...Tamu Tengah Malam...
Malam itu, di penghujung bulan puasa, hawa dingin merasuk hingga ke tulang, tidak seperti biasanya di Payakumbuh. Jam dinding di ruang tengah menunjukkan pukul 02.17 dini hari. Hanya suara jangkrik dan anjing menggonggong sayup-sayup yang memecah keheningan. Aku, Rangga, terbangun karena tenggorokanku terasa kering kerontang. Setelah meraih gelas di nakas dan menenggak habis air mineral, aku memutuskan untuk ke dapur, berharap bisa membuat teh hangat untuk sedikit menghangatkan tubuh.
Baru saja kakiku melangkah ke lantai yang dingin, sebuah ketukan pelan terdengar dari pintu depan. "Tok... tok... tok..."
Aku terkesiap. Siapa yang bertamu selarut ini? Tetangga? Kerabat? Tidak mungkin. Biasanya, tidak ada yang berani keluar rumah pada jam segini kecuali ada urusan yang sangat mendesak, apalagi ini menjelang sahur. Rasa penasaran bercampur sedikit cemas mulai menjalar. Aku melirik ke jam lagi. Pukul 02.20.
Ketukan itu terulang, kali ini sedikit lebih keras. "Tok... tok... tok!"
Aku ragu sejenak. Pikiran rasional mencoba mencari jawaban. Mungkin ada yang kesasar? Atau tetangga butuh bantuan darurat? Aku berjalan perlahan menuju pintu depan, mencoba mengintip dari celah gorden. Yang terlihat hanya siluet samar. Tubuh tinggi, tegap, mengenakan semacam jubah atau kain panjang yang menjuntai hingga menutupi kakinya. Kepalanya tertutup tudung.
"Siapa di sana?" tanyaku, suaraku sedikit bergetar.
Hening. Tidak ada jawaban. Hanya angin malam yang berdesir pelan, seakan mengolok-olok kegelisahanku.
"Permisi, siapa?" ulangku, mencoba memberanikan diri.
Tiba-tiba, suara berat, serak, seolah tertahan sesuatu, membalas, "Maaf mengganggu, Nak. Saya tersesat. Bolehkah saya minta segelas air?"
Suara itu aneh, seperti pasir bergesekan, membuat bulu kudukku merinding. Namun, permintaannya terdengar lugu. Hanya segelas air. Aku tidak tega jika ini benar-benar orang tua yang tersesat. Dengan tangan sedikit gemetar, aku membuka kunci pintu.
Pintu berderit pelan. Di ambang pintu, berdiri sosok yang kulihat tadi. Tudung menutupi wajahnya dengan sempurna, hanya menyisakan bayangan gelap. Aku tidak bisa melihat matanya, atau bagian wajah lainnya. Namun, dari postur tubuhnya, ia memang tampak sepuh. Aroma tanah basah dan sesuatu yang aneh, seperti bunga melati layu, menyeruak masuk.
"Silakan masuk, Pak," kataku, menggeser tubuhku agar ia bisa lewat. Aku mencoba bersikap setenang mungkin, meskipun jantungku berdetak tak karuan.
Sosok itu melangkah masuk dengan gerakan yang nyaris tanpa suara. Aku merasa aneh. Bahkan langkah kaki orang tua pun biasanya ada sedikit suara seretan atau berat, tapi sosok ini bergerak seperti bayangan. Ia berdiri di ruang tamu, di bawah cahaya lampu yang remang-remang, masih membelakangiku.
"Maaf sekali merepotkan di tengah malam begini, Nak," ucapnya lagi, suaranya tetap serak. "Saya tidak tahu jalan pulang."
"Tidak apa-apa, Pak. Saya ambilkan air dulu, ya," kataku, bergegas ke dapur. Aku merasa aneh, tapi juga iba. Mungkin ia sudah berjalan jauh.
Di dapur, tanganku gemetar saat menuang air ke gelas. Aku mencoba menenangkan diri. Ini hanya orang tua tersesat. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Tapi entah mengapa, sensasi tidak nyaman itu terus menempel. Aku meraih baki kecil, meletakkan segelas air dan beberapa kue kering yang tersisa di toples.
Saat kembali ke ruang tamu, sosok itu masih berdiri di tempat yang sama, membelakangiku. Ia tidak bergerak sedikit pun. Aku menaruh baki di meja kopi di depannya.
"Ini, Pak. Silakan diminum," kataku.
Sosok itu perlahan menoleh. Tudungnya sedikit bergeser, dan untuk pertama kalinya, aku bisa melihat sedikit dari wajahnya. Yang kulihat hanyalah kegelapan pekat di balik tudung. Tidak ada mata, tidak ada hidung, tidak ada bibir. Hanya kegelapan.
