Surya yang masih berada di ruangan pak Andik. Tak mampu berkata-kata. Tenggorokannya terasa kering kerontang seperti sudah tak mampu menelan ludahnya. Dia bimbang antara menerima atau menolak.
"Janji itu bagaikan hutang yang harus ditepati , maukah kamu menerima pelunasan hutang dariku?" ucap pak Andik dengan wajah penuh harap Surya menerima perjodohan ini.
"Tapi, Pak ! Anda baru saja mengenalku. Bagaimana bisa anda langsung memutuskan secara sepihak. Apakah anak anda setuju, dan bagaimana dengan perasaan anggota keluarga anda yang lain?" tanya Surya seraya mencari cara agar tidak menyinggung perasaan pak Andik.
"Jangan khawatir, saya adalah kepala keluarga dimana setiap keputusan yang saya ambil tidak bisa diganggu gugat. Anak saya pasti menurut dengan permintaan saya." jelas pak Andik.
"Saya tahu, kamu adalah pemuda yang baik, tidak salah pak Heru menjodohkan anaknya dengan anakku." batin pak Andik.
"Tapi saya belum mendapatkan pekerjaan yang layak untuk modal saya dalam berumah tangga. Bagaimana bisa saya menghidupi anak Bapak nanti." jelas Surya.
"Kamu tenang saja, aset perusahaan ini dulu aku dan ayahmu adalah pemiliknya. Karena dia pergi ke luar kota dan tak pernah kembali. Akhirnya aku mengelola sendiri dan kamu bisa melihat sendiri sekarang wujud perusahaan ini." kata pak Andik sambil merentangkan tangan memperlihatkan kekuasaannya saat ini.
"Tidak Pak, saya tidak ingin mengambil yang bukan hak saya. Saya ingin mendapatkan penghasilan dari keringat saya sendiri." ucap Surya penuh penekanan.
"Kalau hal seperti itu bisa diatur. Bagaimana keputusanmu?" tanya pak Andik mendesak Surya, dia kebingungan sendiri untuk menolak.
" Beri saya waktu, saya ingin meminta izin pada ibu saya terlebih dahulu. Saya tidak ingin mengecewakan perasaan ibu saya jika saya memutuskan sendiri tanpa bertanya dulu pada beliau." jawab Surya.
"Oh iya, bagaimana kabar ibumu? Terakhir bertemu saat dia mengandung adikmu." tanya pak Andik seraya mengangkat gagang telepon hendak memanggil sekretarisnya.
"Alhamdulillah, ibu saya sehat." jawab Surya singkat. Dia bisa sedikit mengulur waktu. Jujur dia masih belum ingin menikah muda, ia ingin berkarir dulu.
"Dia sibuk apa sekarang? Bekerja di mana?" tanya pak Andik lagi.
" Ibu bekerja sebagai pembantu di komplek dekat tempat tinggal kami ."
"Sedangkan adik kamu?" tanya pak Andik.
"Masih sekolah di tingkat menengah pertama, Pak." sahut Surya.
"Tolong bawa uang yang saya minta tadi ke kantor saya!" ucap pak Andik kepada sekretarisnya saat sambungan telepon terhubung.
Tak lama kemudian sekretaris yang sama dengan wanita yang membawakan kopi tadi masuk.
"Ini Pak." Sekretaris menyerahkan uang tunai lalu pergi meninggalkan ruangan pak Andik.
"Ini Surya, uang yang saya pinjam untuk membayar taksi tadi." seraya menyerahkan uang sepuluh lembar seratus ribuan dan menjejernya di atas meja. Surya menatap uang yang banyak itu.
"Ini terlalu banyak Pak, tadi hanya seratus lima puluh ribu saja." ucap Surya yang masih binggung menatap uang itu, dengan sejumlah sebanyak itu untuk apa diberikan padanya.
"Iya, sisanya kamu berikan pada ibu dan adik kamu."
"Tapi, Pak, ini jumlah uang yang sangat banyak."
"Sudahlah ambil! " pak Andik mengambil uang di atas meja dan meletakkan uang itu dengan paksa di tangan Surya.
"Dan ini kartu nama saya. Dan jangan lupa kabari saya secepatnya. Karena saya tidak sabar menunggu lagi. Agar pak Heru tenang di alam sana. Kamu jangan lama -lama mengambil keputusan!" pinta pak Andik seraya menepuk pundak Surya. Surya menerima kartu itu dan menyimpan di saku kemejanya.
"Iya Pak, terimakasih. Saya akan berunding dulu dengan ibu." ucap Surya seraya menerima dengan paksa.
" Saya pamit dulu ,Pak!" surya mengundurkan diri setelah menundukkan kepala tanda hormat dia beranjak dari kursi.
" Iya, hati-hati di jalan dan terimakasih atas bantuannya tadi." ucap pak Andik.
Surya menuju parkiran, mengenakan jaket dan memakai helm di kepalanya. Segera dia menyalakan mesin motornya.
