.
Aaliya masuk ke dalam rumahnya, kembali sepi dan sunyi seorang diri. Baru saja sesaat yang lalu gadis itu tertawa, kini lagi-lagi hanya kesunyian yang nampak di depan mata. Ah, rasanya Aaliya mulai merindukan sosok itu, sosok yang mampu membuatnya sangat lepas.
Dia meneguk air putih untuk menghilangkan dahaga, sesaat kemudian bersiap-siap untuk berangkat kerja dan melakukan rutinitasnya seperti biasa, rutinitas yang sangat membosankan.
.
.
.
Keesokan siangnya, entah keberanian darimana Aaliya pergi ke gedung itu dan membawa makan siang untuk Abian. Entahlah, mungkin makanan itu hanya sebagai alasan saja untuk bisa bertemu.
Setelah bertanya pada beberapa pria genit di luar bangunan, akhirnya Abian keluar.
"Ada apa?" Tanya Abian ketus, dia agak takut jika gadis itu akan bertingkah aneh lagi.
"Aku membawakanmu makan siang."
Abian tidak menolak, gadis ini cukup keras kepala jadi lebih baik menuruti saja kemauannya. Dia menuntun Aaliya ke halaman belakang, masih banyak pohon yang rindang dan cukup sepi di tempat itu.
"Kau memasak sendiri?" Tanya Abian.
"Tidak, aku tidak bisa memasak."
"Jujur sekali," Abian tertawa kecil, "Lalu kamu sengaja membeli semua ini untukku?"
"Tidak, Ibuku yang memasaknya."
"Ini pasti sangat merepotkan."
"Aku hanya ingin menebus kesalahanku kemarin karena sudah membuatmu kesal, maaf."
"Lain kali aku ingin bertemu ibumu."
"Untuk apa?"
"Tentu saja untuk berterima kasih karena sudah mau memasak sebanyak ini," dia menunjuk kotak makan yang berisi banyak lauk pauk, "Pasti kamu memaksanya kan?"
"Tidak, aku hanya merayunya," Aaliya menyeringai.
"Sudah kuduga. Kalau begitu mari makan bersama."
"Kamu makan saja, aku sudah makan tadi di rumah," tolaknya halus.
"Jangan begitu, aku bukan orang rakus yang akan menghabiskan makanan sebanyak ini,"
"Tidak perlu," Aaliya tetap menolak.
"Jangan menolak, buka mulutmu," Perintahnya.
Aaliya menggeleng dan menutup rapat-rapat mulutnya. Namun Abian memaksa, "Ayo, aaa…. ," Dan 'hap' akhirnya suapan itu berhasil masuk ke dalam mulut.
Satu suapan Abian masukkan ke mulutnya sendiri, lalu berikutnya ke mulut Aaliya, begitu seterusnya. Sekali, dua kali, tiga kali, berkali-kali mereka makan dengan sendok yang sama hingga habis tak tersisa.
"Terima kasih, ini sungguh lezat," ucap Abian setelah selesai menyantap makanannya, lalu membereskan sisa-sisanya dan merapikan kotak makannya. Pria itu suka dengan kebersihan dan kerapihan.
"Sama-sama."
"Lain kali jangan berbohong."
"Aku?" Tanya Aaliya menunjuk dirinya sendiri, dan dijawab dengan anggukan oleh Abian, "memangnya aku berbohong tentang apa?"
"Kamu bilang tidak lapar, tapi ternyata kau makan dengan lahap."
"Aku memang sudah makan," ucap Aaliya, "Aku lahap karena kau menyuapiku," dia menunduk malu, "Itu juga karena kau memaksa," lanjutnya mendongakkan kepala.
"Bukan memaksa."
"Lalu?"
"Karena sendoknya hanya ada satu," ucap Abian datar.
Wajah Aaliya merona seketika, ia tak menyangka jawaban Abian sesederhana itu. Jauh di hatinya mengharap lebih, tapi nyatanya tak sejalan dengan harapannya.
Dia beranjak dari duduknya, "Aku pergi dulu," sambil membawa kotak makan yang telah kosong dia berlalu dari tempat itu.
Gadis itu mengayuh sepedanya dengan kecepatan sedang, semilir angin yang menerpa wajah cantiknya membuat rambut hitam panjangnya terurai indah mengikuti kemana angin menariknya.
Ada rasa kecewa jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Namun pikiran sadar menolaknya, apa yang dia rasakan salah. Siapa dia hingga mengharap lebih pada pria itu, aneh.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 113 Episodes
Comments