BAB 3. SEKILAS INFORMASI

Aruna terbangun pagi itu dengan tubuh yang masih terasa lemah. Bau kayu bakar yang menyisakan arang tercium samar dari tungku di sudut ruangan, bercampur dengan wangi dedaunan kering yang digantung di atasnya. Cahaya mentari pagi menyusup lewat sela-sela anyaman dinding bambu, membentuk garis-garis tipis keemasan di lantai tanah. Ia mengerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan dunia asing yang kini benar-benar nyata di hadapannya.

Di hadapannya, Nyi Ratna sedang duduk bersila. Perempuan tua itu menatapnya dengan mata teduh yang menyimpan sesuatu antara kasih dan kecemasan. Tangannya sibuk melipat sehelai kain jarik bermotif parang sederhana.

"Nduk, kau harus mengenakan ini," ucap Nyi Ratna dengan suara lirih, seakan tak ingin mengejutkan Aruna. "Pakaianmu semalam ... terlalu mencolok. Kalau ada mata-mata yang melihat, bisa runyam urusannya."

Aruna menoleh ke arah baju yang ia kenakan semalam: kemeja putih bersih, celana panjang berbahan katun, dan jaket dokter muda yang menjadi kebanggaannya. Semua itu kini terlipat rapi di sudut ruangan. Ia mendesah pelan. Baju itu adalah identitasnya, penanda siapa dirinya. Namun di mata dunia asing ini, mungkin justru menjadi bencana.

"Kenapa?" tanyanya lirih yang kini mencoba memakai bahasa baku formal agar tidak terdengar aneh di situasi ini. "Apakah ada yang salah jika aku terlihat berbeda?"

Nyi Ratna menggeleng pelan. Ia menyodorkan kain jarik itu, lalu di atasnya ada kebaya lusuh berwarna cokelat tanah. "Bukan salahmu. Tapi, lihatlah kulitmu, pucat, putih bersih seperti beras tumbuk. Orang akan mengira kau bagian dari mereka."

"Londo?" sela Aruna, menatap penuh tanda tanya.

Nyi Ratna mengangguk dengan getir. "Ya. Para Londo. Banyak mata yang membenci, banyak pula yang haus akan kuasa. Kalau mereka melihatmu, mereka mungkin curiga. Atau ..." Nyi Ratna menunduk sebentar, seakan berat mengucapkannya. "Atau menginginkanmu untuk hal-hal buruk."

Aruna tercekat. Hatinya bergidik membayangkan kemungkinan itu. Ia menggenggam kain pemberian Nyi Ratna dengan tangan bergetar. "Baiklah ... kalau ini bisa membuatku aman, aku akan mengenakannya."

Dengan sabar, Nyi Ratna membantu Aruna berganti pakaian. Jarik dililitkan di pinggang, dilipat rapi hingga menutup betis. Kebaya lusuh disampirkan dan dipasang di tubuhnya. Rambut hitam panjang Aruna diikat sederhana dengan kain kecil, digelung seadanya di tengkuk. Saat akhirnya ia berdiri, Aruna nyaris tak mengenali dirinya sendiri di cermin kecil berbingkai kayu.

"Sekarang kau tampak seperti gadis desa biasa," kata Nyi Ratna dengan senyum samar. "Hanya saja ... kecantikanmu masih terlalu mencolok. Semoga Gusti melindungi, agar tiada mata jahat yang melirikmu."

Aruna tersipu malu sekaligus waswas. Ia belum pernah dipandang sebagai ancaman hanya karena parasnya. Padahal di masa Aruna, tampang Aruna termasuk yang standar saja, karena ada bagitu wanita cantik di era modern.

Setelah Aruna merasa sedikit nyaman dengan pakaian barunya, ia duduk berhadapan dengan Nyi Ratna di dekat tungku. Rasa ingin tahunya tak bisa dibendung lagi. Ia harus tahu kondisi dan situasi sekarang agar tidak melakukan kesalahan fatal yang membahayakan hidup Aruna sendiri.

"Nyi, bolehkah aku bertanya? Aku ingin tahu tentang tempat ini. Tentang desa ini ... tentang orang-orang Londo itu ... tentang keadaan sekarang."

