Kami sudah berkumpul dimeja makan,
Bude-bude ku yang menginap di rumah masih belum pulang. Rencana mereka, masih siang nanti mereka pulang.
Dimeja makan pun masih ramai saudara dari almarhum Ayahku dan juga saudara Ibuku.
"Uluh-uluh, yang pengantin baru kayaknya udah cetak gol nie..." Bude meledek ku.
"Apa sih, Bude." aku malu mendengar ledekan itu.
"Sudah, nggak usah malu kami juga tau gimana pengantin baru memang harus gencar usaha tiap malam biar cepet dapet momongan." Bude tersenyum.
"Uhuk-uhuk." aku terbatuk mendengar ledekan dari Budeku barusan dan Mas Izham yang duduk di sampingku segera memberiku segelas air putih.
"Uwes to yu Sri jangan diledek terus nanti mereka bertambah malu. Kamu seperti tidak pernah mengalami saja." Ibu menengahi pembicaraan.
"Iyo iyo dek Nah, aku cuma becanda tadi. Lagian mantumu juga bikin tato banyak banget sampek kelihatan kemana-mana." Bude memang suka ceplas-ceplos.
"Uhuk-uhuk." sekarang berganti Mas Izham yang terbatuk.
Aku menepuk-nepuk pundak Mas Izham.
Kulihat Mas Izham juga sekidikit malu.
Selesai makan aku masuk kekamar, dan melihat diriku dipantulan cermin.
Karna tadi pagi setelah membersihkan diri, aku tak sempat bercermin.
Aku begitu terkejut melihat leherku yang banyak sekali bekas merah-merah.
"Pantas saja mereka tadi meledekku ternyata memang benar leherku banyak tanda merah seperti ditato." Kei berkata dengan dirinya sendiri didepan cermin.
"Yang..." terdengar Mas Izham memanggilku.
"Iya, Mas." jawabku, sedikit berteriak. Aku keluar untuk mencari Mas Izham.
"Itu Bude, Pakde dan yang lain ingin berpamitan pulang." Kata mas Izham.
Pakde, Bude dan semua saudaraku yang jauh sudah berpamit pulang. Tinggallah sekarang hanya kami bertiga.
O...ya, ditempat keluarga Mas Izham tidak mengadakan resepsi pernikahan buat kami.
Dan ibu Mas Izham, Buk Esih sebenarnya tidak setuju dengan pernikahan kami tetapi ibu Esih tak bisa menolak keinginan anak semata wayangnya itu.
Berbeda dengan istrinya, Pak Wahyu setuju-setuju saja dengan pernikahan kami baginya yang terpenting anaknya bahagia.
"Sudah, ayo kita masuk." Ibu ku mengajak kami masuk.
Mas Izham baru menyeleseikan kuliahnya dan belum bekerja, sekarang sedang proses mencari pekerjaan.
Mas Izham duduk dikursi kayu yang ada dimeja belajarku dulu, matanya begitu fokus menatap kelayar laptop dengan jari-jarinya tak henti mengetik keyboard laptop itu.
Aku masuk membawakan secangkir teh, menaruh diatas meja.
"Diminum dulu mas, mumpung masih panas. Kalau sudah dingin tidak enak." kata Kei.
Mas Izham melepas kaca mata dan menyimpannya kembali ditempatnya. Mengambil cangkir dan menyeduh teh itu pelan-pelan karna memang masih panas.
"Yang, aku membuat surat lamaran kerja. Tapi..." ucapan mas Izham berhenti.
"Tapi apa mas?" Kei bertanya tak mengerti.
"Tapi kalau mas diterima kerja nanti mas harus pindah ke Kota, mas melamar kerja di Kota Jakarta." Mas Izham menjelaskan.
Aku sempat terdiam dan berpikir, menimang-nimang apakah harus setuju atau tidak. Kami baru menikah dan harus hubungan jarak jauh. Tapi mau bagaimana lagi itu impian mas Izham ingin bekerja disana dan menjadi orang sukses, bukankah seorang istri harus mendukung keinginan dan impian suami.
"Ya udah mas nggak pa-pa, nanti aku bisa ikut pindah juga." jawab ku.
"Kalau kamu ikut mas pindah, lalu Ibu sama siapa? disini tidak ada yang akan menjaga Ibu selain kamu, Yang." kata mas Izham.
