3

Atlas melepaskan jas hitam Armani-nya dengan gerakan elegan namun penuh ketegangan. Matanya yang gelap memindai ruangan dengan tatapan dingin dan menyelidik.

"Siapa wanita berkacamata berbingkai hitam yang berdiri di ujung ruangan tadi, dan siapa yang mengizinkannya bekerja di sini?" tanya Atlas kepada direktur kantornya, Patrick Palmer, dengan suara rendah yang menggema di ruang kerja yang luas.

Patrick, pria berusia hampir lima puluh tahun dengan rambut beruban rapi, merenung sejenak sebelum menjawab dengan hormat,

"Ah, itu Claire Jenkins, Yang Mulia. Dia baru saja lulus dengan gelar master dari Universitas Sorbonne. Dia adalah penerjemah yang direkomendasikan oleh Menteri Luar Negeri Marcel Dottore beberapa waktu lalu. Anda telah menyetujui perekrutannya saat itu."

Patrick mengatur kacamata bacanya.

"Saya dengar dia tidak hanya mahir dalam bahasa Prancis, tetapi juga fasih berbahasa Spanyol dan Jerman. Dia adalah bakat langka dalam bidang penerjemahan."

Atlas, yang sedang memegang dokumen diplomatik penting, berhenti sejenak dan melirik Patrick dengan tajam "Jadi, dia menguasai empat bahasa?"

"Tepat sekali, Yang Mulia. Kemampuannya sangat mengesankan untuk seseorang seusianya."

Suasana tenang di ruangan itu tiba-tiba terganggu ketika suara ceria seorang anak laki-laki terdengar dari sofa kulit mewah di sudut ruangan "Wah, sungguh menakjubkan! Kebetulan aku tidak mengerti beberapa kata dalam bahasa Prancis. Aku akan mencarinya!"

Milo, anak laki-laki berusia lima tahun dengan mata biru cerah yang mirip ayahnya, meluncur turun dari sofa dengan semangat dan berlari menuju pintu.

"Milo Foster, berhenti!" perintah Atlas dengan suara tegas namun tidak kasar.

Bocah itu langsung terdiam, berdiri kaku seperti patung kecil, tidak berani bergerak seinci pun. Meski masih kecil, Milo sudah memahami otoritas yang dimiliki ayahnya.

"Bawa dia ke ruang tamu sebelah, dan pastikan dia menyelesaikan tugas sekolahnya sebelum boleh pergi," Atlas memerintahkan Patrick tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen di tangannya.

"Baik, Yang Mulia," Patrick mengangguk dan tersenyum ramah kepada Milo.

"Tuan Muda, mari kita pergi."

Milo mengerucutkan bibirnya, melirik Daddy-nya dengan mata yang berkilat kesal, lalu mengambil tas sekolah kecilnya. Sambil berjalan keluar dengan langkah berat, dia bergumam dengan suara hampir tak terdengar, "Ini jelas menunjukkan aku bukan anak kandungmu."

"Apa yang kau katakan?" Atlas mengangkat kepala, menatap putranya dengan mata gelap penuh otoritas.

Milo berbalik dan menatap Daddy-nya dengan wajah keras kepala, meski suaranya masih cempreng seperti anak kecil "Sudah kubilang, aku jelas bukan anak kandungmu!"

Daftar tugas sekolahnya begitu panjang. Anak-anak lain mungkin membutuhkan seminggu untuk menyelesaikannya, tetapi dia harus menyelesaikannya dalam satu hari. Hidup memang tidak adil untuk anak lima tahun.

Atlas mengangkat kepalanya sepenuhnya, menatap Milo dengan mata hitam yang dalam, dan berkata tanpa ekspresi,

"Tentu saja aku tidak bisa melahirkanmu karena aku laki-laki. Tapi aku tetap Daddy-mu."

Milo cemberut dengan kesal, suaranya bergetar sedikit, "Jika Ibu bisa bangun dan bicara, dia pasti tidak akan sekeji dirimu!"