Nyi Ratna menatapnya lama, seakan menimbang apakah gadis asing ini cukup pantas menerima kebenaran. Lalu ia menghela napas panjang.

"Desa ini bernama Dukuh Waringin, dekat Depok Lama," katanya pelan. "Tempat kecil di pinggiran alas, yang masih jauh dari jalan raya. Di sini orang hidup seadanya, bertani singkong, menanam padi saat sawahnya dapat air. Kami menghindar dari hiruk pikuk jalan besar, karena di sana sering lewat serdadu Kompeni."

"Kompeni?" ulang Aruna, mencoba merangkai potongan sejarah dalam kepalanya.

"Ya. Tentara Londo. Mereka berkeliling, memungut hasil bumi dari rakyat. Katanya untuk negeri jauh di seberang lautan. Kopi, tebu, nila ... semua dipaksa tanam. Hasilnya dibawa pergi, rakyat sendiri kelaparan."

Aruna terdiam. Ingatannya tentang pelajaran sejarah di sekolah menyeruak samar. Sistem tanam paksa: Cultuurstelsel. Ia tidak menyangka kini sedang mendengar langsung dari seorang saksi hidup.

"Apakah semua orang di sini takut pada mereka?" tanya Aruna.

"Takut, benci, pasrah. Semua bercampur. Orang yang melawan dibantai. Orang yang tunduk tetap sengsara. Kompeni tak pernah benar-benar peduli pada nyawa pribumi," jawab Nyi Ratna.

Aruna merasakan sesak di dadanya. Ia menunduk, lalu memberanikan diri bertanya lebih jauh. "Kalau Nyi sendiri, asli lahir di desa ini?"

Mata Nyi Ratna berkaca-kaca. Ia menatap ke luar jendela, seakan melihat bayangan masa lalu.

"Aku berasal dari Desa Lengkong," katanya dengan suara bergetar. "Itu dulu, sekitar dua puluh tahun lalu. Kau tahu apa yang terjadi?”

Aruna menggeleng perlahan.

"Kompeni datang, menuduh desa kami menyembunyikan laskar pemberontak. Mereka menyerbu di malam hari. Api membakar lumbung, rumah-rumah, bahkan balai desa. Suamiku terbunuh saat mencoba melindungi keluarga. Anakku, dia masih kecil waktu itu, terinjak-injak dalam kekacauan. Aku ... aku hanya bisa berlari, menyelamatkan diri dengan beberapa orang lainnya."

Suara Nyi Ratna pecah. Tangan tuanya meremas lutut dengan kuat, seakan masih terasa sakitnya kehilangan.

Aruna menahan napas, matanya panas mendengar cerita itu. Ia ingin meraih tangan perempuan tua itu, dan akhirnya melakukannya. "Aku ... turut berduka, Nyi. Aku tidak bisa membayangkan betapa beratnya."

Nyi Ratna tersenyum pahit, lalu menyeka air matanya dengan ujung kain. "Sejak saat itu aku datang ke Dukuh Waringin. Orang-orang di sini menerimaku. Aku membantu mereka sebisaku, mengobati luka, meramu jamu, menolong perempuan melahirkan. Orang-orang menyebutku tabib atau dukun beranak. Padahal, ilmuku terbatas. Aku hanya belajar dari orang tua dulu, dari pengalaman."

Aruna menatapnya dengan penuh rasa hormat. "Tapi apa yang Nyi lakukan sangat berarti. Kau menyelamatkan nyawa orang-orang."

Perempuan tua itu tersenyum samar. "Entahlah. Aku hanya berusaha. Tapi sejak itu, aku hidup seorang diri. Maka ... ketika kau kutemukan semalam di pinggir hutan, aku merasa Gusti mengirimkanmu kepadaku. Tinggallah bersamaku, Aruna. Aku sudah tua. Kehadiranmu membuat rumah ini terasa hangat lagi."

Aruna terdiam lama. Ada rasa haru yang merayapi dadanya. Baginya, tawaran itu bukan sekadar tumpangan, melainkan pertolongan di tengah kebingungannya. Ia mengangguk perlahan. "Terima kasih, Nyi. Terima kasih karena sudah mau membantuku."

Namun kebersamaan mereka baru seumur jagung ketika tiba-tiba pintu rumah digedor-gedor keras.

