BAB 5 ISTRI BARU DI RUMAH PENUH MUSUH

Hari-hari pertama Amara sebagai istri keluarga Atmadja terasa seperti berjalan di atas bara. Rumah besar itu megah, pelayan ramah, makanan berlimpah—tetapi semua dingin. Tidak ada senyum tulus, tidak ada sapaan hangat. Semua mata memandangnya dengan dua rasa: ingin tahu dan meremehkan.

Pagi itu, ia turun ke ruang makan besar. Meja panjang dipenuhi hidangan lengkap: sup ayam, roti panggang, buah segar. Namun kursi-kursi kosong membuat ruangan terasa sunyi. Saat ia hendak duduk, suara langkah tumit terdengar.

Meylani masuk, anggun dengan gaun satin biru. Senyumnya tipis, tatapannya tajam. “Oh, sudah bangun rupanya. Kukira pengantin baru biasanya begadang.”

Amara terdiam. Ia tahu ucapan itu bukan basa-basi.

Meylani menuang kopi ke cangkir, lalu duduk di ujung meja. “Nikmati rumah ini selagi bisa, Amara. Banyak yang masuk ke keluarga besar ini, tapi tidak semuanya bertahan lama. Aku sudah lihat lebih dari satu yang akhirnya tersingkir.”

Kata-kata itu membuat sendok di tangan Amara gemetar. Ia memilih menghirup supnya tanpa balasan.

Tak lama, Selvia muncul. Rambutnya masih basah habis mandi, wajahnya segar, tapi matanya menusuk. Ia tidak menyapa Amara, hanya duduk di kursi sebelah Meylani.

“Papa mana?” tanya Selvia singkat.

“Sudah ke kantor,” jawab Meylani. “Seperti biasa, sibuk. Sekarang rumah ini punya ratu baru.” Ia melirik Amara sambil tersenyum sinis.

Selvia menatap Amara penuh benci. “Dia bukan ratu. Dia perusak. Dia merampas ayahku sekaligus sahabatku.”

Amara menunduk, menahan air mata yang ingin pecah. “Selvia, aku tidak pernah berniat seperti itu.”

“Diam!” Selvia menepuk meja. “Aku tidak ingin mendengar alasanmu. Mulai sekarang, jangan berani-berani bicara padaku seolah kita masih sahabat. Kau hanya orang asing yang kebetulan tinggal di sini.”

Hening membeku. Pelayan pura-pura sibuk, tak berani menoleh. Amara merasakan tubuhnya kaku. Ia ingin berdiri dan pergi, tapi kedua kakinya terasa berat.

Hari-hari berikutnya tidak lebih baik. Setiap langkahnya di rumah besar itu diikuti bisikan. Pelayan berbisik di dapur, sepupu-sepupu keluarga Atmadja yang datang berkunjung menatapnya dari ujung kepala sampai kaki, lalu tertawa kecil.

Suatu siang, ia lewat di koridor dan mendengar dua pelayan bergumam.

“Cantik sih, tapi kasihan. Jadi istri karena utang keluarga.”

“Paling sebentar lagi ditinggalkan. Bagas kan dingin, tidak pernah tahan lama dengan siapa pun.”

Amara menahan napas, lalu berjalan cepat. Di kamarnya, ia menutup pintu dan menekan wajah ke bantal. Hatinya sakit, tapi ia bertekad tidak akan menangis di depan mereka.

Suatu sore, Bagas pulang lebih awal. Amara sedang duduk di ruang tamu membaca buku ketika ia masuk.

“Kau tampak lelah,” kata Bagas, meletakkan jas di sofa.

Amara mendongak. “Aku baik-baik saja.”

“Jangan bohong,” suaranya datar. “Aku tahu mereka tidak menerimamu. Meylani, Selvia, bahkan pelayan.”

Amara menggertakkan gigi. “Kalau kau tahu, kenapa kau biarkan?”

Bagas duduk di kursi seberang. “Karena aku ingin melihat bagaimana kau bertahan.”

“Bertahan?” Amara hampir tertawa getir. “Aku bukan prajuritmu, Bagas. Aku manusia. Aku punya hati. Aku kehilangan sahabatku, aku dijadikan bahan gosip, aku dihina di rumah ini, dan kau hanya duduk menonton.”

Bagas menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Kalau kau bisa melewati semua ini, kau akan lebih kuat dari siapa pun di rumah ini. Dan saat itu, tidak ada yang bisa menjatuhkanmu.”

Amara menatapnya dengan mata basah. “Kau tidak tahu rasanya jadi aku.”

“Aku juga tidak tahu rasanya jadi kau,” jawab Bagas. “Tapi aku tahu rasanya jadi orang yang semua orang ingin jatuhkan. Kau hanya perlu belajar satu hal: jangan pernah menunjukkan kelemahan di depan mereka.”

Amara terdiam. Kata-kata itu dingin, tapi entah kenapa ada sedikit kebenaran di dalamnya.

Malam itu, Amara berjalan di taman belakang rumah. Lampu taman menyinari jalan setapak, aroma melati mengisi udara. Di bangku kayu dekat kolam, Selvia duduk sendirian.

Amara ragu, tapi akhirnya mendekat. “Sel…”

Selvia langsung bangkit, wajahnya keras. “Jangan panggil aku begitu. Kau tidak berhak.”

“Dengarkan aku sebentar. Aku tidak pernah bermaksud menyakitimu. Aku tidak mencari ini semua. Aku hanya mencoba menyelamatkan keluargaku.”

Selvia tertawa pahit. “Menyelamatkan keluargamu dengan menghancurkan keluargaku? Kau pikir alasan itu cukup? Kau pikir aku akan percaya?”

Air mata Amara jatuh. “Aku masih sahabatmu, Selvia. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan pernah membencimu.”

Selvia menatapnya lama, lalu menggeleng. “Sahabat tidak akan pernah tidur di ranjang ayah sahabatnya sendiri. Ingat itu, Amara. Kau sudah mati bagiku.”

Ia pergi, meninggalkan Amara sendirian di taman, hancur oleh kata-kata itu.

Keesokan paginya, surat kabar memuat foto-foto pernikahan mereka. Headline berbunyi: Cinta atau Kontrak? Pernikahan Kilat Bagas Atmadja dengan Mahasiswi Miskin Jadi Sorotan.

Amara menatap koran itu di meja makan. Tangannya bergetar. Ia merasa dunia menertawakan dirinya.

Bagas masuk, meraih koran, lalu merobek halaman depan tanpa ekspresi. “Jangan pedulikan mereka.”

“Bagaimana aku bisa tidak peduli? Semua orang membicarakanku. Di kampus, di luar, bahkan di rumah ini. Aku sendirian, Bagas!”

Bagas menatapnya tajam. “Kau bukan sendirian. Kau istriku. Dan kalau mereka menyakitimu, mereka juga menantangku.”

Ada ketegasan di suaranya yang membuat Amara terpaku. Untuk sesaat, ia melihat sekilas sisi Bagas yang lain—bukan hanya dingin, tapi juga pelindung. Namun perasaan itu cepat hilang, tertutup oleh kenyataan pahit.

Malam harinya, Amara kembali ke balkon kamarnya. Angin dingin meniup rambutnya. Ia menatap kota yang berkilau di kejauhan.

Hidupnya berubah total. Ia kehilangan sahabat, dibenci banyak orang, tapi ia juga menemukan kekuatan yang tidak pernah ia sadari sebelumnya.

Di dalam hatinya, tumbuh tekad kecil: ia tidak akan menyerah. Kalau semua orang ingin menjatuhkannya, ia akan membuktikan bahwa dirinya pantas bertahan.

Pernikahan ini mungkin dimulai sebagai perjanjian. Tapi ia akan mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih besar: jalannya untuk menemukan siapa dirinya sebenarnya.

Dan di balik semua rasa sakit, ada bisikan samar: mungkin suatu hari, Bagas akan melihatnya bukan hanya sebagai solusi… tetapi sebagai pilihan.

Keesokan harinya, keluarga besar Atmadja mengadakan makan malam khusus. Amara dipanggil ikut serta. Meja panjang penuh makanan mahal, piring berlapis emas, lilin kristal di tengah. Semua orang berpakaian rapi, suasana tampak anggun, tetapi di balik senyum ada duri.

Meylani duduk di samping seorang bibi tua dari pihak Bagas. Dengan suara cukup keras agar semua mendengar, ia berkata, “Lucu sekali, ya. Keluarga sebesar ini, akhirnya punya menantu baru yang… bahkan belum lulus kuliah. Betapa murahnya standar sekarang.”

Beberapa orang tertawa kecil. Amara menunduk, menggenggam sendok erat-erat. Pipinya panas, tapi ia menahan diri.

Bibi tua itu melirik Amara. “Kau kuliah jurusan apa?”

“Desain, Bu,” jawab Amara pelan.

“Desain? Hm… menarik. Tidak ada hubungannya dengan bisnis keluarga ini. Semoga saja kau tidak jadi beban.”

Kali ini, Bagas yang angkat bicara. Suaranya datar tapi tajam. “Amara tidak perlu membuktikan apa pun malam ini. Cukup duduk di sini sudah membuktikan bahwa dia bagian keluarga ini.”

Hening seketika. Meylani pura-pura tersenyum, lalu mengalihkan topik. Tapi Amara merasakan satu hal: untuk pertama kalinya, Bagas membelanya di depan semua orang.

Esok harinya di kampus, gosip masih tidak berhenti. Kali ini dosen pun ikut menyindir.

“Saudari Amara,” kata seorang dosen saat ia terlambat masuk kelas, “rupanya jadi istri konglomerat membuatmu lupa aturan akademik?”

Seluruh kelas tertawa kecil. Amara menahan napas, lalu menjawab dengan suara jernih, “Mohon maaf, Pak. Saya tidak lupa. Saya hanya manusia yang masih belajar menyesuaikan diri.”

Dosen itu terdiam, mungkin tidak menyangka Amara berani bicara. Seisi kelas hening beberapa detik sebelum kegiatan belajar berlanjut.

Saat keluar kelas, Amara melihat Davin menunggu. “Kau masih sanggup?” tanyanya.

Amara menatap lurus ke depan. “Aku harus sanggup. Aku tidak akan memberi siapa pun alasan untuk merendahkanku lagi.”

Davin mengangguk pelan, meski sorot matanya tetap cemas.

Malamnya, di rumah besar, Amara mendapati Bagas masih bekerja di ruang kerjanya. Kertas-kertas berserakan di meja, laptop menyala.

“Masih sibuk?” tanya Amara ragu.

Bagas mendongak. “Selalu.” Ia mengamati wajah Amara sejenak. “Hari ini berat?”

Amara menarik napas. “Ya. Tapi aku belajar satu hal: semakin aku diam, semakin mereka menginjak. Jadi aku tidak akan diam lagi.”

Ada kilatan singkat di mata Bagas, entah kagum atau sekadar pengakuan. Ia menutup laptopnya. “Itu yang harus kau lakukan. Jangan biarkan mereka menulis ceritamu. Kau yang menulis sendiri.”

Amara menatapnya, hatinya bergetar oleh kata-kata itu. Untuk sesaat, ia melihat Bagas bukan hanya lelaki dingin yang memaksanya menikah, tapi juga seseorang yang mungkin bisa mengajarinya cara bertahan di dunia yang keras.

Namun sebelum ia bisa menjawab, suara Meylani terdengar dari luar. “Bagas, semua orang sudah pulang. Mengapa kau masih repot dengan gadis itu?”

Bagas tidak menoleh. “Karena dia istriku.”

Jawaban itu sederhana, tapi menembus dada Amara lebih dalam dari yang ia kira.

Malam itu, Amara kembali ke kamarnya dengan hati campur aduk. Ia sadar pernikahannya bukan dongeng, melainkan medan perang. Tapi setidaknya, untuk pertama kali, ia tahu ia tidak sepenuhnya sendirian.

Ia menatap cermin, lalu berkata pada dirinya sendiri dengan suara lirih, “Aku tidak akan kalah. Jika mereka ingin menjatuhkanku, aku akan berdiri lebih tinggi.”

Dan dengan itu, sebuah tekad baru lahir: ia akan menjadikan rumah penuh musuh ini sebagai panggung untuk membuktikan siapa dirinya.

Episodes
1 BAB 1 TANDA TANGAN YANG MENGGUNCANG
2 BAB 2 PERNIKAHAN YANG TIDAK PERNAH DIMINTA
3 BAB 3 LAMARAN YANG MEMBAKAR JEMBATAN
4 BAB 4 HARI -HARI MENJELANG PERNIKAHAN
5 BAB 5 ISTRI BARU DI RUMAH PENUH MUSUH
6 BAB 6 UJIAN PERTAMA SEBAGAI ISTRI
7 BAB 7 HUJATAN DI KAMPUS
8 BAB 8 JEBAKAN MEYLANI
9 BAB 9 KONFRONTASI DI KAMPUS
10 BAB 10 FITNAH PERTAMA
11 BAB 11 LANGKAH BALIK AMARA
12 BAB 12 PEMANGGILAN RISA
13 BAB 13 DIHINA DI TEMPAT UMUM
14 BAB 14 LANGKAH DI YAYASAN
15 BAB 15 UJIAN DI KELAS PERTAMA
16 BAB 16 API DI KAMPUS
17 BAB 17 SABOTASE DI YAYASAN
18 BAB 18 PANGGUNG TERBUKA
19 BAB 19 PERANG DIAM-DIAM
20 BAB 20 AUDIT DI MEJA TERANG
21 BAB 21 BAYANGAN BARU
22 BAB 22 LUKA YANG DIBUKA LAGI
23 BAB 23 ANCAMAN BARU
24 BAB 24 LUKA DI BALIK SENYUM
25 BAB 25 SUARA YANG TERBELAH
26 BAB 26 SAKSI DI PANGGUNG
27 BAB 27 DI RUANG SIDANG
28 BAB 28 TIGA HARI PENENTUAN
29 BAB 29 PUTUSAN MAJELIS
30 BAB 30 API DI DALAM RUMAH
31 BAB 31 BARA DI DEPAN PUBLIK
32 BAB 32 JERAT HUKUM
33 BAB 33 KURSI PANAS
34 BAB 34 BAYANGAN BARU
35 BAB 35 TUSUKAN DARI DALAM
36 BAB 36 KESAKSIAN YANG MEMBAKAR
37 BAB 37 SUARA DARI DARAH DAGING
38 BAB 38 SAHABAT DI MEJA SAKSI
39 BAB 39 JEJAK YANG TERSAMAR
40 BAB 40 TANDA TANGAN YANG MENGHUKUM
41 BAB 41 SAKSI TAK TERDUGA
42 BAB 42 KESAKSIAN YANG MENENTUKAN
43 BAB 43 REKENING BAYANGAN
44 BAB 44 BUKTI GELAP
