(Bukan) Pertemuan Pertama

Bayangan gadis asing yang Adhan lihat saat di taman baca "Lily" terus mengganggu pikirannya. Ia tidak tahu siapa gadis itu? Tak pula tahu dari mana asalnya? Namun, sosok yang terlihat rapuh itu benar-benar membuatnya merasa khawatir dan terus bertanya-tanya, bagaimana keadaannya saat ini? Apakah dia sudah baik-baik saja? Atau, justru sekarang tengah menangis sendirian di sudut tempat, seperti yang dia lakukan di taman baca "Lily"?

Lamunan itu membawanya begitu jauh, hingga tanpa sadar, ia sudah sampai di rumah yang telah ia tinggali sejak berusia tujuh tahun. Memarkirkan mobil kesayangannya di garasi, Adhan melangkah masuk. Aroma masakan khas menyambutnya, membawa kehangatan yang selalu ia rasakan sedari dulu.

"Kenapa pulangnya telat? Pas sekali, makan malam sudah siap!" Suara riang menyapa kedatangan Adhan dengan penuh antusias.

Adhan tersenyum kecil. Sosok yang menyambutnya tak lain adalah Claudia, bibinya. Ia mendekat, bergabung dalam makan malam bersama keluarga besarnya.

***

Usai makan, Adhan menuju kamarnya. Pandangannya tertuju pada tumpukan kardus-kardus yang tertata rapi di sudut ruangan, lambang keputusan besar yang telah ia buat.

Sebuah ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunan. Claudia muncul dengan senyuman tipis, tetapi matanya menyiratkan perasaan yang tak rela.

"Han, kamu benar-benar yakin harus pergi?" tanyanya dengan suara lembut namun penuh harap. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap Adhan seolah mencari cara untuk menahan keponakannya tetap tinggal.

Adhan menghela napas, berusaha menenangkan perasaan bibinya yang begitu kalut. "Mbak, aku bukan pergi jauh. Hanya pindah tempat tinggal saja. Kita masih bisa bertemu kapan pun."

Ya. Sedari dulu Adhan selalu memanggil Claudia sebagai Mbak. Itu permintaan dari Claudia sendiri, katanya dia tidak mau dipanggil bibi dengan rentang usia mereka yang tidak terlalu jauh.

Claudia menghela napas panjang. "Apa kamu kurang nyaman di sini? Jika masalahnya Mas Hardi, aku bisa bicara dengannya."

Hardi, yang ternyata sudah berdiri di ambang pintu, tersenyum mendengar candaan yang dilontarkan oleh istrinya itu. Dia pun berkata, "Apa benar aku membuatmu nggak nyaman, sampai kamu ingin pindah, Han? Kalau begitu, apa yang harus Mas lakukan supaya kamu tetap tinggal. Mas nggak tega lihat Mbak Dia mu ini menangis dan merengek seperti bayi tiap malam."

Adhan tersenyum tipis, lalu menatap Claudia yang terlihat sewot dengan sindiran suaminya. Padahal, dia lah yang jelas-jelas melemparkan bom candaan.

"Aku nggak pernah merasa kurang nyaman di sini. Rumah ini selalu menjadi tempat untukku pulang. Tapi, sampai kapan aku harus terus bergantung dengan Mbak Dia dan Mas Hardi. Sudah saatnya untukku belajar hidup mandiri."

Claudia mendesah, masih tampak berat hati. "Tapi ... bagaimana kalau nanti kamu kesulitan? Atau perlu sesuatu? Tinggal di sini kan lebih gampang. Semuanya sudah ada dan tersedia."

"Mbak, aku akan datang kalau aku membutuhkan bantuan dari Mbak, Mas Hardi, Paman, atau bahkan Bibi. Mbak juga tetap bisa panggil aku kapan saja, apalagi kalau Mbak masak makanan enak, mana mungkin aku melewatkannya," kata Adhan mencoba mencairkan suasana.

Claudia terdiam sejenak, memandang ke arah Adhan sambil menyeka ujung matanya yang mulai basah. Ia tahu, tak mungkin menahan Adhan selamanya. Adhan adalah versi lain dari dirinya yang punya kemauan kuat dan juga keras kepala.

