[ BAB 3 ] Empat Hari Tanpa Mahkota

Hari keempat Olivia hidup di luar rumah bukan lagi glamor seperti dalam film atau sinetron. Tidak ada bantal satin, tidak ada kamar mandi marmer dengan bath bomb wangi lavender. Satu koper pakaiannya sudah berantakan, hotel bintang lima yang ia sewa di hari pertama sudah tak bisa lagi ditinggali karena saldo di ATM-nya ditolak saat mencoba memperpanjang masa inap.

Sisa uang tunai yang ia miliki habis dalam dua hari. Hari pertama, ia check-in dengan santai ke kamar deluxe di hotel mewah kawasan SCBD, memesan room service tanpa pikir panjang, dan membeli setelan tidur baru dari butik hotel karena katanya, "Gue nggak bisa tidur kalo bukan piyama silk." Hari kedua, Olivia masih sempat facial. Hari ketiga, kartu debitnya ditolak. Hari keempat, dompet digitalnya diblokir. Ia mulai panik.

Sekarang, ia menyeret kopernya di trotoar panas, rambut acak-acakan, sandal mules-nya lecet. Wajahnya kusam. Make up tak lagi menempel sempurna. Kacamata hitam mahalnya pun kini hanya menutupi matanya yang sembab dan kelelahan.

Langkahnya tergesa dan tidak fokus saat tiba-tiba—

Bruk!

Bahu Olivia membentur keras tubuh seseorang. Kacamatanya miring, kopernya hampir terjungkal.

“Hei!” Olivia langsung melotot, dengan suara tinggi dan sengak. “Mata lo dimana, sih?! Jalan nggak liat-liat?!” bentaknya kasar dengan aksen Jaksel yang kental, bibirnya bergetar, bukan karena marah, tapi karena hampir meledak menahan emosi.

Lelaki itu tampak terkejut. Sekilas usianya mungkin akhir dua puluhan, berpakaian sederhana tapi rapi. Ia sempat menoleh, memastikan tidak ada yang luka.

“Maaf, saya nggak sengaja…” ucapnya pelan, matanya menatap Olivia dengan bingung.

“Ya nggak sengaja kepala lo! Lo tuh jalan, ya jalan aja. Jangan jadi zombie. Astaga... get outta my way, loser,” dengus Olivia kasar, lalu menyibakkan rambutnya dan melenggang pergi begitu saja.

Lelaki itu tak menjawab, hanya menggeleng pelan. “Astaghfirullah…” gumamnya lirih, seraya menatap punggung Olivia yang menjauh dengan langkah sombong namun terlihat limbung.

Sore itu, Olivia terduduk di halte bus, menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis yang mulai menggelayut. Ia benar-benar tak tahu harus ke mana. Sinyal ponselnya lemah, dan setiap aplikasi pembayaran online miliknya sudah tidak bisa diakses. Notifikasi dari perbankan terakhir yang ia terima adalah: "Akun Anda dibekukan sesuai permintaan pemilik rekening induk."

“Papi lo bener-bener parah sih, Liv…” gumamnya sendiri. Tapi bahkan saat menggerutu, suaranya terdengar lelah dan nyaris putus asa.

Perutnya berbunyi. Ia belum makan sejak pagi. Ia tidak punya uang untuk membeli air minum, apalagi latte caramel kesukaannya. Olivia memandangi pantulan dirinya di kaca halte—mata sembab, rambut berantakan, dan ekspresi kaku penuh kelelahan.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa jatuh bebas dari langit emas tempat ia biasa hidup.

Ia memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan diri.

Tapi tubuhnya tak bisa lagi diajak kompromi.

Hidup dengan sendok emas sejak kecil membuatnya tak pernah tahu rasanya hidup susah. Semua keinginannya dikabulkan. Ia bisa menyuruh siapa pun, kapan pun. Mau makan tinggal pesan, mau belanja tinggal tunjuk.

Sekarang?

Sekadar duduk di pinggir jalan saja terasa seperti kehinaan terbesar dalam hidupnya.

Dan ia tahu…

Kakeknya, Hadikusuma, sedang menyaksikan semua ini dari jauh. Mungkin lewat orang-orang bayaran. Mungkin lewat kamera yang ia pasang di sekeliling hidupnya. Atau mungkin… hanya lewat intuisi seorang pria tua yang terlalu tahu betul cucu semata wayangnya.

Tapi yang jelas, Olivia mulai sadar: ia sedang dijatuhkan bukan karena benci… tapi karena ingin diajarkan.

