BAB 2. TERJEBAK DI MASA LALU

Aruna perlahan membuka matanya. Pandangannya kabur, cahaya yang menembus sela-sela dedaunan di atas kepalanya menyilaukan retina yang masih lelah. Tubuhnya terasa berat, seolah terhimpit oleh mimpi buruk yang panjang. Napasnya tersengal, jantungnya berdegup kencang, dan untuk sesaat ia tidak tahu apakah dirinya masih berada di dunia nyata atau masih tersesat dalam mimpi.

Udara yang ia hirup begitu berbeda, tidak ada bau antiseptik, tidak ada suara mesin medis, tidak ada gemuruh lalu lintas kota. Yang ada hanya wangi tanah basah, suara serangga hutan, dan desir lembut angin yang membawa aroma dedaunan liar. Tubuhnya terbaring di atas anyaman tikar kasar, di ruang terbuka yang dindingnya hanya berupa bilah-bilah bambu dengan atap rumbia yang samar-samar bocor cahaya.

Aruna tersentak. Ini bukan kamar rumah sakit. Ini bukan apartemennya di Jakarta.

"Syukurlah kau sudah siuman, Nduk," suara seorang perempuan tua terdengar pelan di sampingnya.

Aruna menoleh. Seorang wanita tua duduk bersila di lantai tanah beralas tikar, menatapnya dengan sorot mata penuh perhatian. Wajahnya berkerut dimakan usia, rambutnya disanggul sederhana dengan kain lusuh, dan tubuhnya dibalut kebaya berwarna cokelat pudar. Tangannya yang keriput memegang sebuah mangkuk tanah liat berisi air.

Aruna menelan ludah, bingung. "Ini ... di mana saya?" suaranya parau, nyaris tak percaya pada kenyataan di hadapannya.

Wanita itu tersenyum tipis, memperlihatkan giginya yang sudah banyak tanggal. "Kau ditemukan pingsan di pinggir alas, dekat jalan setapak menuju sawah. Untung ada petani yang melihat, lalu mereka membawamu ke sini. Ini desa Depok Lama, Nduk. Tempat kecil yang dekat dengan Batavia."

Aruna membelalakkan mata. Depok Lama? Batavia? Kedua nama itu bagai gema asing di telinganya, tapi pada saat yang sama terasa akrab dari buku sejarah yang pernah ia baca. Ia menggigit bibir, mencoba mencerna, menolak pikiran yang tiba-tiba menyergap.

"Batavia? Maksudnya ... Jakarta?" Aruna mencoba bertanya dengan nada ragu.

Wanita itu mengerutkan dahi. "Jakarta? Aku tidak kenal nama itu. Yang kukenal hanyalah Batavia, pusat para Londo itu."

Kata 'Londo' membuat darah Aruna berdesir dingin. Ingatannya melayang pada pelajaran sejarah sekolah: Londo, begitulah rakyat pribumi menyebut orang-orang Belanda, para penjajah yang menguasai tanah air di masa lalu.

Tidak. Tidak mungkin.

Aruna menggeleng, mencubit pergelangan tangannya sendiri. Ia berharap rasa sakit itu akan membangunkannya dari mimpi aneh ini. Namun cubitan itu nyata, pedih, meninggalkan bekas kemerahan di kulitnya.

Wanita tua itu tersenyum prihatin melihat kegugupan Aruna. "Jangan banyak bergerak dulu, Nduk. Kau masih lemah. Ikutlah aku pulang ke rumahku. Tidak baik seorang gadis secantikmu berkeliaran sendirian di desa ini. Kalau sampai para Kompeni tahu, mereka bisa mencurigaimu. Kau bisa dibawa ke kota untuk diinterogasi. Percayalah, itu berbahaya."

Aruna terdiam. Kata 'Kompeni' kembali membuatnya teringat pada istilah lama untuk menyebut tentara Belanda. Apa mungkin ... ia benar-benar terlempar ke masa kolonial?

Tidak. Itu mustahil. Mustahil.

"Bu ... ini tahun berapa sekarang?" tanyanya pelan, hampir berbisik.

Wanita itu menatapnya heran, seolah pertanyaan itu aneh. "Tahun ini ... aku dengar dari Londo kalau tidak salah 1819, Nduk. Apa kau lupa? Atau kepalamu masih pening karena jatuh?"