Mendengar itu, Atlas merasakan sesuatu menusuk dadanya, tapi wajahnya tetap tenang. Ia menatap Milo dengan pandangan sedikit melembut, lalu berkata dengan suara lebih rendah, "Kerjakan tugas sekolahmu."

Milo menghentakkan kaki kecilnya dan berjalan keluar bersama Patrick.

***

Di ruang arsip yang tenang, dengan rak-rak tinggi berisi dokumen penting negara, Claire sedang mencari berkas yang diperlukan bersama Leah.

"Leah, anak tadi--" Claire baru mulai bicara tetapi Leah segera menghentikannya.

"Ssst!" Leah mendekat dan berbisik, "Di kantor ini, dilarang keras membicarakan kehidupan pribadi Presiden. Semua yang kau lihat dan dengar di sini tidak boleh diceritakan kepada siapa pun setelah jam kerja. Bukankah kau sudah menandatangani perjanjian kerahasiaan sebelum bekerja?"

Claire menatap Leah dengan wajah serius, lalu mengangguk dengan rasa malu "Maaf, aku tidak akan mengulanginya lagi."

"Tidak apa-apa, yang penting kau ingat untuk untuk tidak melakukannya lagi." Leah mengingatkan dengan suara lembut namun tegas.

"Baik, aku mengerti," Claire mengangguk dan tersenyum.

Melihat ekspresi Claire yang polos, Leah merasa kasihan dan tiba-tiba mencondongkan tubuh untuk berbisik di telinga Claire, "Itu Milo Foster, putra Presiden. Orang-orang di istana biasanya memanggilnya Milo Kecil."

Bagaimanapun, semua orang di istana tahu tentang situasi keluarga Presiden. Karena Claire sudah bertemu Milo, Leah merasa perlu memberi informasi dasar.

"Putra Presiden?" Claire terkejut, matanya membesar di balik kacamata tebal.

"Lalu Presiden--"

Sebelum pertanyaannya selesai, Claire menyadari dia hampir melanggar batas lagi dan segera berhenti bicara.

"Jangan ceritakan hal ini kepada siapa pun di luar. Kalau tidak, kariermu sebagai penerjemah bisa berakhir sebelum dimulai,"

Leah mengingatkan sambil memastikan tidak ada orang lain di sekitar mereka.

Claire mengangguk dengan serius.

"Terima kasih, Leah. Aku benar-benar mengerti sekarang."

"Baiklah, cepat cari berkas yang kita butuhkan, lalu aku akan menunjukkan lingkungan kerja lainnya."

***

Keesokan harinya, Claire kembali menjalani rutinitas orientasi karyawan baru. Leah mengajaknya berkeliling istana untuk mengenal lingkungan kerja yang megah dan penuh sejarah. Saat mereka tiba di luar kantor Atlas, Daisy, sekretaris pribadi Presiden, meminta Leah menunggu di luar dan mengajak Claire masuk.

Atlas berdiri di depan jendela besar, memandangi taman istana yang indah sambil memegang secangkir espresso. Cahaya matahari pagi menerangi sosoknya yang tinggi dan berwibawa. Mendengar langkah kaki, ia berbalik dan melirik Claire dengan tatapan netral.

"Yang Mulia Presiden, selamat pagi. Saya Claire, dan hari ini hari kedua saya bekerja di sini," Claire menundukkan kepala dengan hormat, tak berani menatap langsung ke arah Atlas.

Atlas memperhatikan penampilan Claire sekilas: kacamata hitam berbingkai besar, rambut cokelat panjang tergerai tanpa hiasan, kemeja putih rapi hingga ke kerah, dan blazer hitam formal. Penampilannya sangat konservatif dan profesional.

Jika bukan karena rekomendasi langsung dari Menteri Luar Negeri, tak seorang pun menyangka wanita dengan penampilan sederhana ini menguasai empat bahasa dengan sempurna.

Setelah sekali pandang, Atlas kembali menatap ke luar jendela "Baik, kalian boleh pergi."

"Baik, Yang Mulia," Daisy mengangguk dengan senyum profesional, lalu berkata kepada Claire, "Mari kita lanjutkan tur orientasi."

Claire tersenyum tipis, mengangguk, dan berbalik untuk keluar bersama Daisy.

