3. Demi Masa Depan yang Tak Pasti

Pak Hasan masih berdiri di tempat yang sama. Matanya menatap kosong menembus dinding putih rumah sakit.

Kata-kata Kian terus bergema dalam benaknya:

“Biarkan saya bertanggung jawab... sebagai suaminya.”

Sekilas terdengar seperti jawaban dari seorang pria terhormat.

Tapi Pak Hasan tahu, ketulusan bukan sesuatu yang bisa diukur dari kata-kata.

Terlebih, ia tahu siapa Kian Ardhana.

Pria muda ambisius.

Beberapa kali datang menawar tanah warisan keluarga—tanah yang ia jaga seperti darah sendiri.

Dan sekarang, pria itu ingin menikahi anaknya?

Ia mengepalkan tangan.

"Apakah ini kebetulan… atau jebakan?"

Ia menoleh perlahan, menatap Kian lama. Tatapannya tak lagi semarah sebelumnya, tapi keraguan membayang dalam diamnya.

“Anakku…” gumamnya lirih, “…masih sekolah. Masih mondok. Satu semester lagi baru lulus. Usianya baru genap tujuh belas. Belum cukup untuk menikah.”

Pak Hasan menatapnya lebih lama.

Diam.

Sunyi menggantung di antara mereka.

Dan entah kenapa...

...meski hatinya penuh keraguan, meski insting ayahnya menjerit waspada…

Ia tahu, ia tak punya banyak pilihan.

Kian terdiam.

Matanya menatap pria itu dalam-dalam—berusaha menyampaikan kesungguhan, meski dalam hatinya, ada tekanan yang tak bisa ia abaikan.

"Baru tujuh belas… berarti hanya bisa menikah siri. Itu cukup untuk sekarang. Yang penting, aku bisa membuktikan tanggung jawabku—dan mungkin… mendapatkan persetujuan atas tanah itu."

"Jika resort itu berdiri sesuai rencana, Papa pasti menepati janjinya. Aku akan naik sebagai CEO."

Ia mengangguk pelan. “Tak masalah, Pak. Jika itu yang harus saya lakukan, saya akan tetap menikahinya. Sebagai bentuk tanggung jawab saya.”

Pak Hasan memandangi wajah Kian, mencari-cari ketulusan di balik ambisi. Ada sesuatu dalam mata pemuda itu yang meyakinkan—meski sebagian hatinya masih belum bisa percaya sepenuhnya.

Namun detik berikutnya, pikirannya kembali disergap oleh kenyataan yang lebih pahit…

Kanker.

Pankreasnya. Stadium akhir.

Sudah sebulan sejak ia diam-diam menerima vonis itu.

Semula ia hanya merasa cepat lelah, berat badan turun drastis, dan perutnya sering nyeri tanpa sebab. Ia pikir hanya masuk angin atau maag. Tapi dokter mengatakan lain—dengan tatapan sendu dan kalimat pelan yang menghantam jantung:

“Peluang hidup Bapak... sangat kecil.”

Penyakit itu datang diam-diam. Tanpa gejala berarti. Dan saat muncul... sudah terlambat.

Secara fisik, ia masih tampak kuat. Tapi ia tahu pasti—waktu untuknya… tak banyak.

Dan Kanya...

Gadis kecilnya itu tak tahu apa-apa.

Tak tahu bahwa ayahnya tengah diam-diam mempersiapkan kematian. Bahwa setiap langkah Pak Hasan kini dipenuhi perhitungan: berapa lama lagi ia bisa melihat mentari? Berapa malam lagi ia bisa menatap bulan bersama putrinya?

Dan sekarang… kaki Kanya akan cacat.

Ia tak punya siapa-siapa lagi.

Tak ada istri. Tak ada saudara. Tak ada keluarga dekat.

Siapa yang akan menjaga Kanya jika ia tiada?

Siapa yang akan melindungi gadis suci yang bahkan menolak disentuh meski tubuhnya sekarat?

Air mata menggantung di ujung matanya. Tak jatuh, tapi cukup untuk membuat pandangannya bergetar.

Ia menatap Kian. Tajam, dalam.

Berusaha membaca isi hati pemuda itu.

Kian tak menghindar. Ia tatap balik, tenang.

Namun di dalam pikirannya, badai kecil menggelora:

"Menikahinya… bisa membuat Pak Hasan luluh. Mungkin… tanah itu akan berpindah tangan tanpa konflik. Resort bisa dibangun sesuai rencana. Posisi CEO pun ada di depan mata."

"Tapi... Kanya. Dia terlalu muda. Masih sekolah. Aku bahkan belum tahu seperti apa wajah dan sifatnya."

"Dan Friska… tetap wanita yang aku cinta."

"Namun, jika ini satu-satunya jalan untuk menebus kesalahan… dan membuktikan tanggung jawabku…"

Ia menunduk sedikit, memasang ekspresi paling tulus yang bisa ia buat.

“Saya akan menjaga Kanya seumur hidup saya, Pak. Percayalah.”

Suara itu tenang. Dalam. Meyakinkan.

Pak Hasan menarik napas panjang, seolah mencoba menahan sesak yang menggunung di dadanya.

Ia menatap anak muda di hadapannya.

Lelaki yang—suka atau tidak—mungkin akan menjadi suami satu-satunya orang yang akan ia tinggalkan di dunia ini.

"Kalau aku mati, setidaknya… ada yang menjaganya."

Kalimat itu hanya menggema dalam batin. Tak sempat menjadi suara.

“Baiklah,” ucapnya akhirnya. Suaranya pelan, namun cukup tegas untuk mengguncang ruang yang sunyi itu.

Kian mengangkat kepala. Sedikit terkejut.

“Aku terima lamaranmu,” lanjut Hasan. “Jaga putriku dengan baik.”

Kian mengangguk pelan, menyesap ucapan itu seperti angin kemenangan—padahal dalam benaknya, ia hanya ingin satu hal: menyelesaikan semuanya secepat mungkin.

Tapi Pak Hasan belum selesai.

“Dan dengar baik-baik. Jangan pernah kau sakiti dia—secara fisik, atau batin.”

Wajahnya tetap tenang. Suaranya datar. Tapi yang meluncur dari bibirnya terasa seperti belati dingin yang pernah mencicipi darah.

“Kalau kau menyakitinya… hidupmu tak akan tenang. Bahkan kalau aku sudah tak ada.”

Kian menelan ludah.

Entah kenapa, meski ia merasa sudah ‘menang’, ada sesuatu dari tatapan pria itu yang menyusup ke dadanya… membuat ia menggigil.

Dan mungkin—untuk pertama kalinya—ia sadar:

Ia baru saja menjual nuraninya demi sebidang tanah.

Dan di balik tirai ruang UGD, Kanya masih tak tahu apa pun.

Tak tahu bahwa masa depannya telah dipertaruhkan dalam satu kalimat...

…oleh ayah yang sangat mencintainya,

…dan lelaki yang hanya menjadikannya jalan menuju tanah.

***

Lorong Rumah Sakit – Pagi Hari

Lorong rumah sakit masih sunyi. Lampu putih pucat menyinari lantai mengilap. Bau disinfektan tajam menguar, menyusup pelan ke dalam jaket Kian.

Ia berdiri di depan ruang perawatan Kanya. Tak masuk. Hanya menatap dari kejauhan.

"Apa keputusanku benar? Menikahi gadis asing yang bahkan tak kulihat wajahnya… hanya demi sebidang tanah?"

Pertanyaan itu berputar dalam kepalanya.

Dari kaca kecil di pintu, ia melihat Kanya tertidur. Tenang. Sebelah kakinya dibebat perban, selang infus menggantung diam di samping ranjang. Wajahnya tetap tertutup cadar—menyisakan mata yang terpejam, seolah menyembunyikan segalanya, bahkan luka.

Sementara di bangku lorong, tak jauh dari pintu…

Pak Hasan tertidur dalam posisi duduk. Tubuhnya condong ke depan. Napasnya terdengar pendek dan berat. Wajahnya lebih pucat dari semalam. Keringat dingin merembes di pelipis.

Kian baru hendak berbalik untuk membeli kopi—sekadar meredakan sesak di dada—saat suara berat menghentikan langkahnya.

Brugh!

Tubuh Pak Hasan limbung. Jatuh ke lantai dengan suara mengejutkan.

Kian refleks menoleh cepat.

"Astagaa!" serunya panik. Ia berlari mendekat, lututnya nyaris tergelincir saat menjangkau tubuh Pak Hasan yang tergeletak tak sadarkan diri.

"Suster! Dokter! Tolong!"

Suaranya menggema di lorong yang semula sunyi.

Detik berikutnya, pintu-pintu terbuka. Langkah-langkah cepat berdatangan.

UGD – Beberapa Menit Kemudian

Kian mondar-mandir di depan ruang UGD. Rahangnya mengeras. Tangan gemetar saat ia mencoba menelepon seseorang, lalu membatalkannya. Matanya berulang kali melirik pintu.

Seorang dokter keluar. Usianya empat puluhan, mengenakan jas putih dan wajah penuh empati.

"Keluarga Pak Hasan?"

Kian mengangguk reflek. “Saya... yang mengantarkannya.”

Dokter menghela napas. “Beliau terkena syok hipoglikemik dan kelelahan berat. Tapi bukan itu intinya.”

Ia menatap Kian. Lama. Dalam.

“Pak Hasan mengidap kanker pankreas stadium empat. Sudah menyebar. Kami menduga... beliau sudah tahu, tapi tidak melakukan pengobatan lanjut.”

Kian tercekat.

“Kanker?”

“Maaf, tapi... waktunya tak banyak.”

Suara dokter menggantung di udara, lalu hilang ditelan denting alat medis.

Kian berdiri mematung.

Kata ‘kanker’ itu seperti batu es jatuh ke dadanya.

Tiba-tiba semua menjadi lambat:

Senyuman tipis Pak Hasan tadi malam.

Tatapan kosongnya ke dinding.

Kalimat lirih: "Anakku... baru tujuh belas."

Kian berjalan pelan, kembali ke lorong tempat Pak Hasan tadi tumbang. Ia duduk di bangku dingin. Telinganya masih berdenyut.

Tangannya terkepal. Wajah menunduk. Mata menatap sepatu kulitnya yang mengilap—kontras dengan lantai rumah sakit yang suram.

“Jadi… dia tahu dia akan mati, tapi masih sempat menerimaku sebagai menantu?”

Kian menunduk.

“Bukan karena percaya padaku… tapi karena waktu tak memihaknya.

Ia mengusap wajah. Gertakan dari dalam hati datang bertubi:

“Apa yang kau lakukan, Kian?”

“Kau melamar anak orang demi sebidang tanah.”

“Dan dia... mungkin hanya ingin memastikan putrinya tak sendirian ketika ajal datang."

Satu tarikan napas panjang.

Kian menengadah. Mata menyipit menahan cahaya lampu di atas.

Bukan rasa bersalah sepenuhnya. Tapi ada sesuatu yang retak.

Ambisi itu kini berbenturan dengan sesuatu yang lebih dalam:

...rasa kemanusiaan.

...rasa tanggung jawab.

...atau mungkin, sekadar sisa-sisa nurani yang belum mati.

Di ruangan seberang, Kanya masih tertidur. Tak tahu bahwa ayahnya sedang berjuang di UGD. Tak tahu bahwa pria yang melamarnya tengah dihantui rasa yang belum ia kenal:

Penyesalan. Dan rasa takut... akan pilihan yang telah ia buat.

...🌸❤️🌸...

.

To be continued

Terpopuler

Comments

anonim

anonim

Kian melamar anak orang demi sebidang tanah - pilihan yang tidak tepat. Kian tidak fokus dalam mengemudikan mobil - tidak sengaja mencelakai Kanya putri pak Hasan - bukan jebakan - tapi Kian juga punya maksud terselubung - kepemilikan tanah - maka mau bertanggung jawab menikahi Kanya. Untuk meyakinkan pak Hasan - Kian akan menjaga Kanya seumur hidupnya. Ada kata- kata pak Hasan - kalau kau menyakitinya - hidupmu tak akan tenang, itu ketika menerima lamaran Kian.
Kini Kian terenggut kebahagiaannya gagal menikahi Friska. Ucapan yang adalah doa pak Hasan apakah akan menemani kehidupan Kian selanjutnya.

2025-07-15

3

Anitha Ramto

Anitha Ramto

Kian kamu benar² harus bertanggung jawab dan harus menjaga Zahira dengan baik,jangan sampai kamu menyakitinya karena kamu Zahira jadi Cacat...

pasti Zahira cantik banget jika Kian sudah melihat wajahnya akan terpaku dan terpesona dengan kecantikan Zahira..si Kian nanti akan jatuh cinta dan bucin sama Zahira

2025-07-15

2

Ais

Ais

Satu kata buat kamu kian "BASTARD"