Aku berfikir kembali, pikiranku bingung. Memang benar, kasihan juga jika Ibu harus tinggal sendirian tidak ada yang menjaga. Ibu sudah tua mempunyai riwayat darah tinggi, kalau aku ikut mas Izham aku tidak akan tega meninggalkan ibu sendiri. Tapi, kalau aku tetap disini kami akan menjalani hubungan jarak jauh dan itu pasti sulit. s
Sanggupkah aku jauh dari mas Izham, saat ini cintaku sedang bermekaran dan harus layu ketika kumbang nya pergi
"Bagaimana, apa kamu ijinin mas pindah ke Kota?" mas Izham bertanya lagi.
"Nanti aku coba diskusikan sama Ibu dulu ya, mas." Kei menjawab.
"He'em..." mas Izham mengangkat tanganku dan menciumnya lembut, sungguh dia suami yang baik dan romantis.
Satu Minggu setelah pernikahan.
"Mas Izham..." Kei memanggil Mas Izham dan melambaikan tangannya.
Ditanganku sudah ada rantang makanan untuk Mas Izham.
Meski agak sulit ku berjalan karna hanya berjalan diatas gulungan tanah yang hanya selebar langkah kaki saja.
Apalagi aku berjalan memakai tongkat sudah pasti harus ekstra hati-hati agar tidak terjatuh.
Mas Izham sekarang sedang mencangkul disawah.
Sebelum Mas Izham mendapatkan pekerjaan, sementara ini Mas Izham bekerja menjadi kuli atau buruh sawah.
Biarpun sedikit penghasilannya setidaknya bisa menghasilkan uang.
Mas Izham membalas melambaikan tangan dan tersenyum padaku.
Aku membawa rantang makanan digubuk yang tidak jauh dari petak sawah yang Mas Izham cangkul tadi.
Tadinya kulit Mas Izham putih bersih tetapi sekarang warna kulitnya berubah agak kecoklatan, mungkin karna tersengat matahari langsung membuat kulitnya hitam kecoklatan. Tapi tidak pa-pa, aku tidak pernah mempermasalahkan itu bagiku mas Izham lelaki yang sempurna dan paling tampan. Yah, seperti itulah cinta, tidak melihat keburukan yang ada hanya keindahan.
Kami menikmati makanan itu berdua tidak harus direstoran mahal dan berkelas, nyatanya kami sudah sangat bahagia bisa makan bersama dan saling memandang seperti saat ini.
"Hari ini kamu terlihat sangat cantik, yang." mas Izham memujiku, aku tersenyum malu tapi tak bisa memungkiri kalau aku sangat menyukai pujian dari mas Izham. Dia memang pandai merayu.
"Mas bisa aja, Mas bohong 'kan? nggak lihat, aku jelek gini kok dibilang cantik." jawabku malu-malu.
"Hei,,, siapa bilang bidadari ku ini jelek? bagiku tidak ada perempuan cantik lagi, cuma kamu satu-satunya wanita tercantik didunia ini." mas Izham sudah seperti pujangga yang pandai merangkai kata-kata.
"Mas gombalin nya berlebihan."
Tangan mas Izham terangkat untuk membenarkan anak rambutku yang berantakan karna tertiup angin yang kencang.
"Mas, aku ingin tau alasan apa yang membuat mas mau menikahi gadis cacat seperti ku? Mas tidak malu dengan cemo'ohan orang-orang?" Kei bertanya serius.
"Dengar, meski fisikmu tidak sempurna tapi bagiku kamu sangat sempurna dari dulu aku mengagumi mu, kebaikanmu dan ketulusanmu."
"Kei, istriku...I love you." mas Izham mencium keningku.
Syukurlah disekitar sawah lumayan sepi, jadi tak ada yang melihat kami.
Aku sangat beruntung dan sangat bahagia bisa menjadi istri Mas Izham dia sangat romantis, peduli, penyayang dan bagiku dia segalanya.
Memang sejak pacaran Mas Izham sering mengatakan kata-kata romantis, sering memujiku dengan rayuan indah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 369 Episodes
Comments
S1P4 sipa
hah, istrinya??
2022-07-01
0
Sukliang
nah ke jkt jd berubah
2022-06-23
0
Berdo'a saja
eeemmmm
2022-06-23
0