Dan yang lebih menyakitkan?

Ia tak punya siapa pun untuk mengeluh sekarang.

Tidak sahabat. Tidak uang. Tidak keluarga.

Hanya dirinya… dan kenyataan bahwa dunia tidak lagi memanggilnya Princess.

Gerimis membasahi atap taksi ketika Olivia akhirnya memutuskan pulang. Setelah empat hari di luar rumah, tubuhnya letih, matanya sembab, dan kepala terasa berat karena kurang tidur. Hotel mewah yang ia sewa di hari pertama kini tinggal kenangan; uangnya sudah ludes hanya untuk dua malam di kamar suite, makanan mahal, dan satu stel pakaian yang dibelinya di mal. Hari ketiga ia tidur di bangku lobi hotel setelah tak bisa membayar perpanjangan kamar. Hari keempat, ia bahkan makan mie instan yang dibelikan oleh resepsionis yang iba melihat keadaannya.

Olivia tak sanggup lagi. Seluruh dompet digitalnya terblokir. ATM tak bisa digunakan. Mobilnya tak ada. Bahkan satu-satunya kontak keluarga yang ia hubungi—maminya—hanya menjawab dengan suara tangis dan "Maafin Eyang ya, Nak…"

Ia menyerah.

Saat taksi berhenti di depan pagar besar rumahnya, Olivia menghela napas berat. Tubuhnya masih mengenakan hoodie abu-abu, wajah tanpa makeup, dan rambut kusut yang tak sempat ia tata selama berhari-hari.

“Bayarin, Pak… saya udah nggak punya uang,” katanya lirih ke satpam rumahnya.

Pak Tio, satpam yang sudah bekerja belasan tahun di rumah keluarga Hadikusuma, terbelalak saat melihat gadis muda itu turun dari taksi dengan koper compang-camping.

“Non Oliv?” serunya kaget, segera berlari ke arah taksi dan membayar dengan dompet pribadinya. “Non nggak apa-apa? Astaga… ayo masuk dulu, Non, ayo…”

Olivia tak menjawab. Ia hanya melangkah masuk, menyeret kopernya yang berdebu, sementara tubuhnya menggigil pelan karena kelelahan dan dinginnya hujan tipis yang turun dari langit Jakarta sore itu.

Begitu pintu utama dibuka, aroma khas rumahnya menyambutnya—campuran bunga segar di ruang tamu dan kayu jati yang mengilap. Lampu kristal di langit-langit menyala lembut. Langkah Olivia terasa berat.

Di balik ruang tengah, suara langkah kaki terdengar. Hadikusuma muncul, berdiri tegak dengan tongkat kayunya. Wibawanya tetap utuh, matanya tajam meski tubuhnya tak sekuat dulu.

Olivia menegakkan dagu. Meski lelah, ia masih menyimpan sedikit harga diri.

“Oliv pulang,” katanya datar.

Hadikusuma mengamati cucunya dari ujung kepala hingga kaki. Ia menatap cucu semata wayangnya itu. Ada garis-garis marah di wajah tuanya, namun sorot mata itu masih sama—penuh kuasa, penuh kontrol.

“Pulang?” tanyanya sinis. “Rumah ini bukan tempat pelarian, Olivia. Ini tempat untuk mereka yang siap menerima konsekuensi.”

“Oliv cuma… butuh istirahat sebentar,” Olivia mencoba mencari alasan.

Hadikusuma mencibir. “Empat hari. Hotel bintang lima. Makan delivery. Gaya hidupmu lebih boros dari CEO perusahaan digital. Dan sekarang, kamu pulang karena kehabisan uang. Itu bukan istirahat, itu kalah.”

Olivia menunduk. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya.

“Kau pikir hidup bisa kau bentuk seenak lidahmu? Dunia tidak peduli kamu siapa. Dunia hanya akan memeluk mereka yang berjuang. Kau bukan petarung, Olivia. Kau hanya boneka porselen yang pecah begitu uang tak lagi menyelimuti.”

Bayu, yang sejak tadi berdiri di tangga atas, tak sanggup bicara. Ia ingin membela anaknya, tapi ia tahu, ayahnya tak pernah salah dalam membaca manusia. Dan hari ini, Olivia memang pulang dengan kepala tertunduk.

Hadikusuma melangkah mendekat, menatap mata cucunya dari dekat. “Kau kira hidupmu ini bebas? Tidak, Liv. Bahkan sebelum kau lahir, masa depanmu sudah kujaga. Sudah kusiapkan. Kau pikir aku diam selama ini? Tidak. Hari ini, kau pulang tepat waktu.”

