Hari Pertama Sekolah Shalih

Fitriani menggendong Humairah Wulanindri, si bungsu yang anteng di dekapannya. Humairah, dengan hijab bayinya yang mungil berwarna kuning pastel, sesekali menggumam tak jelas sambil menarik-narik rambut ibunya. Jemari kecilnya yang gembil kadang mencengkram kerah baju Fitriani, sesekali melepaskan cengkraman untuk menunjuk burung pipit yang hinggap di dahan pohon. Fitriani tersenyum, mengelus punggung putrinya pelan, merasakan kehangatan tubuh mungil itu menenangkan hatinya.

Di sekelilingnya, beberapa ibu lain juga menunggu. Mereka adalah sesama "agen penjemput anak" yang sudah akrab dengan Fitriani karena sering bertemu di acara arisan atau pengajian komplek. Suasana obrolan ringan dan tawa kecil mengiringi penantian mereka.

"Gimana, Bu Fitri? Shalih betah di hari pertama?" tanya Ibu Dewi, ibu dari Alif, teman sebangku Shalih, dengan senyum ramah. Wajahnya yang bulat terlihat ceria, kontras dengan kerudung motif bunga yang ia kenakan. Ibu Dewi, seperti kebanyakan ibu di sini, selalu tampak modis meski hanya menunggu anak sekolah.

Fitriani mengangguk. "Alhamdulillah, Bu Dewi. Dari laporan gurunya tadi, kayaknya betah banget. Malah udah langsung akrab sama temen-temennya," jawab Fitriani, matanya berbinar bangga. Dalam hatinya, ia merasa lega. Semalam ia sempat cemas Shalih akan rewel, tapi sepertinya kekhawatiran itu tak beralasan. Rohim pasti akan senang mendengar ini.

"Wah, hebat! Anak laki-laki memang gitu ya, Bu. Gampang adaptasi," timpal Ibu Lia, yang berpostur ramping dengan kacamata bertengger di hidungnya. Anaknya, Dina, juga sekelas dengan Shalih. "Anak saya Dina itu ya, masih malu-malu kalau ketemu orang baru." Ibu Lia terkekeh, menggelengkan kepala.

Tiba-tiba, suara riuh anak-anak dari dalam kelas semakin jelas. Pintu kelas terbuka, dan barisan murid TK mulai keluar satu per satu, dengan tas ransel kecil bertengger di punggung mereka. Fitriani dan ibu-ibu lain langsung merapatkan barisan, mata mereka mencari-cari sosok sang buah hati.

"Shalih!" panggil Fitriani, melambaikan tangan saat melihat putranya muncul di antara kerumunan anak-anak.

Shalih menoleh, wajahnya berseri-seri. Ia berlari kecil menghampiri ibunya, tasnya bergoyang-goyang di punggung. Namun, langkahnya terhenti. Ia melihat seorang teman sebangkunya, Gilang, tampak kesulitan memakai ranselnya. Ransel itu tersangkut, dan Gilang mulai mengerutkan kening, hampir menangis.

Tanpa ragu, Shalih yang ceria itu berbalik. Jemari mungilnya meraih tali ransel Gilang dan dengan cekatan membantu temannya membetulkannya. Sebuah senyum lebar terukir di wajah Shalih, dan ia menepuk bahu Gilang pelan. "Udah, Lang. Yuk, kita pulang!"

Gilang tersenyum lebar, "Makasih, Shalih!"

Interaksi singkat itu tak luput dari pandangan para ibu yang menunggu. Ibu Dewi dan Ibu Lia, bersama beberapa ibu lainnya, tersenyum melihatnya.

"Ya ampun, lihat itu Shalih! Baik banget ya, Bu Fitri," bisik Ibu Dewi, matanya berbinar. "Pinter nolong teman, Masya Allah."

