Menghisap manisnya filter rokok miliknya, Bryan menghirup dalam, dan menghembuskan kepulan asap ke udara. Melampiaskan perasaan kesalnya, Bryan masih setia dengan rokok di sela-sela jarinya, sejak Shea pergi keluar dari apartemen.
Bryan masih memandangi pintu, di mana Shea tadi pergi begitu saja dari apartemennya. Rasanya sedikit menggelitik pikiran Bryan, saat Shea tidak mau menerima cek darinya, dan malah merobeknya.
Dalam hati Bryan, dia sedikit tertarik dengan keberanian Shea, yang melawannya. Rasanya adrenalinnya terpacu mengingat kembali kenikmatan yang dia dapati dari Shea.
Namun, bagi Bryan, yang sudah berpuluh kali mengenal wanita. Dia hapal betul, bahwa wanita seperti Shea akan merasa jual mahal di awal saja. Karena pada akhirnya, dia akan bertekuk lutut padanya.
Saat Bryan sedang menikmati rokoknya, dia mendengar pintu apartemennya terbuka. Dan dirinya sudah bisa menebak siapa yang datang.
"Hai," sapa Felix yang baru saja masuk.
Tebakan Bryan tepat, karena hanya Felix lah yang tahu akses masuk ke apartemennya. Asisten dan temannya ini adalah orang yang paling dekat dengannya. Bagi Bryan, Felix sudah seperti saudara. Umurnya yang sama dengannya yaitu 25 tahun, membuatnya sama-sama menikmati hidup dengan cara mereka yang sama.
Bermain dengan wanita adalah kenikmatan bagi mereka berdua. Tapi mungkin Bryan lebih gila di banding Felix, karena Bryan bisa meninggalkan pekerjaannya demi mencari kenikmatan duniawinya.
"Maaf, wanita yang aku kirim tidak bisa datang." Felix seraya mendudukkan tubuhnya di atas sofa, tepat di hadapan Bryan.
"Dia sudah datang tadi ke sini," ucap Bryan di iringi tawa. Bryan masih merasakan senangnya mengingat menikmati tubuh Shea.
"Oh ya, aku pikir dia tidak datang. Karena tadi dia menghubungiku bahwa dia tidak datang." Felix sedikit bingung, karena dengan jelas tadi wanita yang di pesannya, menghubunginya tidak bisa datang.
"Mungkin saja tadi dia berubah pikiran, dan memutuskan datang ke sini," ucap Bryan, "lalu untuk apa kamu kemari?" tanya Bryan kembali.
"Aku mau bertemu sekretaris Regan disini," ucap Felix seraya menempelkan ponselnya, mencoba menghubungi Shea.
"Untuk apa sekretaris Regan kemari, bukannya tadi kamu sudah bertemu dengannya."
"Tadi ada berkas yang lupa di bawa sekretaris Regan, dan saat tadi dia menghubungiku, aku masih bersama Angel. Jadi ku suruh dia kemari." Felix masih saja terus mencoba menghubungi Shea. "Kenapa teleponku tidak di angkat," gerutu Felix.
"Mungkin dia sedang dalam perjalanan kemari."
"Mungkin." Akhirnya Felix menghentikan diri untuk menghubungi Shea. Felix langsung meletakkan ponselnya di atas meja, tapi sayangnya saat dia belum sempurna meletakkannya, ponselnya terjatuh ke samping meja.
Tangan Felix langsung meraih ponselnya yang terjatuh. Tapi matanya menajam saat melihat map terjatuh di samping meja, tepat di bawah ponselnya.
Felix mengambil ponsel sekaligus map yang tergeletak di lantai. "Map apa ini?" tanya Felix pada Bryan.
Bryan memperhatikan map yang di tunjukan oleh Felix. Dia mencoba mengingat map apa itu. Tapi sejenak dia mengingat bahwa map itu di bawa oleh Shea. "Oh ... itu map yang di bawa wanita tadi." Bryan yang masih menikmati rokoknya, menghembuskan asap rokoknya ke udara.
Felix menautkan kedua alisnya, mendengar ucapan Bryan. "Untuk apa dia membawa map, kamu pikir dia sedang ingin melamar kerja," cibir Felix.
Bryan langsung tergelak, saat mendengar ucapan Felix. "Iya, melamar menjadi wanitaku." Bryan masih berucap disertai tawa.