Dunia Aruna runtuh. Napasnya tercekat, darahnya seperti berhenti mengalir. Tahun 1819. Itu berarti ... lebih dari dua abad lalu.

Ia menolak percaya. Otaknya yang terlatih secara medis mencoba mencari penjelasan rasional: mungkin ini halusinasi akibat trauma, mungkin ia sedang koma dan otaknya menciptakan realitas alternatif. Namun semua yang ia rasakan terlalu nyata, angin yang menyapu kulitnya, bau tanah basah, suara ayam jantan dari kejauhan, bahkan tekstur kasar tikar di bawah tubuhnya.

Wanita tua itu, yang kemudian memerkenalkan diri sebagai Nyi Ratna, menyentuh bahu Aruna lembut. "Ayolah, ikutlah aku. Jangan sampai para Londo melihatmu. Mereka selalu curiga pada orang asing."

Aruna tidak punya pilihan. Dengan tubuh yang masih lemah, ia membiarkan Nyi Ratna Wulan membantunya berdiri. Langkahnya goyah, tapi wanita tua itu sigap menopangnya. Mereka berjalan menyusuri jalan tanah becek yang diapit sawah menghijau dan hutan kecil di kejauhan.

Sepanjang perjalanan, Aruna terus memandang sekeliling dengan perasaan campur aduk. Rumah-rumah bambu beratap rumbia berjejer sederhana. Orang-orang berpakaian lurik, kain jarit, kebaya, atau hanya kain yang dililit di pinggang. Anak-anak berlari tanpa alas kaki, tertawa riang meski tubuh mereka dekil.

Namun bukan itu saja yang membuatnya tertegun. Sesekali ia melihat sosok berkulit pucat, tinggi, dengan rambut pirang atau cokelat, mengenakan seragam rapi, menunggang kuda sambil menatap tajam ke arah rakyat. Setiap kali orang-orang itu lewat, suasana desa seketika hening, penuh ketakutan.

Aruna merinding. Sosok-sosok itu nyata, tentara Belanda, para Kompeni. Ia mengenalinya dari gambaran di buku sejarah.

Hatinya bergemuruh. Apa benar ia telah terjebak di masa lalu?

Rumah Nyi Ratna berada di tepi desa, sebuah bangunan kayu sederhana dengan dinding anyaman bambu. Bau asap kayu dan wangi singkong rebus menyambut Aruna begitu masuk. Nyi Ratna menyuruhnya duduk di bangku kayu reyot, lalu menuangkan air ke dalam tempurung kelapa dan menyodorkannya.

"Minumlah dulu, Nduk. Air hangat bisa membuatmu tenang," suruh Nyi Ratna.

Aruna meneguk perlahan. Rasanya hambar, tapi cukup menenangkan tenggorokannya yang kering.

"Sekarang katakan padaku," ujar Nyi Ratna lembut. "Siapa sebenarnya kau, dan dari mana asalmu? Kenapa anak gadis secantik dirimu ada di desa ini?"

Aruna terdiam lama. Bagaimana ia bisa menjelaskan?

"Saya ... dari kota Jakarta," jawabnya akhirnya.

Nyi Ratna mengerutkan dahi. "Jakarta? Aku tidak pernah dengar. Apa itu desa baru? Atau negeri jauh?"

Aruna menggigit bibir. Ia lupa, Jakarta baru digunakan setelah kemerdekaan. Pada tahun 1819, kota itu masih bernama Batavia.

"Batavia," Aruna mengoreksi ucapan sebelumya. "Mungkin ... Batavia."

Nyi Ratna mengangguk pelan, meski masih terlihat bingung. "Tapi dari penampilanmu, rasanya kau bukan orang sini. Pakaianmu aneh. Dan kulitmu halus, bukan seperti orang desa yang terbiasa kerja sawah. Apa kau dari keluarga Londo?"

Aruna terdiam, lalu kemudian menggeleng.

"Apa pekerjaanmu sebenarnya, Nduk?" tanya Nyi Ratna lagi.

Aruna menelan ludah. Bagaimana menjelaskan profesinya pada orang tahun 1819? "Saya ... seorang dokter,” jawabnya hati-hati.

Mata Nyi Ratna membesar. "Dokter? Apa itu?"