Fitriani tersenyum tipis, mengelus rambut Humairah. Dalam hatinya, ia merasakan kehangatan yang tak terkira. Ia tahu Shalih memang anak yang perhatian dan suka berbagi. Bukan hanya di sekolah, di rumah pun Shalih sering membantu adiknya mengambil mainan atau berbagi biskuit. Ia tak pernah mengajarkan Shalih untuk mencari pujian, hanya menanamkan nilai-nilai kebaikan.

Alhamdulillah, semoga sifat baikmu ini terus terjaga, Nak, batin Fitriani. Ia merasa bangga, tentu saja, tapi ia tidak suka dengan pujian yang berlebihan. Baginya, pujian itu seperti pisau bermata dua, bisa menjadi racun jika tidak disikapi dengan bijak. Ia tak ingin pujian-pujian itu membuat Shalih besar kepala atau merasa paling istimewa. Kebaikan harus datang dari hati, bukan karena ingin dipuji. Itu adalah prinsip yang selalu diajarkan Rohim padanya dan pada anak-anak.

Shalih akhirnya sampai di hadapan Fitriani, langsung memeluk kaki ibunya erat. "Ibu! Sekolah seru!" serunya, suaranya dipenuhi kegembiraan. Mata bulatnya menatap Fitriani, penuh cerita.

Fitriani berjongkok sedikit, meski Humairah di gendongannya, dan memeluk Shalih erat. "Alhamdulillah, jagoan Ibu! Gimana tadi? Ada teman baru?"

"Ada! Ada Gilang, ada Dina, ada... banyak!" Shalih bercerita dengan semangat, tangannya mengayun-ayun, ekspresinya begitu hidup.

Tak lama kemudian, seorang ibu lain, Ibu Ria, ibu dari Arya yang sering berebut mainan dengan Shalih di taman komplek, mendekat. "Bu Fitri, anak Ibu baik banget ya. Tadi saya lihat dia bantuin Gilang. Terus, pas istirahat tadi, Arya cerita kalau Shalih bagi-bagi permen ke teman-teman. Padahal kan permennya cuma tiga, tapi dibagi rata, katanya." Ibu Ria, dengan tubuh berisi dan senyum ramah, memuji dengan tulus.

Fitriani hanya tersenyum tipis, mengangguk. "Ah, biasa aja, Bu Ria. Anak-anak memang kadang gitu, saling bantu." Ia mencoba merendah, tidak ingin pujian itu menjadi terlalu besar. Jangan sampai berlebihan, ya Allah. Jangan sampai membuat mereka jadi sombong, bisiknya dalam hati. Ia ingin anak-anaknya tumbuh rendah hati dan tulus dalam berbuat baik.

"Enggak, Bu Fitri! Ini luar biasa lho! Anak saya itu susah banget kalau disuruh berbagi. Ini pasti didikan Ibu dan Bapaknya yang top!" Ibu Dewi ikut menimpali, mengacungkan jempolnya. Ekspresinya penuh kekaguman.

Fitriani hanya bisa tersenyum. Ia tahu mereka tulus, tapi telinganya terasa sedikit panas. Ia merasa tidak nyaman dengan pusat perhatian seperti itu. Baginya, kebaikan adalah hal yang seharusnya. Ia ingat kata-kata Rohim, "Kebaikan itu seperti air mengalir, dia tidak butuh tepuk tangan untuk terus mengalirkan manfaat."

"Udah, yuk, Shalih. Kita pulang," ajak Fitriani, mengalihkan pembicaraan. Ia meraih tangan Shalih dan mulai berjalan pelan, pamit pada ibu-ibu yang lain. Shalih menurut, langkahnya ringan, masih terus berceloteh tentang pengalaman hari pertamanya. Humairah di gendongan Fitriani sesekali menoleh ke belakang, melambaikan tangan mungilnya pada ibu-ibu yang melambaikan tangan kembali.