Jantungku serasa berhenti berdetak. Keringat dingin membasahi punggungku. Aku ingin berteriak, tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Kakiku terpaku di tempat. Aku mencoba melangkah mundur, tetapi tubuhku menolak bergerak.
Sosok itu mengulurkan tangan. Bukan tangan manusia. Jari-jarinya panjang, kurus, seperti ranting kering, dengan kuku yang hitam dan panjang melengkung. Tangan itu meraih gelas air.
"Terima kasih," bisiknya, suaranya kini terdengar seperti angin berdesir di antara tulang-tulang kering.
Ia memiringkan gelasnya. Aku menunggu, ngeri, melihatnya minum. Namun, air di gelas itu tidak berkurang. Ia hanya memiringkan gelasnya, dan air itu seolah lenyap ke dalam kegelapan di balik tudungnya. Seperti ada lubang hitam di sana.
"Saya sudah lama sekali tidak merasakan kesegaran seperti ini," lanjutnya, suaranya kini terdengar lebih jelas, namun tetap menyeramkan. "Sudah sangat, sangat lama."
Ia meletakkan kembali gelas kosong itu di baki. Kemudian, tangannya kembali terulur, kali ini ke arahku. Aku memejamkan mata, pasrah. Entah apa yang akan terjadi.
"Sebagai rasa terima kasih..." Suaranya melunak sedikit, namun tetap dingin. "...bolehkah saya meminta sesuatu lagi?"
Aku tidak menjawab. Tidak sanggup.
"Saya hanya ingin... sedikit darah," katanya.
Mataku terbelalak. Darah? Seketika, aku teringat cerita-cerita orang tua tentang makhluk halus yang haus darah di bulan puasa. Tubuhku menggigil hebat. Ini bukan orang tua tersesat. Ini... ini bukan manusia!
Aku mencoba berlari, tapi kakiku masih membeku. Sosok itu mulai mendekat, selangkah demi selangkah. Aroma melati layu semakin kuat, bercampur bau amis yang menusuk hidung.
"Jangan takut, Nak. Hanya sedikit saja," bisiknya, tangannya semakin dekat ke leherku.
Panik melanda. Aku melihat sekeliling, mencari apapun yang bisa kugunakan untuk membela diri. Mataku tertuju pada sebuah parang kecil di balik lemari pajangan. Parang yang biasa dipakai Ayah untuk memotong dahan pohon. Dengan sekuat tenaga, aku menghentakkan kakiku, membebaskan diri dari ketakutan yang mengikatku. Aku meraih parang itu, mencengkeramnya erat-erat.
"Jangan mendekat!" teriakku, suaraku serak karena ketakutan.
Sosok itu berhenti. Ia memiringkan kepalanya sedikit, seolah bingung. Tudungnya bergeser lagi, dan kali ini, aku melihat sepasang mata merah menyala di balik kegelapan. Mata itu menatapku tajam, tanpa emosi, hanya rasa lapar.
Aku mengayunkan parang itu tanpa berpikir panjang. Parang itu mengenai udara kosong. Sosok itu bergerak sangat cepat, menghilang dari pandanganku. Aku merasakan hembusan dingin di belakang leherku.
"Percuma, Nak," bisiknya dari belakang. "Kamu tidak bisa menyentuhku."
Aku berbalik dengan cepat, mengayunkan parang lagi. Kali ini, parang itu mengenai sesuatu. Bukan daging, bukan tulang, melainkan seperti kain tipis yang hancur. Dari balik tudung, aku mendengar suara mendesis pelan, seperti uap yang keluar dari bejana panas.
"Kamu punya nyali juga," katanya, suaranya kini dipenuhi nada terkejut, bercampur kemarahan. "Baiklah, akan kuambil sendiri."
Tiba-tiba, rumahku dipenuhi bau busuk yang menyengat, seperti bau bangkai yang membusuk. Aroma melati layu itu kini terasa memuakkan. Aku melihat sekeliling. Dinding-dinding rumahku seolah melengkung, bayangan-bayangan menari-nari di setiap sudut. Lampu remang-remang itu berkedip-kedip, hampir padam.
Sosok itu kini tidak lagi mengenakan tudung. Wujud aslinya terungkap. Tubuh kurus keriput, kulit pucat kebiruan, mata merah menyala, dan mulut yang dipenuhi gigi taring runcing. Ia bukan sekadar hantu, ini... ini adalah kuntilanak! Tapi bukan kuntilanak biasa. Kuntilanak ini berwujud laki-laki, dengan jubah hitam compang-camping dan aura dingin yang menusuk.