"Apakah Menteri Keuangan sudah tiba? Jika sudah, suruh dia langsung masuk ke ruang kerja saya," kata Atlas sambil tetap memandangi taman dan menyesap kopinya.

"Baik, Yang Mulia. Saya akan segera menghubunginya."

***

Saat Claire keluar dari kantor Presiden dan hendak melanjutkan tur, tiba-tiba terdengar suara anak kecil dari kejauhan.

"Hei, Kacamata Hitam! Kacamata Hitam!"

Claire menoleh ke arah suara itu. Ia melihat Milo muncul dari celah pintu dengan wajah imut dan ekspresi putus asa.

"Kacamata Hitam, kemari!" Milo melambaikan tangan dengan semangat ketika melihat Claire memperhatikannya.

Claire tak bisa menahan senyum melihat tingkah lucu anak itu. Ia tak peduli disebut "Kacamata Hitam", lalu berjalan mendekat.

"Kacamata Hitam, aku dengar kau pandai bahasa Prancis. Kata ini sulit sekali diucapkan. Aku belum bisa mengucapkannya dengan benar. Bisa ajari aku?" Milo menunjuk kata di buku catatannya dengan jari kecil, wajahnya menunjukkan kesedihan yang menggemaskan.

Claire menatap bocah kecil itu dengan kagum. Di usia lima tahun, ia sudah belajar bahasa Prancis. Memang putra Presiden berbeda dari anak lainnya.

Melihat kata yang ditunjuk, Claire tersenyum hangat, berjongkok sejajar dengan Milo, dan berkata dengan sabar, "Caratteristica. Saat mengucapkan 'tte', ujung lidah harus sedikit melengkung ke atas dan menekan gigi atas. Begini, coba ikuti: ca-rat-te-ri-sti-ca."

"Ca-rat-te-ri-sti-ca, ca-rat-te-ri-sti-ca,"

Milo menatap Claire dengan mata biru berkilat, mengikuti instruksinya dengan serius. "Sudah benar?"

Claire tersenyum tulus. "Ya, sudah benar. Kau sangat pintar, Milo!"

"Bagaimana dengan kata ini?" Milo menunjuk kata lain dengan antusias.

"Milo!"

Suara laki-laki dalam dan berwibawa memotong semangat Milo. Claire mendongak, melihat Atlas berdiri tak jauh dari mereka. Aura otoritasnya membuat udara terasa tegang. Claire bergidik dan segera berdiri, menyapa dengan suara rendah,

"Yang Mulia Presiden."

Melihat ekspresi ayahnya yang tidak senang, Milo langsung menunduk dan berkata dengan enggan, "Daddy."

"Kemarilah sekarang."

"Baik, Daddy." Milo menghela napas kecil, berjalan ke arah Atlas dengan langkah berat. Saat melewati Claire, ia menoleh dan berseru ceria, "Kacamata Hitam, sampai jumpa! Aku akan mencarimu lagi untuk belajar bahasa Prancis!"

Melihat anak polos dan ceria itu, Claire tersenyum hangat. Tapi karena aura intimidasi dari Atlas, ia hanya melambaikan tangan pelan sebagai jawaban.

Milo menyeringai lebar, memamerkan dua baris gigi kecil rapi, lalu mengikuti Atlas ke ruang kerja.

Melihat sosok kecil itu menghilang, Claire tiba-tiba teringat pada anak yang pernah ia lahirkan lima tahun lalu. Kenangan itu muncul tanpa peringatan, membuat dadanya terasa sesak.

Anak itu sekarang pasti sudah berusia lima tahun. Apakah dia secerah dan semanis Milo? Apakah suatu hari nanti dia akan bertemu dengannya?

Memikirkan itu, Claire tersenyum getir.

Ia bahkan tidak tahu apakah anak itu laki-laki atau perempuan. Bahkan jika bertemu, ia tak akan mengenalinya.

"Jadi, Claire, jangan terlalu banyak berpikir," gumamnya pada diri sendiri.

"Itu bukan anakmu. Itu tidak ada hubungannya denganmu."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!