Di sepanjang jalan menuju rumah, Fitriani mendengarkan cerita Shalih dengan saksama. Tentang guru yang baik hati, tentang ayunan yang tinggi di taman sekolah, dan tentang mewarnai gambar kapal antariksa. Setiap detail kecil yang diceritakan Shalih membuat hati Fitriani menghangat. Ia tersenyum, menyadari betapa polos dan tulusnya hati anak-anak.

Minggu depan, Nak, kau akan melihat kapal antariksa yang sungguhan, batin Fitriani, menatap wajah Shalih yang ceria. Dan kau akan pergi jauh, jauh melampaui taman sekolahmu ini.

Perasaannya campur aduk: bahagia, tentu saja, atas kebaikan dan kepolosan putranya, juga bangga atas pencapaian mereka sebagai keluarga yang akan menjelajahi Mars. Namun, di sudut hatinya, ada pula secuil rasa... tak menentu. Pujian dari ibu-ibu tadi mengingatkannya untuk selalu mawas diri. Ia juga teringat obrolan semalam dengan Rohim tentang "Elite Global" dan "mafia bisnis." Bumi ini, bahkan di balik keceriaan sebuah pagi yang indah, ternyata menyimpan banyak hal rumit dan berbahaya.

Mereka tiba di rumah. Sebuah rumah minimalis modern dengan sentuhan etnik Jawa pada beberapa ornamennya. Fitriani membuka pintu, dan aroma masakan dari dapur langsung menyambut mereka. Mbak Yanti, asisten rumah tangga mereka, sudah menyiapkan makan siang.

"Selamat datang kembali, Bu, Den Shalih, Non Humairah," sapa Mbak Yanti dengan senyum ramah.

Fitriani membalas senyum. Ia meletakkan Humairah di playmat di ruang keluarga, dan si bungsu itu langsung merangkak menuju mainan balok susunnya. Shalih langsung menuju kamar untuk berganti baju. Fitriani duduk sejenak di sofa, menghela napas. Sebagian dirinya ingin menikmati kedamaian ini selama mungkin. Kedamaian rumah, kedamaian keluarga.

Namun, di sisi lain, ia tahu. Dalam beberapa hari ke depan, kedamaian ini akan berganti dengan hiruk pikuk persiapan keberangkatan. Dan setelah itu, mereka akan menghadapi sesuatu yang belum pernah manusia biasa alami. Sebuah perjalanan yang mungkin mengubah segalanya, termasuk diri mereka sendiri.

Fitriani memejamkan mata sejenak. Ia teringat kembali percakapan dengan Rohim semalam, tentang Mars, tentang takdir. Ia percaya, takdir baik akan selalu berpihak pada mereka yang berani dan berbuat baik. Seperti Shalih yang berbagi permen, seperti Rohim yang berjuang untuk listrik gratis. Dan seperti dirinya, yang siap mendampingi keluarga kecilnya menghadapi apa pun, di Bumi maupun di bintang.