Dug! Dug! Dug!

"Mbok Ratna! Mbok Ratna! Tolong! Anak saya ... anak saya sakit keras!"

Suara seorang lelaki terdengar dari luar, parau dan cemas.

Nyi Ratna terperanjat, segera bangkit. Ia membuka pintu, mendapati seorang petani dengan wajah pucat penuh keringat. "Tolonglah, Mbok. Anak saya tidak berhenti panas dan menggigil."

Tanpa ragu, Nyi Ratna mengangguk. "Baik. Aku akan datang." Ia menoleh pada Aruna yang berdiri kebingungan. "Kau ikut denganku, Nduk. Aku tak bisa meninggalkanmu sendirian di rumah ini."

Aruna menelan ludah, jantungnya berdebar. Namun ia segera mengangguk. "Baik, Nyi. Aku ikut."

Dengan tergesa, mereka berdua bersiap. Nyi Ratna mengambil buntalan kecil berisi ramuan dan daun kering, lalu melangkah keluar bersama Aruna, mengikuti sang petani menuju rumah yang memanggil pertolongan.

Terpopuler

Comments

gaby

gaby

Crita yg bagus thor. Jarang2 ada novel time travel ke jaman kompeni Belanda.

2025-09-07

3

Jelita S

Jelita S

jdi ingat cerita nenek ku dulu ttg kompeni Belanda😭

2025-09-07

1

Ita Xiaomi

Ita Xiaomi

Jd ingat pelajaran sejarah.

2025-09-21

1

lihat semua
Episodes
1 BAB 1. ARUNA
2 BAB 2. TERJEBAK DI MASA LALU
3 BAB 3. SEKILAS INFORMASI
4 BAB 4. TINDAKAN CEPAT
5 BAB 5. DITERIMA
6 BAB 6. MEMBANTU
7 BAB 7. HASIL HUTAN
8 BAB 8. GAWAT
9 BAB 9. DOA
10 BAB 10. PULIH
11 BAB 11. KETAHUAN
12 BAB 12. TERTANGKAP
13 BAB 13. PERJALANAN KE BATAVIA
14 BAB 14. PANIK
15 BAB 15. BATAVIA TAHUN 1819
16 BAB 16. VAN DER CAPELLEN
17 BAB 17. SIDANG
18 BAB 18. KEPUTUSAN
19 BAB 19. NYAI
20 BAB 20. TIDAK DISANGKA
21 BAB 21. PINGSAN
22 BAB 22. SAKIT
23 BAB 23. PULANG?
24 BAB 24. JALAN-JALAN
25 BAB 25. TINDAKAN DARURAT
26 BAB 26. UNDANGAN
27 BAB 27. RUMAH KESEHATAN
28 BAB 28. FITNAH
29 BAB 29. DIADILI
30 BAB 30. SAKSI
31 BAB 31. HUKUMAN
32 BAB 32. MARAH
33 BAB 33. PERMINTAAN MENGEJUTKAN
34 BAB 34. MALU
35 BAB 35. HADIAH
36 BAB 36. MENDALAM
37 BAB 37. TAMU
38 BAB 38. GAWAT DARURAT
39 BAB 39. BERHASIL
40 BAB 40. KETAKUTAN BARU
41 BAB 41. JAWABAN RUMOR
42 BAB 42. DARURAT
43 BAB 43. PENANGANAN CEPAT
44 BAB 44. KECEMASAN
45 BAB 45. KONFLIK
46 BAB 46. DALANG
47 BAB 47. PERINTAH
48 BAB 48. MISI
49 BAB 49. KETAHUAN
50 BAB 50. DIA TAHU?
51 BAB 51. FAKTA
52 BAB 52. TENTANG MASA DEPAN
53 BAB 53. ANTUSIAS
54 BAB 54. KOLERA
55 BAB 55. SITUASI GENTING
56 BAB 56. WABAH
57 BAB 57. MEMANAS
58 BAB 58. PENYELIDIKAN SERIUS
59 BAB 59. PENANGKAPAN
60 BAB 60. JALAN KELUAR
61 BAB 61. PROGRAM
62 BAB 62. HASIL USAHA
63 BAB 63. KONTROVERSI
64 BAB 64. TERTANGKAP
65 BAB 65. KELELAHAN
66 BAB 66. PEMBERSIHAN
67 BAB 67. MELEMAH
68 BAB 68. SEMAKIN LEMAH
69 BAB 69. KEADAAN
70 BAB 70. ORANG PERTAMA
71 BAB 71. HADIAH TERAKHIR
72 BAB 72. PERMINTAAN TERAKHIR
73 BAB 73. DUKA SANG KEKASIH
74 BAB 74. SIUMAN
75 BAB 75. INGATAN
76 BAB 76. KEMBALI BERTEMU
77 BAB 77. KENANGAN
78 BAB 78. LUKISAN
79 BAB 79. LUKA DI MASA LALU
80 BAB 80. JANJI YANG DITEPATI
Episodes