Aruna menarik napas dalam-dalam. "Dokter ... adalah orang yang membantu menyembuhkan orang sakit. Kami menggunakan ilmu pengetahuan, obat, dan cara-cara tertentu untuk merawat tubuh manusia."

Nyi Ratna terdiam, wajahnya berubah takjub. "Kau ... seorang tabib?"

Aruna mengangguk ragu.

"Ya Gusti ...." Nyi Ratna menutup mulutnya dengan tangan gemetar. "Tabib adalah anugerah bagi orang-orang desa. Semua orang menghormati tabib, karena hanya mereka yang bisa menjadi harapan ketika sakit datang. Kau ... benar-benar tabib?"

Aruna menghela napas panjang. Ia tidak tahu harus bangga atau takut. Ia memang seorang dokter, tapi berada di dunia asing ini, apakah ilmunya bisa membantu? Apakah orang-orang akan menerima pengetahuannya atau justru menganggapnya penyihir? Ia tahu apa yang terjadi pada mereka yang memiliki pengetahuan lebih tentang hal yang tidak umum, terutama seorang wanita. Mereka akan dianggap penyihir, orang gila, dan paling mengerikannya sampai dibunuh dan dibakar hidup-hidup karena takut menjadi ancaman.

Pertanyaan itu bergema di benaknya, bersama satu kenyataan pahit: ia, Aruna Prameswari, dokter muda abad ke-21, kini terjebak di sebuah desa kecil di bawah bayang-bayang kekuasaan kolonial Belanda tahun 1819.

Dan entah bagaimana caranya, ia harus bertahan.

Terpopuler

Comments

RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑

RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑

seru ceritanya

2025-09-07

0

lihat semua
Episodes
1 BAB 1. ARUNA
2 BAB 2. TERJEBAK DI MASA LALU
3 BAB 3. SEKILAS INFORMASI
4 BAB 4. TINDAKAN CEPAT
5 BAB 5. DITERIMA
6 BAB 6. MEMBANTU
7 BAB 7. HASIL HUTAN
8 BAB 8. GAWAT
9 BAB 9. DOA
10 BAB 10. PULIH
11 BAB 11. KETAHUAN
12 BAB 12. TERTANGKAP
13 BAB 13. PERJALANAN KE BATAVIA
14 BAB 14. PANIK
15 BAB 15. BATAVIA TAHUN 1819
16 BAB 16. VAN DER CAPELLEN
17 BAB 17. SIDANG
18 BAB 18. KEPUTUSAN
19 BAB 19. NYAI
20 BAB 20. TIDAK DISANGKA
21 BAB 21. PINGSAN
22 BAB 22. SAKIT
23 BAB 23. PULANG?
24 BAB 24. JALAN-JALAN
25 BAB 25. TINDAKAN DARURAT
26 BAB 26. UNDANGAN
27 BAB 27. RUMAH KESEHATAN
28 BAB 28. FITNAH
29 BAB 29. DIADILI
30 BAB 30. SAKSI
31 BAB 31. HUKUMAN
32 BAB 32. MARAH
33 BAB 33. PERMINTAAN MENGEJUTKAN
34 BAB 34. MALU
35 BAB 35. HADIAH
36 BAB 36. MENDALAM
37 BAB 37. TAMU
38 BAB 38. GAWAT DARURAT
39 BAB 39. BERHASIL
40 BAB 40. KETAKUTAN BARU
41 BAB 41. JAWABAN RUMOR
42 BAB 42. DARURAT
43 BAB 43. PENANGANAN CEPAT
44 BAB 44. KECEMASAN
45 BAB 45. KONFLIK
46 BAB 46. DALANG
47 BAB 47. PERINTAH
48 BAB 48. MISI
49 BAB 49. KETAHUAN
50 BAB 50. DIA TAHU?
51 BAB 51. FAKTA
52 BAB 52. TENTANG MASA DEPAN
53 BAB 53. ANTUSIAS
54 BAB 54. KOLERA
55 BAB 55. SITUASI GENTING
56 BAB 56. WABAH
57 BAB 57. MEMANAS
58 BAB 58. PENYELIDIKAN SERIUS
59 BAB 59. PENANGKAPAN
60 BAB 60. JALAN KELUAR
61 BAB 61. PROGRAM
62 BAB 62. HASIL USAHA
63 BAB 63. KONTROVERSI
64 BAB 64. TERTANGKAP
65 BAB 65. KELELAHAN
66 BAB 66. PEMBERSIHAN
67 BAB 67. MELEMAH
68 BAB 68. SEMAKIN LEMAH
69 BAB 69. KEADAAN
70 BAB 70. ORANG PERTAMA
71 BAB 71. HADIAH TERAKHIR
72 BAB 72. PERMINTAAN TERAKHIR
73 BAB 73. DUKA SANG KEKASIH
74 BAB 74. SIUMAN
75 BAB 75. INGATAN
76 BAB 76. KEMBALI BERTEMU
77 BAB 77. KENANGAN
78 BAB 78. LUKISAN
79 BAB 79. LUKA DI MASA LALU
80 BAB 80. JANJI YANG DITEPATI
Episodes