Episodes
1 KATA PENGANTAR & PENOKOHAN
2 DISCLAIMER
3 PROLOG
4 Rasa Bahagia
5 Hari Pertama Sekolah Shalih
6 Mimpi Indo Tech Energy
7 Bisikan Bintang
8 Gerbang Menuju Bintang
9 Asa Di Tanah Paman Sam
10 Ujian Di Ujung Cakrawala
11 Langkah Menuju Angkasa Luas
12 Sang Entitas kehancuran Tak Terduga
13 Jatuh kembali ke Kenyataann yang Pahit
14 Kebangkitan Sang Bintang
15 Diagnosis Sang Transhuman
16 Ancaman Global Keluarga Di Ujung Tanduk
17 Pelarian Sang Keluarga Langit
18 Ledakan Energi Bintang
19 Rumah Yang Berbeda
20 Berita Pagi Di Batara Raya
21 Tekad Project Tesla Nova
22 Energi Matahari
23 Amanah Sang Bintang
24 Gerhana Matahari
25 Keluarga Langit
26 Kemitraan Rahasia
27 Pengkhianatan Sang Teknisi
28 Kemunculan The Closer
29 Pengorbanan Sang Mata Mata
30 Listrik Gratis
31 Kunjungan Sang Penutup
32 Idealisme Yang Salah
33 Fusi Kosmik dan Pertengkaran Sang Surya
34 Lahirnya BlackSolis
35 Perioritas Menyelamatkan Manusia
36 Ibu Rumah Tangga
37 Kemenangan Sang Balita
38 Kekalahan Sang Rembulan
39 Musuh Alami Gerhana
40 Pahlawan Langit Bangkit
41 Kekuatan Cosmica
42 Pena Emas dan Tangisan Kosmik
43 Orang Tua Untuk Anaknya.
44 Jakarta Di cermin
45 Ilmuan Rumah Langit
46 Desahan Kosmik
47 Kopi rasa bulan dan panggilan pemerintah
48 Kemunculan Si Es Cryo
49 Si Cepat
50 Protes Sang Mentri kepada Heliogar
51 Resiko Jadi Orang Baik
52 Sebuah Peringatan Biru
53 Panggilan dari dimensi lain
54 Air Mata Kosmik
55 Perdebatan 2 Pahlawan
56 Negosiasi Keluarga Langit dan Vanguard
57 Kemunculan Api
58 Fitnah Sang Api
59 Barikade Hukum
60 Aliansi Api Dan Kekuasaan
Episodes

Updated 60 Episodes

1
KATA PENGANTAR & PENOKOHAN
2
DISCLAIMER
3
PROLOG
4
Rasa Bahagia
5
Hari Pertama Sekolah Shalih
6
Mimpi Indo Tech Energy
7
Bisikan Bintang
8
Gerbang Menuju Bintang
9
Asa Di Tanah Paman Sam
10
Ujian Di Ujung Cakrawala
11
Langkah Menuju Angkasa Luas
12
Sang Entitas kehancuran Tak Terduga
13
Jatuh kembali ke Kenyataann yang Pahit
14
Kebangkitan Sang Bintang
15
Diagnosis Sang Transhuman
16
Ancaman Global Keluarga Di Ujung Tanduk
17
Pelarian Sang Keluarga Langit
18
Ledakan Energi Bintang
19
Rumah Yang Berbeda
20
Berita Pagi Di Batara Raya
21
Tekad Project Tesla Nova
22
Energi Matahari
23
Amanah Sang Bintang
24
Gerhana Matahari
25
Keluarga Langit
26
Kemitraan Rahasia
27
Pengkhianatan Sang Teknisi
28
Kemunculan The Closer
29
Pengorbanan Sang Mata Mata
30
Listrik Gratis
31
Kunjungan Sang Penutup
32
Idealisme Yang Salah
33
Fusi Kosmik dan Pertengkaran Sang Surya
34
Lahirnya BlackSolis
35
Perioritas Menyelamatkan Manusia
36
Ibu Rumah Tangga
37
Kemenangan Sang Balita
38
Kekalahan Sang Rembulan
39
Musuh Alami Gerhana
40
Pahlawan Langit Bangkit
41
Kekuatan Cosmica
42
Pena Emas dan Tangisan Kosmik
43
Orang Tua Untuk Anaknya.
44
Jakarta Di cermin
45
Ilmuan Rumah Langit
46
Desahan Kosmik
47
Kopi rasa bulan dan panggilan pemerintah
48
Kemunculan Si Es Cryo
49
Si Cepat
50
Protes Sang Mentri kepada Heliogar
51
Resiko Jadi Orang Baik
52
Sebuah Peringatan Biru
53
Panggilan dari dimensi lain
54
Air Mata Kosmik
55
Perdebatan 2 Pahlawan
56
Negosiasi Keluarga Langit dan Vanguard
57
Kemunculan Api
58
Fitnah Sang Api
59
Barikade Hukum
60
Aliansi Api Dan Kekuasaan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!