BAB 42. DARURAT
43 BAB 43. PENANGANAN CEPAT
44 BAB 44. KECEMASAN
45 BAB 45. KONFLIK
46 BAB 46. DALANG
47 BAB 47. PERINTAH
48 BAB 48. MISI
49 BAB 49. KETAHUAN
50 BAB 50. DIA TAHU?
51 BAB 51. FAKTA
52 BAB 52. TENTANG MASA DEPAN
53 BAB 53. ANTUSIAS
54 BAB 54. KOLERA
55 BAB 55. SITUASI GENTING
56 BAB 56. WABAH
57 BAB 57. MEMANAS
58 BAB 58. PENYELIDIKAN SERIUS
59 BAB 59. PENANGKAPAN
60 BAB 60. JALAN KELUAR
61 BAB 61. PROGRAM
62 BAB 62. HASIL USAHA
63 BAB 63. KONTROVERSI
64 BAB 64. TERTANGKAP
65 BAB 65. KELELAHAN
66 BAB 66. PEMBERSIHAN
67 BAB 67. MELEMAH
68 BAB 68. SEMAKIN LEMAH
69 BAB 69. KEADAAN
70 BAB 70. ORANG PERTAMA
71 BAB 71. HADIAH TERAKHIR
72 BAB 72. PERMINTAAN TERAKHIR
73 BAB 73. DUKA SANG KEKASIH
74 BAB 74. SIUMAN
75 BAB 75. INGATAN
76 BAB 76. KEMBALI BERTEMU
77 BAB 77. KENANGAN
78 BAB 78. LUKISAN
79 BAB 79. LUKA DI MASA LALU
80 BAB 80. JANJI YANG DITEPATI
Episodes

Updated 80 Episodes

1
BAB 1. ARUNA
2
BAB 2. TERJEBAK DI MASA LALU
3
BAB 3. SEKILAS INFORMASI
4
BAB 4. TINDAKAN CEPAT
5
BAB 5. DITERIMA
6
BAB 6. MEMBANTU
7
BAB 7. HASIL HUTAN
8
BAB 8. GAWAT
9
BAB 9. DOA
10
BAB 10. PULIH
11
BAB 11. KETAHUAN
12
BAB 12. TERTANGKAP
13
BAB 13. PERJALANAN KE BATAVIA
14
BAB 14. PANIK
15
BAB 15. BATAVIA TAHUN 1819
16
BAB 16. VAN DER CAPELLEN
17
BAB 17. SIDANG
18
BAB 18. KEPUTUSAN
19
BAB 19. NYAI
20
BAB 20. TIDAK DISANGKA
21
BAB 21. PINGSAN
22
BAB 22. SAKIT
23
BAB 23. PULANG?
24
BAB 24. JALAN-JALAN
25
BAB 25. TINDAKAN DARURAT
26
BAB 26. UNDANGAN
27
BAB 27. RUMAH KESEHATAN
28
BAB 28. FITNAH
29
BAB 29. DIADILI
30
BAB 30. SAKSI
31
BAB 31. HUKUMAN
32
BAB 32. MARAH
33
BAB 33. PERMINTAAN MENGEJUTKAN
34
BAB 34. MALU
35
BAB 35. HADIAH
36
BAB 36. MENDALAM
37
BAB 37. TAMU
38
BAB 38. GAWAT DARURAT
39
BAB 39. BERHASIL
40
BAB 40. KETAKUTAN BARU
41
BAB 41. JAWABAN RUMOR
42
BAB 42. DARURAT
43
BAB 43. PENANGANAN CEPAT
44
BAB 44. KECEMASAN
45
BAB 45. KONFLIK
46
BAB 46. DALANG
47
BAB 47. PERINTAH
48
BAB 48. MISI
49
BAB 49. KETAHUAN
50
BAB 50. DIA TAHU?
51
BAB 51. FAKTA
52
BAB 52. TENTANG MASA DEPAN
53
BAB 53. ANTUSIAS
54
BAB 54. KOLERA
55
BAB 55. SITUASI GENTING
56
BAB 56. WABAH
57
BAB 57. MEMANAS
58
BAB 58. PENYELIDIKAN SERIUS
59
BAB 59. PENANGKAPAN
60
BAB 60. JALAN KELUAR
61
BAB 61. PROGRAM
62
BAB 62. HASIL USAHA
63
BAB 63. KONTROVERSI
64
BAB 64. TERTANGKAP
65
BAB 65. KELELAHAN
66
BAB 66. PEMBERSIHAN
67
BAB 67. MELEMAH
68
BAB 68. SEMAKIN LEMAH
69
BAB 69. KEADAAN
70
BAB 70. ORANG PERTAMA
71
BAB 71. HADIAH TERAKHIR
72
BAB 72. PERMINTAAN TERAKHIR
73
BAB 73. DUKA SANG KEKASIH
74
BAB 74. SIUMAN
75
BAB 75. INGATAN
76
BAB 76. KEMBALI BERTEMU
77
BAB 77. KENANGAN
78
BAB 78. LUKISAN
79
BAB 79. LUKA DI MASA LALU
80
BAB 80. JANJI YANG DITEPATI

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!