Felix hanya memutar bola matanya malas, mendengar ocehan tidak bermutu dari Bryan. Dirinya langsung beralih pada map yang di pegangnya. Rasa penasaran membuatnya ingin melihat apa isi map itu.
Kedua mata Felix membulat sempurna, saat membaca berkas apa yang terdapat dalam map. "Ini data penjualan Maxton Company," ucap Felix menatap tajam pada Bryan.
"Lalu?"
Felix semakin menajam saat menatap Bryan. "Kamu bilang lalu?" tanya Felix yang masih tidak habis pikir Bryan. "Bagaimana berkas ini sampai disini?"
"Tadi sudah aku bilang bukan, wanita yang kamu kirim yang membawanya," ucap Bryan menjelaskan kembali.
Felix masih mencerna dengan baik ucapan Bryan. Dan sebaliknya, Bryan yang baru saja menjelaskan, bahwa berkas yang di tangan Felix adalah berkas yang di bawa Shea, memahami kembali ucapannya.
"Kalau berkas ini yang di bawa wanita yang kamu masud, berarti wanita itu adalah sekretaris Regan." Felix lebih dulu menemukan jawaban dari ucapan Bryan.
Bryan langsung tersentak, saat mendengar bahwa wanita yang dia tiduri tadi adalah sekertaris Regan.
"Apa kamu tadi bertanya namanya?" tanya Felix. Felix benar-benar berharap bahwa dugaannya salah, kalau Shea lah yang datang berkas ini.
"Shea, namanya Shea." Bryan mengingat kembali nama wanita yang baru saja dia nikmati tubuhnya.
Tubuh Felix melemas mendengar nama Shea di sebut oleh Bryan. Dia tidak tahu bagaimana bisa Bryan mengira Shea adalah wanita yang di kirimnya. "Apa kamu tidak bertanya terlebih dahulu padanya?" Felix masih berusaha mencecar Bryan.
Bryan mengingat apa dirinya bertanya atau tidak. "Dia bilang, diminta oleh dirimu, kemari."
Felix benar-benar sudah kehilangan kesabarannya bertanya dengan Bryan. Rasanya Tuhan begitu adil menciptakan pria tampan di hadapannya, tapi begitu bodoh, setidaknya Bryan punya kekurangan dalam dirinya. "Maksudku, apa dia tidak menjelaskan tentang berkas ini?" tanya Felix seraya menunjukan berkas yang pegangnya.
Rasanya Bryan malas sekali mengingat sesuatu yang tidak penting. Yang dia ingat adalah hanya kenikmatan yang tadi dia dapatkan. Akan tetapi saat melihat tatapan tajam Felix, mau tidak mau dirinya mengingat.
Bryan mencoba mengingat, dan ingatannya sampai di saat Shea ingin pergi dari apartemennya dan mengatakan bahwa dirinya hanya mengantar berkas. "Ada, dia mengatakan itu."
"Lalu kenapa kamu tidak tahu, saat aku bertanya berkas ini?"
"Aku tadi terlalu bernapsu, jadi aku tidak terpikir."
"Apa kamu meniduri Shea?" tanya Felix begitu kaget.
"Lebih tepatnya aku memperkosanya, karena tadi dia menolak."
"Apa kamu gila? Apa kamu tidak tahu dia sekertaris Regan?" Felix masih tidak habis pikir bahwa Bryan meniduri Shea.
"Mana aku tahu. Yang aku tahu dia datang karena dirimu, jadi aku pikir dia datang memang hanya untuk ditiduri."
Felix memijat keningnya, rasanya kepalanya berdenyut, saat mendapati Bryan dengan santainya menjawab bahwa dia sudah meniduri Shea.
"Tapi harusnya kamu mengkonfirmasi dulu. Kamu tahu bukan sekarang bahwa dia sekretaris Regan, dan sekarang apa yang harus kita lakukan?"
"Kenapa harus susah-susah. Dia hanya sekretaris bukan? Tinggal berikan saja dia uang, dan dia akan tutup mulut."
"Apa kamu yakin dia mau?" tanya Felix.
Bryan membeku mendapatkan pertanyaan dari Felix. Dirinya mengingat bahwa Shea tadi merobek cek darinya. "Kamu atur saja, dan pastikan dia tutup mulut."