Ia melesat ke arahku. Aku mengangkat parang, berharap bisa melukainya. Tapi ia terlalu cepat. Cakar panjangnya menggores lenganku. Aku menjerit kesakitan. Darah mulai menetes dari lukaku.
Aroma darahku seolah membangkitkan nafsu buasnya. Ia menyeringai, menunjukkan gigi-gigi taringnya. "Manis sekali..." desisnya.
Tiba-tiba, suara azan Subuh berkumandang dari masjid terdekat. Suara azan itu menembus keheningan malam, bergema di seluruh Payakumbuh.
Sosok kuntilanak jantan itu terkesiap. Wajahnya yang menyeramkan menunjukkan ekspresi kesakitan. Ia mundur selangkah demi selangkah, mencengkeram kepalanya. Asap tipis mulai keluar dari tubuhnya yang keriput.
"Tidak... tidak!" desisnya, suaranya melemah. "Azan! Aku membencinya!"
Ia mencoba melarikan diri, tubuhnya mulai memudar. Aku melihatnya terhuyung-huyung ke arah pintu, wujudnya semakin transparan. Ketika azan mencapai puncaknya, sosok itu benar-benar lenyap, hanya menyisakan bau busuk dan aroma melati layu yang perlahan memudar.
Aku terduduk lemas di lantai, napas terengah-engah. Lenganku perih, darah masih menetes. Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Kuntilanak jantan? Di rumahku sendiri?
Aku mencoba menenangkan diri. Lalu, aku teringat sesuatu. Saat ia mengatakan, "Sudah sangat, sangat lama tidak merasakan kesegaran ini." Aku ingat cerita Nenek tentang makhluk halus yang terperangkap dan haus di bulan puasa. Makhluk itu akan mencari mangsa yang lengah di tengah malam. Tapi yang lebih penting, ia sempat menyebutkan tentang "darah".
Aku memegangi lengan yang berdarah. Darah ini... Darah ini adalah darahku. Darah yang ia inginkan.
Kemudian, sebuah pikiran menyeruak di benakku, membuatku merinding lagi. Tangan yang meraih gelas air tadi. Jari-jari panjang, kurus, dengan kuku yang hitam dan panjang melengkung. Itu... itu adalah tangan milikku! Aku melihat tanganku sendiri. Sama persis.
Aku menoleh ke arah meja kopi. Gelas yang tadi dipegang sosok itu kini tergeletak miring. Di bibir gelas, ada bercak merah samar. Bercak darah.
Plot twist-nya terbentang di depanku, mengerikan.
Aku tidak pernah melihat kuntilanak jantan itu. Ia adalah refleksiku sendiri, yang terperangkap dalam manifestasi ketakutan dan kekosongan akibat puasa yang terlalu ekstrem dan kurangnya istirahat. Sosok yang haus darah itu adalah bayangan gelap dari keinginanku yang paling dasar dan tersembunyi—lapar dan haus yang memuncak. Aroma melati layu? Itu adalah aroma dari bunga kamboja yang kutanam di depan rumah, yang baunya memang tercium lebih kuat di malam hari. Bau busuk? Itu adalah bau kotoran anjing yang belum sempat kubersihkan tadi sore.
Semua interaksi, semua dialog, semua kengerian itu, adalah dialog internal antara diriku yang lelah dan diriku yang mulai berhalusinasi akibat dehidrasi dan kurang tidur. Darah yang ia minta adalah darah dari lukaku sendiri, yang secara tidak sengaja tergores saat aku panik mengayunkan parang. Parang itu tidak mengenai siapa-siapa, hanya udara, dan menggores tanganku sendiri.
Aku menatap pantulan diriku di jendela yang gelap. Wajahku pucat, mata cekung, dan senyum tipis terukir di bibirku. Senyum itu bukan senyum lega, melainkan senyum miris dari seseorang yang baru saja menghadapi ketakutan terbesarnya: dirinya sendiri.
Ketika azan Subuh berkumandang, itu bukan karena ia takut pada suara azan, melainkan karena suara azan itu adalah pengingat bahwa saatnya sahur, saatnya membatalkan puasa yang membuatku begitu rentan. Saatnya memberi makan tubuh yang lelah, dan menenangkan pikiran yang kalut.
Malam itu, aku tidak hanya bertemu tamu tengah malam, aku bertemu dengan sisi gelap diriku sendiri. Dan ketakutan terbesar bukanlah makhluk gaib, melainkan ilusi yang diciptakan oleh pikiran yang terlalu lelah. Aku membasuh luka di lenganku, lalu bergegas ke dapur. Sekarang, aku benar-benar butuh minum. Dan mungkin, tidur yang sangat nyenyak setelah sahur.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments