Saat di bangku sekolah menengah pertama, Ari dibawa bapak
ibunya ke klinik psikiatri. Bapak ibunya ingin Ari seperti anak normal lainnya.
Mereka tidak mau Ari keseringan melamun, suka bicara sendiri dan diam-diam menumpuk
gambar-gambar hantunya berkardus-kardus. Di depan meja dokter, bapak dan ibu Ari
mendengarkan dengan seksama penjelasan dari dokter. Ari menderita attention-deficit
/ hyperactivity disorder atau gangguan pemusatan perhatian. Wajah orang tua Ari
jadi tegang.
“Penyakit ini umum Pak buat anak-anak,” kata dokter
menenangkan. “Saya sarankan anak Bapak ikut terapi. Dari sana, bertahap kita
akan diagnosa. Apa ada unsur halusinasi atau skizofrenia. Yang penting Bapak
dan Ibu harus sabar menghadapinya. Karena semuanya butuh proses.”
Ari duduk sendiri menunggu di lorong klinik psikiatri. Dari
tadi dia bisa mendengar perkataan dokter dari dalam ruangan. Tempat duduk Ari
tidak jauh dari pintu ruangan dokter yang setengah terbuka. Sampai ada suster
dari dalam menutup pintunya. Sebenarnya Ari tidak begitu mengerti apa yang
dikatakan dokter. Atau tidak terlalu peduli. Karena saat ini perhatiannya
mengarah ke ujung lorong. Kadang Ari mendengar ada suara mendesis.
Seorang suster keluar dari ruangan dokter. “Dik nunggunya di
depan aja ya, di lobby sana,” kata suster itu ke Ari sopan. Dia menunjuk ke
ujung lorong. Dari tadi memang Ari disuruh untuk menunggu di lobby. Tapi saat
datang lewat lobby dia sudah merasa tidak enak. Sebenarnya dia sudah biasa
dengan perasaan seperti itu. Tapi yang di lobby itu lain.
Ari berjalan di lorong menuju lobby bersama suster yang
membawa berkas-berkas di sebelahnya. Baru beberapa langkah, Ari tertahan. Suara
mendesis itu bertambah jelas. Dan Ari harus menahan rasa terkejutnya saat dia
lihat seekor ular berwarna hitam melewatinya di pinggir lorong.
“Ada apa Dik?” suster di sebelah Ari bertanya.
Ari masih bengong.
”Nggak apa-apa, tenang, ayo saya anter ke lobby,” Sepertinya
suster itu sudah biasa menangani pasien sakit jiwa. Dia memegang lengan Ari dan
menemaninya berjalan ke lobby. Perasaan Ari semakin tidak enak. Lobby itu sudah
dekat.
Ari disuruh duduk di salah satu bangku panjang. Sementara
suster itu menuju ke tempat informasi mengurus berkas-berkas. Suara mendesis
itu semakin jelas terdengar di telinga Ari. Kali ini saling bersahutan.
Suaranya dari arah kolam kecil di bawah tangga. Lama-lama dia lihat ada wajah
perempuan di situ. Posisi duduk Ari makin tegang. Muka perempuan itu makin
jelas. Perempuan masih muda tapi lidahnya menjulur-julur bercabang seperti
ular. Di pipinya ada terlihat seperti sisik. Belum lama Ari berkecamuk dengan
ketegangannya, dua orang pasien datang ke lobby. Seorang ibu dan seorang anak
perempuan seumurannya. Anak itu disuruh ibunya duduk di bangku panjang tepat di
depan Ari. Ari melihat dari tadi muka anak perempuan itu begitu tegang.
“Kamu duduk sini dulu, mama tanya ke informasi dulu,” kata
ibu itu sembari menaruh tasnya di bangku.
“Mama mau ke mana?” tampaknya anak perempuan itu tidak mau
ditinggal.
“Sebentar, mama ke situ dulu,” si ibu menunjuk ke arah informasi. Lalu dia berjalan ke sana
meninggalkan anaknya.
Anak itu kini sendiri duduk di depan Ari. Beberapa kali dia
melirik ke arah kolam kecil. Beberapa kali dia membuang pandangannya ke bawah
sambil meremas ujung roknya. Ari mencoba melihat lagi ke arah kolam. Sosok
perempuan itu semakin jelas. Bukan cuma wajahnya. Tetapi juga badannya.
Badannya ular panjang melingkar. Semakin Ari perhatikan, semakin Ari bisa
melihat ada sosok perempuan lagi di belakangnya. Perempuan memakai baju seperti
ratu jawa jaman dulu. Di kakinya banyak ular berwarna hitam melata saling
tumpang tindih. Anak perempuan di depan Ari semakin tegang. Dia mulai
memejamkan matanya. Ari bisa melihat gemetar tangannya. Spontan Ari mengeluarkan
buku kecil dan pensil dari tasnya. Lalu dia bergerak dan duduk tepat di sebelah
anak perempuan itu. Anak itu heran memandang Ari. Tapi Ari tidak peduli. Dia
membuka buku kecilnya dan mulai menggambar apa yang dilihatnya di kolam itu.
Anak perempuan itu mulai memperhatikan kertas di tangan Ari. Dan Ari tidak
berhenti menggerakkan pensilnya. Anak perempuan itu menggeser duduknya hingga
berdekatan dengan Ari. Perhatiannya kini penuh tertuju pada gambar yang Ari
buat. Gambar apa yang mereka lihat di kolam kecil di bawah tangga.
Gambar itu nyaris selesai sampai Ari sadar ibu anak
perempuan itu sedang menuju ke arah mereka sambil bicara di ponselnya.
Cepat-cepat Ari sobek lembar kertas yang digambarnya. Dia berikan gambar itu
pada anak perempuan di sebelahnya. Lalu Ari bergegas menuju bangku yang tadi
dia duduki.
“Ini anak yang konsultasi di sini juga?” ibu anak perempuan
itu memandang ke Ari. Nada suaranya seperti wanita intelek. Ari menangguk pelan
karena sepertinya ibu itu menunggu jawabannya.
“Ayo Tata, itu dokternya sudah datang,” Ibu itu mengajak
anaknya sambil mengambil tasnya di bangku.
Lalu Ibu dan anaknya itu berjalan menuju lorong. Sebentar
anak perempuan itu menengok ke Ari. Sebentar Ari dan anak itu saling
berpandangan. Hanya sebentar. Dan Ari tidak melepas pandangannya pada anak itu
saat berjalan di sebelah ibunya. Lipatan gambar Ari masih di genggamannya. Sampai
mereka masuk ke sebuah ruangan. Ari masih memandangi lorong yang kosong itu.
Anak perempuan itu namanya Tata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Novianti Marantika
masih nyimak dulu
2022-03-24
0
ƓáɓɓřįáÎexxa Ɲáşƴăvą Ȥ.
jago gmbar nih si ari👀
2021-07-18
0
Suryatina Handayani
wuuiihhh...ketemu teman satu dimensi nihh bisa tukar cerita dongg soal hal2 yg gaib sm Tata.
2021-07-16
0