Felix hanya bisa pasrah saat mendengar ucapan dari Bryan. Sebagai atasannya, Bryan begitu menyebalkan, karena dalam situasi bersalah, dia melemparkan tanggung jawab menyelesaikan padanya. "Baiklah, aku akan mencoba menemuinya.
"Besok jam berapa aku berangkat?" Bryan mengingat perjalanannya ke luar negeri.
"Besok pagi jam tujuh... dan pastikan kamu tidak terlambat!" Felix memberikan peringatan keras pada Bryan.
"Iya," jawab Bryan malas. "Pastikan ada wanita selama aku di sana sebulan. Aku pasti akan sangat bosan di sana," ucapnya melanjutkan ucapannya.
Felix hanya bisa menghela napasnya. Mengenal Bryan sudah membuatnya tahu, bahwa membuat Bryan fokus pada pekerjaan adalah hal paling sulit.
**
Shea yang keluar dengan gontai, dari apartemen Bryan. Dengan menahan rasa sakit hati dan sakit di bagian bawah, Shea kembali ke rumahnya.
Menaiki taxi, Shea menuju rumahnya. Air mata yang masih tersisa, masih mengalir di pipinya. Sepanjang di dalam taxi, Shea masih meratapi nasibnya, yang menerima kejadian menyakitkan ini.
Entah dirinya harus menyalahkan siapa atas kejadian yang menimpanya. Regan yang memintanya mengantar berkas, atau dirinya yang menerima tawaran untuk masuk ke dalam apartemen Bryan.
Namun, semua sudah terjadi, dan tak bisa lagi dia hindari. hanya penyesalan saja yang tersisa, dalam dirinya.
Sesampainya di rumah, Shea langsung menganti baju yang di kenakannya. Rasanya dia benar-benar jijik melihat baju yang dia kenakan. Dirinya nampak seperti wanita murahan, saat memakai pakaian yang minim itu.
Saat Shea menganti bajunya, tampak tanda merah menghiasi tubuhnya. Melihat tubuhnya, rasanya Shea benci sekali dengan tubuhnya. Tubuh yang orang bilang indah, ternyata membuat pria itu menyakitinya.
Shea merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, sesaat setelah dirinya menganti bajunya. Matanya menatap kosong pada langit-langit kamarnya. Bayang-bayang kejadian tadi masih tergambar diingatannya dengan baik. Tidak ada yang keluarga, membuatnya tidak ada tempat bersandar di saat seperti ini.
Harapannya seketika hancur berkeping-keping. Andai masih ada orang tuanya, pastilah mereka akan sangat kecewa dengan Shea yang telah membuat malu mereka. Tetapi walaupun tidak adanya orang tua, tetap saja dirinya malu dengan semua yang terjadi padanya.
Shea meraba tubuhnya, seakan mengingat perlakuan kasar dari Bryan yang menyakitkan. Dilihatnya pergelangan tangannya, dan mendapati jejak merah yang membekas menyisakan sakit. Akan tetapi mungkin sakitnya, tidak akan lebih sakit dari bagian bawah miliknya.
Saat mengingat sakit yang di rasakan olehnya, kebencian pada Bryan kembali muncul. Ingin rasanya dia melaporkan Bryan, dan membawa kasus ini ke meja hijau. Tapi dia mengingat ucapan Bryan, bahwa dia bisa membayar pengadilan untuk memenangkan kasus ini. Usahanya akan sia-sia saja, jika dia tetap berusaha melawan Bryan. Dengan muda Bryan akan membuat dirinya seolah tidak bersalah, mengingat dirinyalah yang datang ke apartemen Bryan.
Pikirannya yang begitu dipenuhi kesedihan, akhirnya mengantarkannya memejamkan matanya. Rasa lelah yang masih begitu mendera, membuatnya seketika terbawa ke dalam alam mimpi.
**
Keesokan paginya, Shea bangun dan bersiap ke kantor. Sebenarnya dia masih ingin di rumah, tapi mengingat tanggung jawabnya, dia tidak mau mengecewakan. Shea ingat betul bahwa masuk ke Maxton Company, adalah impiannya, dan dia tidak mau menyianyiakan kesempatan ini.
