Rasa Bahagia

"Sarapan datang, Suami ku yang gagah dan anak-anak kesayangan Ibu!"

Suara Fitriani Ayu Dewi melantun merdu, memecah kesibukan pagi itu. Senyum lebar tak lepas dari bibirnya saat ia melangkah masuk ke ruang makan, nampan berisi sarapan mengepul hangat di tangannya. Aroma nasi goreng rempah, telur dadar dengan taburan daun bawang, dan sosis bakar menyeruak, berpadu sempurna dengan semerbak kopi hitam pekat kesukaan Rohim. Cahaya matahari pagi yang lembut menembus jendela kaca besar, memandikan ruangan dengan kehangatan keemasan, menyoroti motif batik modern pada salah satu dinding dan vas bunga melati di atas meja.

Rohim Wiratama, sang kepala keluarga, sedang menyisir rambutnya di depan cermin kecil dekat pintu. Ia mengenakan kemeja batik lengan pendek berwarna biru dongker—seragam kebanggaannya sebagai manajer proyek di sebuah perusahaan teknologi terkemuka Kota Batara Raya. Tangan kanannya terhenti di udara, pandangannya beralih pada sosok sang istri. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya.

"Wah, kamu sudah siap aja melayani kami Bu ?" goda Rohim, menoleh dengan kerlingan mata jahil. Gerak tubuhnya santai, tapi ada gurat lelah tipis di matanya, efek begadang semalam setelah menerima kabar luar biasa dari International Space Travel Consortium. Namun, semangatnya tak sedikit pun padam.

Fitriani meletakkan nampan di meja makan dengan hati-hati. "Tentu saja! keluarga ku ini kan perlu asupan gizi biar kuat jadi pahlawan " balasnya dengan nada jenaka, mengusap bahu suaminya lembut. Jemarinya yang lentik menyentuh kain kemeja Rohim, merapikan sedikit kerah yang sedikit miring. Ada percikan cinta dan kehangatan yang mengalir dari sentuhan itu.

Di meja makan, Shalih Wiradipa, si jagoan lima tahun, sudah duduk tegak di kursinya. Mata bulatnya yang berbinar-binar menatap nasi goreng di depannya dengan antusias. Hari ini adalah hari besar baginya: hari pertamanya masuk sekolah TK! Ia mengenakan seragam putih biru dongker yang sedikit kebesaran di bahunya yang mungil, kerah kemejanya masih agak kaku, menunjukkan kalau itu seragam baru. Kakinya yang pendek menggantung-gantung di bawah kursi, sesekali mengayun tak sabar.

"Ibu, Ayah, Shalih lapar!" serunya, suaranya melengking penuh semangat. Sebuah senyum tanpa celah dari gigi depannya yang baru tanggal menambah kesan menggemaskan.

Di sampingnya, Humairah Wulanindri, si bungsu dua tahun, duduk manis di kursi bayi khusus. Pipinya gembil, matanya besar, dan ia mencoba meniru kakaknya, "Ap-pa... ap-pa..." gumamnya, mencoba mengucapkan 'lapar' namun masih tersendat. Tangan mungilnya menunjuk-nunjuk piring nasi goreng, matanya fokus sepenuhnya pada makanan. Sebuah celemek kecil bermotif awan dan bintang melilit lehernya, dengan hijab bayi berwarna pastel yang membiarkan sebagian kecil poni tipisnya terlihat.

Fitriani terkekeh gemas. Ia menghampiri Humairah dan mengecup puncak kepalanya. "Iya, Sayang, sebentar ya. Ibu suapin nanti." Lalu ia menoleh pada Shalih. "Shalih, doa dulu sebelum makan, ya."

Shalih dengan patuh menangkupkan kedua tangan kecilnya, memejamkan mata, dan menggumamkan doa makan dengan cepat, lebih karena lapar daripada khusyuk. Rohim dan Fitriani saling pandang, senyum tipis tersungging di bibir mereka. Interaksi kecil semacam ini adalah esensi kebahagiaan mereka.

Saat Rohim mengambil tempat duduknya, ia meraih tangan Fitriani yang berada di sampingnya dan menggenggamnya erat. "Enggak nyangka ya, Bu. Mimpi kita benar-benar jadi kenyataan. Minggu depan kita beneran terbang ke Mars," ucap Rohim, suaranya sedikit lebih pelan, sarat akan keharuan. Jempolnya mengelus punggung tangan istrinya. Matanya menatap Fitriani dengan tatapan penuh cinta dan kekaguman.

Fitriani mengangguk, senyumnya meluruh menjadi ekspresi haru. "Iya, Ayah. Rasanya kayak mimpi. Dulu waktu kita daftar iseng-iseng aja, enggak kepikiran bakal beneran lolos. Apalagi ini misi keluarga pertama. Keluarga kita!" Raut wajahnya memancarkan perpaduan antara kebahagiaan tak terbatas dan sedikit kecemasan, sebuah pertanda normal dari sebuah petualangan besar.

"Aku masih ingat pas Humairah nangis pas sesi wawancara via hologram, kan? Kita pikir gagal gara-gara itu," timpal Rohim, mengingat kejadian lucu beberapa bulan lalu. Ia tertawa kecil, bayangan Humairah yang memekik-mekek sambil menarik janggut virtual salah satu perwakilan konsorsium terbayang jelas.

"Makanya, ini beneran mukjizat!" Fitriani menyerahkan sepiring nasi goreng untuk Rohim. "Berarti minggu depan kita langsung berangkat ke Amerika ya, Ayah? Dari sana baru ke stasiun antariksa utamanya?"

Rohim mengangguk sambil menyendok nasi goreng. "Betul, Bu. Semua persiapan dokumen sudah beres. Tiket ke Houston juga sudah di tangan. Nanti di sana kita akan dapat orientasi singkat, pelatihan darurat, terus... meluncur!" Matanya menerawang, membayangkan momen peluncuran roket raksasa yang akan membawa mereka melesat menembus atmosfer Bumi. Ada kilatan gairah dan sedikit rasa gentar di sana.

"Mama, Shalih mau roket!" Shalih menyahut, matanya berbinar, sudah membayangkan mainan barunya. Ia menyuap nasi goreng dengan sendok kecil, mulutnya penuh. Sebuah butir nasi menempel di pipinya, namun ia tak peduli.

Fitriani tersenyum, mengusap sisa nasi di pipi Shalih. "Nanti ya, Sayang. Kita beli roket yang besar sekalian. Mau roket sungguhan?"

"Mau!" Shalih mengangguk antusias, hampir menjatuhkan sendoknya. Gerakannya lincah, penuh energi lima tahun.

Humairah di kursi bayinya memekik gembira, meniru kakaknya, "Oket! Oket!" Tangannya yang gembil mengayun-ayun, ekspresinya lucu dan menggemaskan. Ia berhasil menyuap sepotong kecil sosis yang dipotong Fitriani ke mulutnya.

Rohim memandang kedua anaknya dengan tatapan lembut. "Lihat mereka, Bu. Mereka bahkan belum sepenuhnya paham apa yang akan kita lakukan. Tapi antusiasme mereka... itu yang bikin kita makin semangat." Ia meraih tangan Fitriani lagi, meremasnya pelan, seperti ingin menyalurkan seluruh kekuatannya.

"Iya, Ayah. Aku kadang mikir, ini bukan cuma petualangan untuk kita, tapi juga kesempatan buat mereka ngelihat dunia dari perspektif yang beda banget. Mereka akan jadi generasi pertama manusia yang tinggal di Mars, walaupun cuma sementara," ujar Fitriani, suaranya sedikit bergetar karena emosi. Ia menatap Shalih dan Humairah bergantian, membayangkan masa depan yang terbentang luas di hadapan mereka. Ada kebanggaan yang dalam di matanya, bercampur dengan sedikit kekhawatiran seorang ibu yang akan membawa anak-anaknya ke tempat asing.

"Pasti akan jadi cerita yang luar biasa buat cucu-cucu kita nanti," tambah Rohim, meneguk kopinya. "Bayangin aja, mereka akan cerita, 'Nenek dan Kakek dulu pernah ke Mars, lho!'." Ia terkekeh, membayangkan adegan itu.

"Ayah... ini serius, kan?" Fitriani bertanya lagi, nadanya sedikit lebih rendah, seolah masih butuh kepastian. Matanya menatap Rohim lekat-lekat, mencari validasi. Keraguan kecil itu muncul bukan karena takut, melainkan karena keagungan dari apa yang akan mereka jalani.

Rohim meletakkan cangkir kopinya, mencondongkan tubuh ke depan. Ia meraih dagu Fitriani dengan ibu jarinya, mengarahkan wajah istrinya agar menatapnya sepenuhnya. Matanya yang gelap memancarkan ketegasan dan cinta. "Sangat serius, Ibu. Tapi aku di sini, kita di sini, bersama-sama. Kita akan hadapi semuanya. Aku janji."

Ada keheningan singkat, hanya terdengar suara sendok Shalih yang beradu dengan piring dan celotehan Humairah. Di balik kesibukan sarapan, momen itu terasa begitu personal, begitu intim. Sebuah janji yang diucapkan di pagi hari, di tengah kehangatan keluarga, sebelum mereka melangkah menuju takdir yang entah membawa mereka ke mana.

Rohim kemudian bangkit dari kursi, melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul 06.30 WIB. "Oke, Ibu, Ayah harus berangkat kerja sekarang. Shalih, habiskan sarapannya, ya. Jangan bandel di sekolah." Ia mengecup kening Fitriani, lalu mengacak-acak rambut Shalih.

"Hati-hati, Ayah!" Shalih melambaikan sendoknya.

"Ati-ati, Ayah!" Humairah meniru, mengayunkan tangan mungilnya.

Fitriani mengantarkan Rohim sampai ke pintu depan. Sebelum suaminya melangkah keluar, ia mengaitkan jemarinya di jemari Rohim. "Jaga diri, Ayah. Jangan lupa makan siang. Minggu depan, petualangan kita yang sebenarnya akan dimulai."

Rohim tersenyum, membalas genggaman tangan istrinya. "Pasti, Ibu. Dan aku enggak sabar." Ia menatap istrinya sekali lagi, senyumnya mengembang, lalu berbalik dan melangkah pergi, menuju mobil listriknya yang terparkir rapi di carport.

Fitriani berdiri di ambang pintu, menatap punggung suaminya hingga hilang di balik gerbang. Angin pagi menerpa wajahnya, membawa serta aroma melati dari taman kecil mereka. Sebuah perasaan campur aduk meliputi hatinya: bahagia, bangga, takjub, tapi juga secuil rasa... tak menentu. Mereka akan ke Mars. Mungkinkah ada sesuatu yang menunggu mereka di sana, sesuatu yang lebih besar dari sekadar misi ilmiah atau tur biasa? Langit Batara Raya tampak begitu damai pagi itu, namun di baliknya, kosmos yang tak terbatas menyimpan rahasia.

Bersambung....

Episodes
1 KATA PENGANTAR & PENOKOHAN
2 DISCLAIMER
3 PROLOG
4 Rasa Bahagia
5 Hari Pertama Sekolah Shalih
6 Mimpi Indo Tech Energy
7 Bisikan Bintang
8 Gerbang Menuju Bintang
9 Asa Di Tanah Paman Sam
10 Ujian Di Ujung Cakrawala
11 Langkah Menuju Angkasa Luas
12 Sang Entitas kehancuran Tak Terduga
13 Jatuh kembali ke Kenyataann yang Pahit
14 Kebangkitan Sang Bintang
15 Diagnosis Sang Transhuman
16 Ancaman Global Keluarga Di Ujung Tanduk
17 Pelarian Sang Keluarga Langit
18 Ledakan Energi Bintang
19 Rumah Yang Berbeda
20 Berita Pagi Di Batara Raya
21 Tekad Project Tesla Nova
22 Energi Matahari
23 Amanah Sang Bintang
24 Gerhana Matahari
25 Keluarga Langit
26 Kemitraan Rahasia
27 Pengkhianatan Sang Teknisi
28 Kemunculan The Closer
29 Pengorbanan Sang Mata Mata
30 Listrik Gratis
31 Kunjungan Sang Penutup
32 Idealisme Yang Salah
33 Fusi Kosmik dan Pertengkaran Sang Surya
34 Lahirnya BlackSolis
35 Perioritas Menyelamatkan Manusia
36 Ibu Rumah Tangga
37 Kemenangan Sang Balita
38 Kekalahan Sang Rembulan
39 Musuh Alami Gerhana
40 Pahlawan Langit Bangkit
41 Kekuatan Cosmica
42 Pena Emas dan Tangisan Kosmik
43 Orang Tua Untuk Anaknya.
44 Jakarta Di cermin
45 Ilmuan Rumah Langit
46 Desahan Kosmik
47 Kopi rasa bulan dan panggilan pemerintah
48 Kemunculan Si Es Cryo
49 Si Cepat
50 Protes Sang Mentri kepada Heliogar
51 Resiko Jadi Orang Baik
52 Sebuah Peringatan Biru
53 Panggilan dari dimensi lain
54 Air Mata Kosmik
55 Perdebatan 2 Pahlawan
56 Negosiasi Keluarga Langit dan Vanguard
57 Kemunculan Api
58 Fitnah Sang Api
59 Barikade Hukum
60 Aliansi Api Dan Kekuasaan
Episodes

Updated 60 Episodes

1
KATA PENGANTAR & PENOKOHAN
2
DISCLAIMER
3
PROLOG
4
Rasa Bahagia
5
Hari Pertama Sekolah Shalih
6
Mimpi Indo Tech Energy
7
Bisikan Bintang
8
Gerbang Menuju Bintang
9
Asa Di Tanah Paman Sam
10
Ujian Di Ujung Cakrawala
11
Langkah Menuju Angkasa Luas
12
Sang Entitas kehancuran Tak Terduga
13
Jatuh kembali ke Kenyataann yang Pahit
14
Kebangkitan Sang Bintang
15
Diagnosis Sang Transhuman
16
Ancaman Global Keluarga Di Ujung Tanduk
17
Pelarian Sang Keluarga Langit
18
Ledakan Energi Bintang
19
Rumah Yang Berbeda
20
Berita Pagi Di Batara Raya
21
Tekad Project Tesla Nova
22
Energi Matahari
23
Amanah Sang Bintang
24
Gerhana Matahari
25
Keluarga Langit
26
Kemitraan Rahasia
27
Pengkhianatan Sang Teknisi
28
Kemunculan The Closer
29
Pengorbanan Sang Mata Mata
30
Listrik Gratis
31
Kunjungan Sang Penutup
32
Idealisme Yang Salah
33
Fusi Kosmik dan Pertengkaran Sang Surya
34
Lahirnya BlackSolis
35
Perioritas Menyelamatkan Manusia
36
Ibu Rumah Tangga
37
Kemenangan Sang Balita
38
Kekalahan Sang Rembulan
39
Musuh Alami Gerhana
40
Pahlawan Langit Bangkit
41
Kekuatan Cosmica
42
Pena Emas dan Tangisan Kosmik
43
Orang Tua Untuk Anaknya.
44
Jakarta Di cermin
45
Ilmuan Rumah Langit
46
Desahan Kosmik
47
Kopi rasa bulan dan panggilan pemerintah
48
Kemunculan Si Es Cryo
49
Si Cepat
50
Protes Sang Mentri kepada Heliogar
51
Resiko Jadi Orang Baik
52
Sebuah Peringatan Biru
53
Panggilan dari dimensi lain
54
Air Mata Kosmik
55
Perdebatan 2 Pahlawan
56
Negosiasi Keluarga Langit dan Vanguard
57
Kemunculan Api
58
Fitnah Sang Api
59
Barikade Hukum
60
Aliansi Api Dan Kekuasaan

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!