Updated 80 Episodes

1
BAB 1. ARUNA
2
BAB 2. TERJEBAK DI MASA LALU
3
BAB 3. SEKILAS INFORMASI
4
BAB 4. TINDAKAN CEPAT
5
BAB 5. DITERIMA
6
BAB 6. MEMBANTU
7
BAB 7. HASIL HUTAN
8
BAB 8. GAWAT
9
BAB 9. DOA
10
BAB 10. PULIH
11
BAB 11. KETAHUAN
12
BAB 12. TERTANGKAP
13
BAB 13. PERJALANAN KE BATAVIA
14
BAB 14. PANIK
15
BAB 15. BATAVIA TAHUN 1819
16
BAB 16. VAN DER CAPELLEN
17
BAB 17. SIDANG
18
BAB 18. KEPUTUSAN
19
BAB 19. NYAI
20
BAB 20. TIDAK DISANGKA
21
BAB 21. PINGSAN
22
BAB 22. SAKIT
23
BAB 23. PULANG?
24
BAB 24. JALAN-JALAN
25
BAB 25. TINDAKAN DARURAT
26
BAB 26. UNDANGAN
27
BAB 27. RUMAH KESEHATAN
28
BAB 28. FITNAH
29
BAB 29. DIADILI
30
BAB 30. SAKSI
31
BAB 31. HUKUMAN
32
BAB 32. MARAH
33
BAB 33. PERMINTAAN MENGEJUTKAN
34
BAB 34. MALU
35
BAB 35. HADIAH
36
BAB 36. MENDALAM
37
BAB 37. TAMU
38
BAB 38. GAWAT DARURAT
39
BAB 39. BERHASIL
40
BAB 40. KETAKUTAN BARU
41
BAB 41. JAWABAN RUMOR
42
BAB 42. DARURAT
43
BAB 43. PENANGANAN CEPAT
44
BAB 44. KECEMASAN
45
BAB 45. KONFLIK
46
BAB 46. DALANG
47
BAB 47. PERINTAH
48
BAB 48. MISI
49
BAB 49. KETAHUAN
50
BAB 50. DIA TAHU?
51
BAB 51. FAKTA
52
BAB 52. TENTANG MASA DEPAN
53
BAB 53. ANTUSIAS
54
BAB 54. KOLERA
55
BAB 55. SITUASI GENTING
56
BAB 56. WABAH
57
BAB 57. MEMANAS
58
BAB 58. PENYELIDIKAN SERIUS
59
BAB 59. PENANGKAPAN
60
BAB 60. JALAN KELUAR
61
BAB 61. PROGRAM
62
BAB 62. HASIL USAHA
63
BAB 63. KONTROVERSI
64
BAB 64. TERTANGKAP
65
BAB 65. KELELAHAN
66
BAB 66. PEMBERSIHAN
67
BAB 67. MELEMAH
68
BAB 68. SEMAKIN LEMAH
69
BAB 69. KEADAAN
70
BAB 70. ORANG PERTAMA
71
BAB 71. HADIAH TERAKHIR
72
BAB 72. PERMINTAAN TERAKHIR
73
BAB 73. DUKA SANG KEKASIH
74
BAB 74. SIUMAN
75
BAB 75. INGATAN
76
BAB 76. KEMBALI BERTEMU
77
BAB 77. KENANGAN
78
BAB 78. LUKISAN
79
BAB 79. LUKA DI MASA LALU
80
BAB 80. JANJI YANG DITEPATI

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!