Mencoba bersemangat, Shea menuju ke halte bus. Dengan berjejalan di dalam bus, Shea menuju ke kantornya. Sesampainya di kantor, Shea langsung menuju ke meja kerjanya. Menyalakan laptopnya, memulai aktifitasnya.
Tapi pikirannya tetap kosong, fokusnya beralih pada kejadian demi kejadian yang menimpa dirinya. Bayangan-bayangan itu belum bisa hilang sama sekali dari ingatannya.
"Pagi," sapa Regan yang baru saja datang. Saat keluar dari lift, Regan melihat Shea yang melamun. Biasanya Shea akan menyapanya terlebih dahulu padanya, tapi sampai saat langkahnya sampai di dekat meja Shea, wanita itu tidak menyadari sama sekali. Akhirnya Regan menyapa Shea lebih dulu.
Shea tersentak saat mendengar seseorang menyapanya. Dirinya langsung menengadah melihat ke arah orang yang menyapanya. Mata yang mengecil akibat menangis semalam, seketika membulat sempurna menampilkan pupilnya, saat melihat Regan lah yang di hadapannya. "Pagi, Pak," sapa Shea.
Regan menatap tajam pada Shea. Dalam hatinya, berpikir ada yang nampak berbeda dari Shea. Mata Shea yang biasanya nampak indah, terlihat mengecil. Terlihat matanya sembab, dan Regan yakin itu karena menangis. "Apa kamu baik-baik saja?" Suara Regan terdengar datar, tapi penuh penekanan.
Menyadari bahwa Regan memperhatikannya, Shea langsung menundukkan pandangannya, menyembunyikan matanya yang sembab. "Saya baik-baik saja, Pak," ucap Shea seraya menundukkan pandangan.
Regan bukan tipe orang yang suka memaksa. Saat dia mendapati bahwa Shea tidak mau mengatakan apa-apa, dia tidak mendesak, dan memaksa. "Baiklah, kalau begitu bacakan jadwalku," ucap Regan.
"Baik, Pak." Shea langsung mengekor, mengikuti Regan masuk ke dalam ruangan Regan.
Berdiri di samping meja kerja Regan, Shea membacakan jadwal Regan. Shea masih menundukkan pandangannya, agar Regan tidak melihat matanya.
Ingin rasanya dia mengatakan pada Regan apa yang menimpa dirinya, tapi mungkin percuma jika dia mengatakan pada Regan, mengingat Bryan adalah adik iparnya.
"Apa kamu sudah antar berkas pada pihak Adion Company?" tanya Regan.
Saat di tanya tentang berkas yang harus di antarnya ke Adion Company, dirinya mengingat bahwa Bryan tidak menanggapi sama sekali berkas yang dia berikan. Bryan malah sibuk dengan dirinya. "Sudah, Pak?" Shea hanya berharap Bryan akan melihat berkas yang di bawanya.
Regan yang mendengar jawaban Shea, tergerak untuk menatap Shea. Regan melihat dengan jelas, bahwa Shea masih menunduk. Dalam hatinya masih bertanya, apa yang terjadi pada sekretarisnya itu.
Saat mata Regan memperhatikan Shea, matanya menajam saat melihat tanda merah yang berada di leher Shea. Sebagai seorang pria, di tahu bahwa itu adalah bekas kecupan, karena dirinya biasa melakukannya pada Selly.
Namun, Regan memutar ingatannya, kemarin Shea mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki kekasih. Siapa yang mengecup Shea dan meninggalkan bekas, batin Regan.
"Apa ada lagi, Pak?" tanya Shea pada Regan.
Regan yang sibuk dengan pikirannya tersentak, saat mendapatkan pertanyaan dari Shea. "Tidak."
"Baiklah, saya permisi." Shea berlalu sesaat setelah meminta izin.
Regan masih memandang Shea, hingga Shea hilang dari pandangannya, hilang di balik pintu. "Aku rasa ada yang terjadi padanya."
.
.
.
.
Terimakasih sudah membaca.
Jangan lupa like ya☺️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
gia nasgia
semangat Mom shea 💪
2024-03-03
0
Aidah Djafar
moga Regen segera tau yg di lakukan Bryan pda She🤔
2023-02-20
0
Reza Indra
Semoga masalah shea d ketahui oleh Regan & isterinya..
2022-12-25
0