"Kalau begitu, janji ya, jangan sungkan buat datang kalau ada apa-apa. Ingat, rumah ini adalah rumahmu juga. Kamu adalah keponakan, adik, dan teman yang paling Mbak sayangi."

Adhan mengangguk, merasa hangat mendengar kata-kata itu. Lalu, ia menoleh ke arah Hardi dengan tatapan sedikit serius.

"Mas Hardi, aku hanya ingin meminta satu hal. Jagain Mbak Dia dengan baik. Jangan pernah sakiti dia. Kalau sampai sesuatu terjadi pada Mbak Dia, atau kudengar Mbak Dia menangis karena Mas Hardi ... Mas bakal berhadapan denganku."

Hardi hanya tertawa kecil dan menepuk bahu Adhan. "Tenang saja. Mbak Dia mu ini adalah pusat dunia Mas sekarang. Dia adalah segalanya bagi Mas. Kamu nggak perlu khawatir soal itu."

Claudia tersipu mendengar ucapan kedua orang yang sangat ia cintai. Meski ia tak bisa menghilangkan rasa sedih dalam hati, namun ada kelegaan dalam raut wajahnya. Akhirnya, ia pun meraih tangan Adhan dan menggenggamnya erat. "Terima kasih karena kamu sudah menemani Mbak selama ini. Kamu adalah orang yang paling berharga bagi Mbak."

"Justru aku yang harus berterima kasih. Karena Mbak Dia, aku bisa jadi seperti sekarang. Terima kasih sudah menjaga dan merawatku selama ini."

"Merawat apanya? Kamu itu kan besar bareng Mbak, kita selalu main bareng, dan kadang sering juga berantem. Kamu itu sudah Mbak anggap sendiri seperti adik bungsu."

"Iya, deh. Asal Mbak bahagia aja. Pokoknya, aku berterima kasih sama Mbak, karena tidak membuatku merasa kesepian."

Percakapan di antara mereka berakhir ketika Claudia dan Hardi meninggalkan kamar Adhan. Setelah membereskan barang-barang yang perlu dibawa esok hari, Adhan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Tatapannya tertuju lama pada langit-langit kamar, merenungi bahwa malam ini adalah malam terakhirnya tidur di tempat yang begitu akrab dengannya. Namun, ini bukanlah perpisahan yang sesungguhnya dengan keluarga yang selalu mendampinginya—melainkan awal dari sebuah babak baru dalam hidup yang sudah dia pikirkan dengan matang sejak lama.

Kenangan indah yang ia ukir selama tinggal di rumah ini tidak akan pernah ia lupakan. Ia akan membawa semuanya dalam hati dan pikiran, menjadikannya sumber kekuatan untuk menghadapi masa depan.

Tiba-tiba, suara langkah kaki berlarian terdengar mendekat. Adhan menoleh ke arah daun pintu yang masih sedikit terbuka. Dua anak kecil—berusia sekitar tiga belas tahun dan sepuluh tahun—tampak menargetkannya dengan semangat. Ia tersenyum kecil, bersiap menyambut kejutan itu. Dan benar saja—dalam sekejap, tubuh mungil mereka melompat masuk ke dalam pelukannya, disambut hangat oleh dekapan Adhan yang penuh kasih.

***

Keesokan paginya, Adhan sibuk dengan kepindahannya, memindahkan barang-barang ke unit baru. Saat hendak masuk, ia berpapasan dengan seorang gadis asing—yang tak lain adalah Serena.

Entah karena penasaran atau alasan lain, Adhan merasakan aura menusuk dari gadis itu. Seolah-olah ia sedang diamati dengan saksama oleh tetangga barunya. Namun, alih-alih menanggapi, Adhan memilih untuk mengabaikannya, berpura-pura tidak menyadari apa pun.

Baru setelah Serena pergi, Adhan menoleh ke arah gadis asing itu. Ia menyipitkan mata. 'Sungguh perempuan yang aneh,' pikirnya demikian.

Saat punggung Serena semakin menjauh, Adhan merasakan sesuatu yang aneh. Ada sesuatu yang familiar pada sosok gadis itu, seperti déjà vu. Mungkinkah mereka pernah bertemu sebelumnya? Namun, itu tidak terlalu lama. Dalam hitungan detik, Adhan melangkah masuk ke dalam unitnya. Ruangan itu masih berantakan. Ia meletakkan barang bawaannya di tempat yang sedikit lapang, lalu menghela napas pelan.

Mengeluarkan ponsel dari saku celana, ia memeriksa pesan masuk. Belum ada balasan dari jasa pengangkut barang yang dipesannya. sepertinya mereka terjebak macet, atau ada masalah lainnya. Adhan tidak tahu pasti. Mau tak mau, Adhan harus membereskan apa yang bisa ia kerjakan sambil menunggu mereka datang.

Adhan bukan tipe yang suka membuang-buang waktu. Maka dari itu, ia memutuskan untuk turun ke bawah.

Di sana, ia mulai mengeluarkan beberapa kardus dari dalam mobil, memeriksanya satu per satu untuk memastikan tidak ada yang tertinggal.

Saat itulah ia kembali melihat Serena. Kali ini, gadis itu tampak sibuk berdebat dengan seseorang—seorang pria. Suara mereka terdengar samar, tapi dari ekspresi gadis itu, Adhan bisa menebak bahwa mereka sedang terlibat pertengkaran kecil, dan itu bukan urusannya.

Melihat pemandangan yang penuh dengan drama picisan itu, Adhan hanya menggeleng pelan. Ia tak ingin ikut campur, apalagi mengurusi urusan orang lain. Tanpa memedulikan lebih jauh, ia kembali fokus pada pekerjaannya.

***

Saat hendak masuk ke lift, ia mendapati tetangga barunya sudah masuk lebih dulu ke dalamnya. Gadis itu menoleh sekilas dan tersenyum tipis, mencoba bersikap ramah. Adhan membalasnya dengan senyum singkat, sekadar sopan santun agar tidak terlihat angkuh.

Di tangan Adhan saat ini, menumpuk beberapa kardus besar sambil berusaha menjaga keseimbangan. Namun, begitu lift bergerak, tumpukan itu sedikit goyah. Salah satu kardus paling atas hampir jatuh.

Ia refleks menurunkan semua barang bawaannya ke lantai, dan segera menyusun ulang posisi kardus-kardusnya agar lebih stabil dan tidak membahayakan orang di sekitarnya. Ia tak mau ada yang terluka, apalagi karena kelalaiannya sendiri.

"Maaf. Saya hampir aja bikin Anda celaka," ucap Adhan penuh penyesalan, dia hampir saja menciptakan situasi yang berbahaya.

Serena menggeleng pelan, masih sedikit terkejut namun mencoba untuk tetap terlihat baik-baik saja.

"Nggak apa-apa, kok. Lagi pula, nggak sampai terjadi apa-apa."

"Tapi tetap saja, saya minta maaf," katanya sekali lagi sembari menunduk sopan.

"Iya, lain kali hati-hati aja, ya."

Setelah itu, tak ada percakapan lagi di antara mereka. Keheningan kembali mengisi ruang lift yang sempit itu, menyisakan hanya suara samar dari mesin yang bekerja membawa mereka ke lantai tujuan.

Bagi Adhan, pertemuan itu mungkin tak lebih dari sekadar perjumpaan biasa, sama seperti yang lain. Ia tak menyadari bahwa akan ada banyak hal yang berubah dalam hidupnya—sesuatu yang tak pernah terlintas dalam pikirannya sedikit pun.

Karena setelah itu, dia tidak akan menemukan jalan untuk kembali.

Bersambung

Jum’at, 22 Agustus 2025

Episodes
1 Brian & Dunianya
2 Serena & Semua Lukanya
3 Tetangga Baru?
4 Adhan Zayn Daviandra
5 (Bukan) Pertemuan Pertama
6 Bersamamu, Aku Tenang
7 Pemilik Topi dan Kacamata
8 Cemburu
9 Awal yang Baru
10 Ikrar Janji
11 Menepis Rasa
12 Luka Sekali Lagi
13 Aku Ingin Pulang
14 Mencapai Batas
15 Mimpi Buruk
16 Menjaga Batas
17 Curhatan Hati
18 Saatnya Melepaskan
19 Jangan Mudah jatuh Cinta!
20 Biarkan Lukanya Sembuh Lebih Dulu
21 Pria Gila!
22 Aku Takkan Kembali!
23 Jalan Hijrah
24 Assalamu’alaikum, Ayah
25 Pulanglah, Nak
26 Aku Pulang
27 Kasih Sepanjang Masa
28 Jenis Luka yang Berbeda
29 Di Antara Air Mata
30 Rumah Untuk Pulang
31 Alasan Rasa Benci
32 Masa Lalu Serena
33 Surga Kecil Dalam Rumah
34 Teman Sekolah
35 Perasaan yang Hangat
36 Hadiah Untuk Ayah
37 Dua Hati yang Pernah Bersama
38 Dalam Pelukan Keluarga
39 Pasar Malam
40 Dia Ibuku
41 Dalam Sunyi yang Rapuh
42 Psikosomatik
43 Mereka yang Peduli
44 Cinta Sepihak
45 Dua Cinta Untuk Satu Hati
46 Tak Lagi Sama
47 Aku Melamarmu
48 Debaran
49 Jaga Hati
50 Pengunduran Diri
51 Adu Mulut
52 Pertengkaran Sengit
53 Debat
54 Kau Bukan Korban
55 Harapan Palsu
56 Tragedi
57 Bersatu
58 Jangan Gegabah!
59 Cinta yang Membutakan
60 Jangan Hilangkan Dia
61 Jangan Tinggalkan Aku
62 Kilas Balik
63 Pandangan Pertama
64 Niat Berubah
65 Rasa yang Hadir
66 Rayuan Maut si Berondong
67 Kencan Pertama?
68 Pencuri Hati
69 Pencuri Hati (2)
70 Pencuri Hati (3)
71 Tragedi Pasar Malam
72 Tragedi Pasar Malam (2)
Episodes

Updated 72 Episodes

1
Brian & Dunianya
2
Serena & Semua Lukanya
3
Tetangga Baru?
4
Adhan Zayn Daviandra
5
(Bukan) Pertemuan Pertama
6
Bersamamu, Aku Tenang
7
Pemilik Topi dan Kacamata
8
Cemburu
9
Awal yang Baru
10
Ikrar Janji
11
Menepis Rasa
12
Luka Sekali Lagi
13
Aku Ingin Pulang
14
Mencapai Batas
15
Mimpi Buruk
16
Menjaga Batas
17
Curhatan Hati
18
Saatnya Melepaskan
19
Jangan Mudah jatuh Cinta!
20
Biarkan Lukanya Sembuh Lebih Dulu
21
Pria Gila!
22
Aku Takkan Kembali!
23
Jalan Hijrah
24
Assalamu’alaikum, Ayah
25
Pulanglah, Nak
26
Aku Pulang
27
Kasih Sepanjang Masa
28
Jenis Luka yang Berbeda
29
Di Antara Air Mata
30
Rumah Untuk Pulang
31
Alasan Rasa Benci
32
Masa Lalu Serena
33
Surga Kecil Dalam Rumah
34
Teman Sekolah
35
Perasaan yang Hangat
36
Hadiah Untuk Ayah
37
Dua Hati yang Pernah Bersama
38
Dalam Pelukan Keluarga
39
Pasar Malam
40
Dia Ibuku
41
Dalam Sunyi yang Rapuh
42
Psikosomatik
43
Mereka yang Peduli
44
Cinta Sepihak
45
Dua Cinta Untuk Satu Hati
46
Tak Lagi Sama
47
Aku Melamarmu
48
Debaran
49
Jaga Hati
50
Pengunduran Diri
51
Adu Mulut
52
Pertengkaran Sengit
53
Debat
54
Kau Bukan Korban
55
Harapan Palsu
56
Tragedi
57
Bersatu
58
Jangan Gegabah!
59
Cinta yang Membutakan
60
Jangan Hilangkan Dia
61
Jangan Tinggalkan Aku
62
Kilas Balik
63
Pandangan Pertama
64
Niat Berubah
65
Rasa yang Hadir
66
Rayuan Maut si Berondong
67
Kencan Pertama?
68
Pencuri Hati
69
Pencuri Hati (2)
70
Pencuri Hati (3)
71
Tragedi Pasar Malam
72
Tragedi Pasar Malam (2)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!