Olivia memandang kakeknya, bingung. “Maksud Eyang?”

“Kau akan menikah,” ujar Hadikusuma datar.

Jantung Olivia seperti berhenti berdetak.

“Apa?!”

Hadikusuma tidak mengulang.

“Kau akan bertemu dengan seseorang sore ini. Dia bukan orang asing. Perjodohan ini sudah kutanam bahkan sebelum ibumu melahirkanmu. Hari ini, pohonnya tumbuh. Dan kau, cucu Hadikusuma, akan menikmatinya. Suka atau tidak.”

“Oliv nggak—”

“Kau tidak punya pilihan,” potong Hadikusuma tajam. “Kecuali kau ingin kembali tidur di emperan, tanpa kartu ATM, tanpa uang, dan tanpa keluarga. Dunia tak akan memberimu pelukan, Liv. Hanya aku yang masih bersedia membuka pintu.”

Olivia merasa darahnya menguap dari tubuh. Kepulangannya tak menyelamatkannya dari kehancuran. Sebaliknya, kepulangannya justru membuka pintu ke dunia yang lebih mengerikan—pernikahan yang tak pernah ia inginkan.

Tapi ia tahu… melawan Hadikusuma adalah hal paling mustahil di dunia ini.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, Olivia benar-benar tidak punya pilihan.

Terpopuler

Comments

Dani M04 <3

Dani M04 <3

Menggugah emosiku.

2025-08-17

1

lihat semua
Episodes
1 [ BAB 1 ] Jam Malam untuk Seorang Putri
2 [ BAB 2 ] Sendok Mas dan Langit yang Muram
3 [ BAB 3 ] Empat Hari Tanpa Mahkota
4 [ BAB 4 ] Takdir yang Dipaksa
5 [ BAB 5 ] Di Balik Gaun Satin Merah
6 [ BAB 6 ] Dua Minggu Menuju Takdir
7 [ BAB 7 ] Lamaran
8 [ BAB 8 ] Sah: Olivia & Maalik
9 [ BAB 9 ] Bayangan di Pelaminan
10 [ BAB 10 ] Resleting dan Subuh
11 [ BAB 11 ] Di Antara Tangis dan Doa
12 [ BAB 12 ] Di Sisi Jalan, Di Sisi Hati
13 [ BAB 13 ] Awal yang Asing
14 [ BAB 14 ] Pagi Pertama di Desa: Kesabaran dan Kehatian Maalik
15 [ BAB 15 ] Pelukan di Atas Motor Trail
16 [ BAB 16 ] Dalam Gendongan Kesabaran
17 [ BAB 17 ] Benturan Dua Dunia
18 [ BAB 18 ] Gazebo untuk Olivia
19 [ BAB 19 ] Di Balik Pintu, Ada Senyum yang Menunggu
20 [ BAB 20 ] Kesabaran yang Mengikat
21 [ BAB 21 ] Rahasia Kecil Maalik
22 [ BAB 22 ] Hujan, Petir dan Sebuah Rasa Aman
23 [ BAB 23 ] Dekapan yang Sulit Dilepaskan
24 [ BAB 24 ] Olivia dan Alif Ba Ta
25 [ BAB 25 ] Cerai!
26 [ BAB 26 ] Tak Akan Melepas
27 [ BAB 27 ] Janji Seorang Suami
28 [ BAB 28 ] Sederhana, Tapi Tulus
29 [ BAB 29 ] Olivia, Game, dan Kesabaran Maalik
30 [ BAB 30 ] Saat Pelukan Jadi Obat Resah
31 [ BAB 31 ] Nyenyak dalam Pelukan
32 [ BAB 32 ] Ketika Hati Olivia Terusik
33 [ BAB 33 ] Api Kecil dalam Hati Olivia
34 [ BAB 34 ] Manja untuk Eyang, Gengsi untuk Suami
35 [ BAB 35 ] Masakan Mas Suami
36 [ BAB 36 ] Ngidam yang Bukan Ngidam
37 [ BAB 37 ] Sederhana yang Istimewa
38 [ BAB 38 ] Pelan-Pelan Olivia Belajar
39 [ BAB 39 ] Cundamani
40 [ BAB 40 ] Ketika Pulang Jadi Pertikaian
41 [ BAB 41 ] Yang Tidak Terucap
42 [ BAB 42 ] Antara Ego dan Kasih
43 [ BAB 43 ] Runtuhnya Rasa Aman
44 [ BAB 44 ] Ketakutan yang Mengintai
45 [ BAB 45 ] Rapuh di Pelukan Maalik
46 [ BAB 46 ] Di Antara Takut dan Cinta
47 [ BAB 47 ] Segelas Air, Setitik Harapan
48 [ BAB 48 ] Kesabaran yang Membuka Pintu
49 [ BAB 49 ] Tak Akan Pergi
50 [ BAB 50 ] Malam dan Janji
51 [ BAB 51 ] Cinta yang Lama Diam
52 [ BAB 52 ] Sarapan Pertama, Harapan Baru
53 [ BAB 53 ] Antara Tanggung Jawab dan Hati yang Dijaga
54 [ BAB 54 ] Diam-Diam Maalik
Episodes

Updated 54 Episodes

1
[ BAB 1 ] Jam Malam untuk Seorang Putri
2
[ BAB 2 ] Sendok Mas dan Langit yang Muram
3
[ BAB 3 ] Empat Hari Tanpa Mahkota
4
[ BAB 4 ] Takdir yang Dipaksa
5
[ BAB 5 ] Di Balik Gaun Satin Merah
6
[ BAB 6 ] Dua Minggu Menuju Takdir
7
[ BAB 7 ] Lamaran
8
[ BAB 8 ] Sah: Olivia & Maalik
9
[ BAB 9 ] Bayangan di Pelaminan
10
[ BAB 10 ] Resleting dan Subuh
11
[ BAB 11 ] Di Antara Tangis dan Doa
12
[ BAB 12 ] Di Sisi Jalan, Di Sisi Hati
13
[ BAB 13 ] Awal yang Asing
14
[ BAB 14 ] Pagi Pertama di Desa: Kesabaran dan Kehatian Maalik
15
[ BAB 15 ] Pelukan di Atas Motor Trail
16
[ BAB 16 ] Dalam Gendongan Kesabaran
17
[ BAB 17 ] Benturan Dua Dunia
18
[ BAB 18 ] Gazebo untuk Olivia
19
[ BAB 19 ] Di Balik Pintu, Ada Senyum yang Menunggu
20
[ BAB 20 ] Kesabaran yang Mengikat
21
[ BAB 21 ] Rahasia Kecil Maalik
22
[ BAB 22 ] Hujan, Petir dan Sebuah Rasa Aman
23
[ BAB 23 ] Dekapan yang Sulit Dilepaskan
24
[ BAB 24 ] Olivia dan Alif Ba Ta
25
[ BAB 25 ] Cerai!
26
[ BAB 26 ] Tak Akan Melepas
27
[ BAB 27 ] Janji Seorang Suami
28
[ BAB 28 ] Sederhana, Tapi Tulus
29
[ BAB 29 ] Olivia, Game, dan Kesabaran Maalik
30
[ BAB 30 ] Saat Pelukan Jadi Obat Resah
31
[ BAB 31 ] Nyenyak dalam Pelukan
32
[ BAB 32 ] Ketika Hati Olivia Terusik
33
[ BAB 33 ] Api Kecil dalam Hati Olivia
34
[ BAB 34 ] Manja untuk Eyang, Gengsi untuk Suami
35
[ BAB 35 ] Masakan Mas Suami
36
[ BAB 36 ] Ngidam yang Bukan Ngidam
37
[ BAB 37 ] Sederhana yang Istimewa
38
[ BAB 38 ] Pelan-Pelan Olivia Belajar
39
[ BAB 39 ] Cundamani
40
[ BAB 40 ] Ketika Pulang Jadi Pertikaian
41
[ BAB 41 ] Yang Tidak Terucap
42
[ BAB 42 ] Antara Ego dan Kasih
43
[ BAB 43 ] Runtuhnya Rasa Aman
44
[ BAB 44 ] Ketakutan yang Mengintai
45
[ BAB 45 ] Rapuh di Pelukan Maalik
46
[ BAB 46 ] Di Antara Takut dan Cinta
47
[ BAB 47 ] Segelas Air, Setitik Harapan
48
[ BAB 48 ] Kesabaran yang Membuka Pintu
49
[ BAB 49 ] Tak Akan Pergi
50
[ BAB 50 ] Malam dan Janji
51
[ BAB 51 ] Cinta yang Lama Diam
52
[ BAB 52 ] Sarapan Pertama, Harapan Baru
53
[ BAB 53 ] Antara Tanggung Jawab dan Hati yang Dijaga
54
[ BAB 54 ] Diam-Diam Maalik

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!