45 BAB 45 DARAH YANG DI SERET
46 BAB 46 SERANGAN BALIK PERTAMA
47 BAB 47 LUKA LAMA YANG DIBONGKAR
48 BAB 48 PERNIKAHAN YANG DIPERTANYAKAN
49 BAB 49 SAHABAT YANG BERBALIK
50 BAB 50 ULTIMATUM KELUARGA
51 BAB 51 SAHABAT JADI MUSUH
52 BAB 52 GUGATAN PEMBATALAN
53 BAB 53 SIDANG GUGATAN
54 BAB 54 BUKTI PALSU
55 BAB 55 BUKTI DI MEJA HAKIM
56 BAB 56 MENCARI KEBENARAN
57 BAB 57 SUARA YANG DI PELINTIR
58 BAB 58 JERAT FITNAH
59 BBA 59 SAKSI DAN SIASAT
60 BAB 60 RETAK DI SISI LAWAN
61 BAB 61 BAYANGAN BALASAN
62 BAB 62 AIR MATA PALSU
63 BAB 63 SUARA YANG TIDAK BISA DIPATAHKAN
64 BAB 64 BUKTI YANG BERLUMUR DEBU
65 BAB 65 JEJAK ASLI
66 BAB 66 PANGGUNG AIR MATA
67 BAB 67 LUKA DAN PELUKAN
68 BAB 68 NYALA YANG KEMBALI
69 BAB 69 RAHASIA YANG TERBUKA
70 BAB 70 FAKTA YANG TERUNGKAP
71 BAB 71 DRAMA BESAR
72 BAB 72 SABOTASE
73 BAB 73 BAYANGAN ANCAMAN
74 BAB 74 SAKSI KUNCI
75 BAB 75 DUA JALUR
76 BAB 76 KLARIFIKASI
77 BAB 77 SKANDAL BAYANGAN
78 BAB 78 PERCAKAPAN YANG TERUNGKAP
79 BAB 79 UNJUK RASA BAYARAN
80 BAB 80 BALASAN DI MEJA HUKUM
81 BAB 81 KONTRAK YANG DISEMBUNYIKAN
82 BAB 82 MALAM PENJEMPUTAN
83 BAB 83 SURAT PERLINDUNGAN
84 BAB 84 TEKANAN DARI DALAM
85 BAB 85 PERSIAPAN SAKSI
86 BAB 86 SUARA DI RUANG SIDANG
87 BAB 87 PERANG DI LAYAR
88 BAB 88 BATU DI JALAN
89 BAB 89 LAPORAN YANG DIPUTARBALIKKAN
90 BAB 90 KLARIFIKASI YANG MENJEBAK
91 BAB 91 SERANGAN DI LAPANGAN
92 BAB 92 SABOTASE
93 BAB 93 PAGAR YANG DITERJANG
94 BAB 94 BAYANGAN KEKUASAAN
95 BAB 95 KEPUNGAN
96 BAB 96 SIDANG DI DUA PANGGUNG
97 BAB 97 PANGGUNG SIDANG
98 BAB 98 INTIMIDASI
99 BAB 99 SURAT PENANGKAPAN
100 BAB 100 SIMBOL
101 BAB 101 ADU DOMBA
102 BAB 102 PERANG OPINI
Episodes