Updated 80 Episodes

1
BAB 1. ARUNA
2
BAB 2. TERJEBAK DI MASA LALU
3
BAB 3. SEKILAS INFORMASI
4
BAB 4. TINDAKAN CEPAT
5
BAB 5. DITERIMA
6
BAB 6. MEMBANTU
7
BAB 7. HASIL HUTAN
8
BAB 8. GAWAT
9
BAB 9. DOA
10
BAB 10. PULIH
11
BAB 11. KETAHUAN
12
BAB 12. TERTANGKAP
13
BAB 13. PERJALANAN KE BATAVIA
14
BAB 14. PANIK
15
BAB 15. BATAVIA TAHUN 1819
16
BAB 16. VAN DER CAPELLEN
17
BAB 17. SIDANG
18
BAB 18. KEPUTUSAN
19
BAB 19. NYAI
20
BAB 20. TIDAK DISANGKA
21
BAB 21. PINGSAN
22
BAB 22. SAKIT
23
BAB 23. PULANG?
24
BAB 24. JALAN-JALAN
25
BAB 25. TINDAKAN DARURAT
26
BAB 26. UNDANGAN
27
BAB 27. RUMAH KESEHATAN
28
BAB 28. FITNAH
29
BAB 29. DIADILI
30
BAB 30. SAKSI
31
BAB 31. HUKUMAN
32
BAB 32. MARAH
33
BAB 33. PERMINTAAN MENGEJUTKAN
34
BAB 34. MALU
35
BAB 35. HADIAH
36
BAB 36. MENDALAM
37
BAB 37. TAMU
38
BAB 38. GAWAT DARURAT
39
BAB 39. BERHASIL
40
BAB 40. KETAKUTAN BARU
41
BAB 41. JAWABAN RUMOR
42
BAB 42. DARURAT
43
BAB 43. PENANGANAN CEPAT
44
BAB 44. KECEMASAN
45
BAB 45. KONFLIK
46
BAB 46. DALANG
47
BAB 47. PERINTAH
48
BAB 48. MISI
49
BAB 49. KETAHUAN
50
BAB 50. DIA TAHU?
51
BAB 51. FAKTA
52
BAB 52. TENTANG MASA DEPAN
53
BAB 53. ANTUSIAS
54
BAB 54. KOLERA
55
BAB 55. SITUASI GENTING
56
BAB 56. WABAH
57
BAB 57. MEMANAS
58
BAB 58. PENYELIDIKAN SERIUS
59
BAB 59. PENANGKAPAN
60
BAB 60. JALAN KELUAR
61
BAB 61. PROGRAM
62
BAB 62. HASIL USAHA
63
BAB 63. KONTROVERSI
64
BAB 64. TERTANGKAP
65
BAB 65. KELELAHAN
66
BAB 66. PEMBERSIHAN
67
BAB 67. MELEMAH
68
BAB 68. SEMAKIN LEMAH
69
BAB 69. KEADAAN
70
BAB 70. ORANG PERTAMA
71
BAB 71. HADIAH TERAKHIR
72
BAB 72. PERMINTAAN TERAKHIR
73
BAB 73. DUKA SANG KEKASIH
74
BAB 74. SIUMAN
75
BAB 75. INGATAN
76
BAB 76. KEMBALI BERTEMU
77
BAB 77. KENANGAN
78
BAB 78. LUKISAN
79
BAB 79. LUKA DI MASA LALU
80
BAB 80. JANJI YANG DITEPATI

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!