2025-07-15

3

lihat semua
Episodes
1 1. Pilih Aku atau Masa Lalu
2 2. Pertanggungjawaban
3 3. Demi Masa Depan yang Tak Pasti
4 4. Permohonan
5 5. Perjanjian Sebelum Akad
6 6. Mahar Harga Diri
7 7. Cinta yang Belum Selesai
8 8. Merasa Sendiri.
9 9. Pinangan
10 10. Kejujuran yang Terucap
11 11. Jalan yang Tertutup
12 12. Hanya Ingin Tahu
13 13. Aroma Ironi
14 14. Penjelasan
15 15. Di Pandang Rendah
16 16. Mainan di Rumah
17 17. Konflik Hati
18 18. Ruang Tak Kasat Mata
19 19. Biasa atau Sengaja?
20 20. Merasa Bersalah
21 21. Haru
22 22. Tameng Kemaksiatan
23 23. Membekas
24 24. Keresahan
25 25. Mungkinkah Itu Kanya?
26 26. Aroma dan Noda
27 27. Dua Syarat
28 28. Dua Pasang Mata
29 29. Diharamkan
30 30. Diam yang Menusuk
31 31. Uang Bulanan
32 32. Menohok
33 33. Mulai Peduli
34 34. Surat Nikah
35 35. Mengorek Luka Lama
36 36. Menawarkan
37 37. Di Ambang Pintu
38 38. Kalimat Halus Menohok
39 39. Galau
40 40. Beban Harapan
41 41. Tak Seasing Dulu
42 42. Suara Pembawa Kenangan
43 43. Harga Diri atau Cemburu?
44 44. Dalam Keheningan Malam
45 45. Memberi Peringatan
46 46. Gestur Kepemilikan
47 47. Hal Remeh tapi Penting
48 48. Berakhir Menggantung
49 49. Makin Posesif
50 50. Asing tapi Akrab
51 51. Sebelum Tergoda
52 52. Berhenti atau Berjuang?
53 53. Dimulai dengan Doa
54 54. Tanda Kesungguhan
55 55. Empat Nama
56 56. Mengawasi
57 57. Tantangan
58 58. Tetap Lanjut
59 59. Malu vs Bangga
60 60. Bukti
61 61. Kokohnya Ego
62 62. Merobek Ego
63 63. Harus Memilih
64 64. Situasi Memanas
65 65. Brutal
66 66. Bangga Sekaligus Bersalah
67 67. Hanya Menatap Satu Orang
68 68. Pengakuan
69 69. Maaf dan Terima Kasih
70 70. Hidayah
71 71. Bukan Suami Dayus
72 72. Merasa Tak Pantas
73 73. Meski Terlambat
74 74. Antara Awal dan Akhir
Episodes

Updated 74 Episodes

1
1. Pilih Aku atau Masa Lalu
2
2. Pertanggungjawaban
3
3. Demi Masa Depan yang Tak Pasti
4
4. Permohonan
5
5. Perjanjian Sebelum Akad
6
6. Mahar Harga Diri
7
7. Cinta yang Belum Selesai
8
8. Merasa Sendiri.
9
9. Pinangan
10
10. Kejujuran yang Terucap
11
11. Jalan yang Tertutup
12
12. Hanya Ingin Tahu
13
13. Aroma Ironi
14
14. Penjelasan
15
15. Di Pandang Rendah
16
16. Mainan di Rumah
17
17. Konflik Hati
18
18. Ruang Tak Kasat Mata
19
19. Biasa atau Sengaja?
20
20. Merasa Bersalah
21
21. Haru
22
22. Tameng Kemaksiatan
23
23. Membekas
24
24. Keresahan
25
25. Mungkinkah Itu Kanya?
26
26. Aroma dan Noda
27
27. Dua Syarat
28
28. Dua Pasang Mata
29
29. Diharamkan
30
30. Diam yang Menusuk
31
31. Uang Bulanan
32
32. Menohok
33
33. Mulai Peduli
34
34. Surat Nikah
35
35. Mengorek Luka Lama
36
36. Menawarkan
37
37. Di Ambang Pintu
38
38. Kalimat Halus Menohok
39
39. Galau
40
40. Beban Harapan
41
41. Tak Seasing Dulu
42
42. Suara Pembawa Kenangan
43
43. Harga Diri atau Cemburu?
44
44. Dalam Keheningan Malam
45
45. Memberi Peringatan
46
46. Gestur Kepemilikan
47
47. Hal Remeh tapi Penting
48
48. Berakhir Menggantung
49
49. Makin Posesif
50
50. Asing tapi Akrab
51
51. Sebelum Tergoda
52
52. Berhenti atau Berjuang?
53
53. Dimulai dengan Doa
54
54. Tanda Kesungguhan
55
55. Empat Nama
56
56. Mengawasi
57
57. Tantangan
58
58. Tetap Lanjut
59
59. Malu vs Bangga
60
60. Bukti
61
61. Kokohnya Ego
62
62. Merobek Ego
63
63. Harus Memilih
64
64. Situasi Memanas
65
65. Brutal
66
66. Bangga Sekaligus Bersalah
67
67. Hanya Menatap Satu Orang
68
68. Pengakuan
69
69. Maaf dan Terima Kasih
70
70. Hidayah
71
71. Bukan Suami Dayus
72
72. Merasa Tak Pantas
73
73. Meski Terlambat
74
74. Antara Awal dan Akhir

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!