Updated 102 Episodes

1
BAB 1 TANDA TANGAN YANG MENGGUNCANG
2
BAB 2 PERNIKAHAN YANG TIDAK PERNAH DIMINTA
3
BAB 3 LAMARAN YANG MEMBAKAR JEMBATAN
4
BAB 4 HARI -HARI MENJELANG PERNIKAHAN
5
BAB 5 ISTRI BARU DI RUMAH PENUH MUSUH
6
BAB 6 UJIAN PERTAMA SEBAGAI ISTRI
7
BAB 7 HUJATAN DI KAMPUS
8
BAB 8 JEBAKAN MEYLANI
9
BAB 9 KONFRONTASI DI KAMPUS
10
BAB 10 FITNAH PERTAMA
11
BAB 11 LANGKAH BALIK AMARA
12
BAB 12 PEMANGGILAN RISA
13
BAB 13 DIHINA DI TEMPAT UMUM
14
BAB 14 LANGKAH DI YAYASAN
15
BAB 15 UJIAN DI KELAS PERTAMA
16
BAB 16 API DI KAMPUS
17
BAB 17 SABOTASE DI YAYASAN
18
BAB 18 PANGGUNG TERBUKA
19
BAB 19 PERANG DIAM-DIAM
20
BAB 20 AUDIT DI MEJA TERANG
21
BAB 21 BAYANGAN BARU
22
BAB 22 LUKA YANG DIBUKA LAGI
23
BAB 23 ANCAMAN BARU
24
BAB 24 LUKA DI BALIK SENYUM
25
BAB 25 SUARA YANG TERBELAH
26
BAB 26 SAKSI DI PANGGUNG
27
BAB 27 DI RUANG SIDANG
28
BAB 28 TIGA HARI PENENTUAN
29
BAB 29 PUTUSAN MAJELIS
30
BAB 30 API DI DALAM RUMAH
31
BAB 31 BARA DI DEPAN PUBLIK
32
BAB 32 JERAT HUKUM
33
BAB 33 KURSI PANAS
34
BAB 34 BAYANGAN BARU
35
BAB 35 TUSUKAN DARI DALAM
36
BAB 36 KESAKSIAN YANG MEMBAKAR
37
BAB 37 SUARA DARI DARAH DAGING
38
BAB 38 SAHABAT DI MEJA SAKSI
39
BAB 39 JEJAK YANG TERSAMAR
40
BAB 40 TANDA TANGAN YANG MENGHUKUM
41
BAB 41 SAKSI TAK TERDUGA
42
BAB 42 KESAKSIAN YANG MENENTUKAN
43
BAB 43 REKENING BAYANGAN
44
BAB 44 BUKTI GELAP
45
BAB 45 DARAH YANG DI SERET
46
BAB 46 SERANGAN BALIK PERTAMA
47
BAB 47 LUKA LAMA YANG DIBONGKAR
48
BAB 48 PERNIKAHAN YANG DIPERTANYAKAN
49
BAB 49 SAHABAT YANG BERBALIK
50
BAB 50 ULTIMATUM KELUARGA
51
BAB 51 SAHABAT JADI MUSUH
52
BAB 52 GUGATAN PEMBATALAN
53
BAB 53 SIDANG GUGATAN
54
BAB 54 BUKTI PALSU
55
BAB 55 BUKTI DI MEJA HAKIM
56
BAB 56 MENCARI KEBENARAN
57
BAB 57 SUARA YANG DI PELINTIR
58
BAB 58 JERAT FITNAH
59
BBA 59 SAKSI DAN SIASAT
60
BAB 60 RETAK DI SISI LAWAN
61
BAB 61 BAYANGAN BALASAN
62
BAB 62 AIR MATA PALSU
63
BAB 63 SUARA YANG TIDAK BISA DIPATAHKAN
64
BAB 64 BUKTI YANG BERLUMUR DEBU
65
BAB 65 JEJAK ASLI
66
BAB 66 PANGGUNG AIR MATA
67
BAB 67 LUKA DAN PELUKAN
68
BAB 68 NYALA YANG KEMBALI
69
BAB 69 RAHASIA YANG TERBUKA
70
BAB 70 FAKTA YANG TERUNGKAP
71
BAB 71 DRAMA BESAR
72
BAB 72 SABOTASE
73
BAB 73 BAYANGAN ANCAMAN
74
BAB 74 SAKSI KUNCI
75
BAB 75 DUA JALUR
76
BAB 76 KLARIFIKASI
77
BAB 77 SKANDAL BAYANGAN
78
BAB 78 PERCAKAPAN YANG TERUNGKAP
79
BAB 79 UNJUK RASA BAYARAN
80
BAB 80 BALASAN DI MEJA HUKUM
81
BAB 81 KONTRAK YANG DISEMBUNYIKAN
82
BAB 82 MALAM PENJEMPUTAN
83
BAB 83 SURAT PERLINDUNGAN
84
BAB 84 TEKANAN DARI DALAM
85
BAB 85 PERSIAPAN SAKSI
86
BAB 86 SUARA DI RUANG SIDANG
87
BAB 87 PERANG DI LAYAR
88
BAB 88 BATU DI JALAN
89
BAB 89 LAPORAN YANG DIPUTARBALIKKAN
90
BAB 90 KLARIFIKASI YANG MENJEBAK
91
BAB 91 SERANGAN DI LAPANGAN
92
BAB 92 SABOTASE
93
BAB 93 PAGAR YANG DITERJANG
94
BAB 94 BAYANGAN KEKUASAAN
95
BAB 95 KEPUNGAN
96
BAB 96 SIDANG DI DUA PANGGUNG
97
BAB 97 PANGGUNG SIDANG
98
BAB 98 INTIMIDASI
99
BAB 99 SURAT PENANGKAPAN
100
BAB 100 SIMBOL
101
BAB 101 ADU DOMBA
102
BAB 102 PERANG OPINI

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!