"Masalah dengan Tika saja belum selesai , malah ketambahan masalah harus menikahi anak orang yang belum tahu seperti apa orangnya." batin Surya, dia pulang dengan perasaan bimbang dan ragu-ragu .
"Nanti malam coba aku sholat istikharah, dengan begitu aku bisa memilih antara menerima atau menolak." batin Surya lagi.
***
Malam hari saat di rumah Surya
"Bu, tadi sore aku bertemu dengan pak Andik. Apa ibu pernah mendengar namanya?" tanya Surya memulai obrolan dengan ibunya setelah selesai makan malam bersama.
"Pak Andik...!"ucap ibu Surya yang memiliki nama Desy seraya mengingat masa lalu.
"Teman lama ayah sebelum ayah pindah ke kota." lanjut Surya memberi keterangan.
"Tentu, ibu ingat bahkan beliau yang membelikan sepatu kamu saat kamu masih SD . Ada apa tiba-tiba kamu menanyakan beliau?" tanya ibu Desy heran, lantaran sudah hampir 10 tahun yang lalu mereka terakhir bertemu.
" Tadi di jalan aku menolongnya karena beliau tidak membawa dompet untuk membayar taksi ." jelas Surya seraya mengeluarkan uang satu juta dari dompetnya.
"Apa ini, Surya. Kamu menerima imbalan sebanyak ini. " bu Desi menatap tajam ke arah Surya, "Walaupun kita miskin kita punya harga diri Nak, kamu tidak boleh bersikap seperti itu. Kembalikan uang itu besok!" kata ibunya sedikit tersinggung lantaran Surya mendapat imbalan sebanyak itu.
"Bu, awalnya aku menolak. Kata pak Andik tadi sisa uang buat membayar taksi suruh memberikan pada ibu dan Anis." jelas Surya. Ibunya bengong, meski mau mengakui uang itu memang sangat diperlukan tapi ibunya menjaga harga diri.
"Uang ini, buat aku ya Mas!" Anis meraih uang itu sambil tersenyum lebar seraya membereskan meja makan.
Ibu Desy menitikkan air mata, Surya berdiri lalu merangkul ibunya.
"Bu, aku juga mengerti perasaan ibu saat ini. Anggap saja ini rejeki buat ibu untuk biaya sekolah Anis." bujuk Surya, dia tahu bahwa pekerjaan ibunya tidak akan mungkin dalam satu bulan bisa mendapatkan uang sebanyak yang Surya peroleh dari pak Andik.
"Maafkan ibu Nak, seharusnya kamu bisa hidup bahagia seperti teman-temanmu yang lain, bisa tinggal di tempat mewah dan makan enak." ucap ibunya sedih.
"Surya bahagia Bu...bisa di besarkan dengan kasih sayang meski tanpa seorang ayah. Hidup sederhana memang lebih baik untukku." ucap Surya lalu mencium kening ibunya.
"Ada hal yang ingin Surya sampaikan ke Ibu." Surya memberanikan diri untuk mengutarakan maksud hatinya. Dia menghapus air mata di pipi ibunya.
"Apa?" ucap ibunya seraya menyeka sisa air matanya.
"Begini Bu, dulu almarhum ayah dan pak Andik pernah berjanji." Surya menghentikan ucapannya lalu menarik kursi dan duduk berhadapan dengan ibunya seraya menggenggam erat tangan ibunya.
"Janji apa?" tanya bu Desy penasaran.
"Ibu kan tahu, kalau kita berjanji harus ditepati bukan?"ucap Surya dengan harapan ibunya tidak kaget. Dia memulai dengan sedikit takut juga kalau ibunya marah.
"Benar, itu yang selalu ibu ajarkan padamu dan adikmu. Janji adalah hutang, selama kita hidup dan sebelum janji itu dilunasi hidup kita tak akan menjadi tenang." jelas ibunya.
"Janji itu adalah menikahkan aku dengan anak beliau Bu..." Surya lega bisa menyampaikan amanat pak Andik sore tadi.
"Apa , menikah!" ibunya terperanjat lalu berdiri dengan tanpa sengaja kursi yang dia duduki terbalik.
Surya hanya mengangguk dan tak berani berkata lagi.
***
"Papa, aku sudah punya pacar dan aku tidak ingin di jodohkan. Aku bukan anak kecil lagi. Aku bisa memilih siapa calon suamiku nanti. Aku ingin berkarir dulu." ucap Tika dengan nada tinggi menolak permintaan pak Andik.
"Terserah, papa tidak peduli. Jika kamu tidak menerima perjodohan ini jangan harap kamu bisa mendapatkan harta warisan papa. Dan semua aset perusahaan tidak akan pernah bisa kamu nikmati. Akan papa coret kamu dari daftar keluarga ini. Kartu ATM kamu akan papa blokir. Tidak mendapat jatah bulanan dan jangan injakkan kaki lagi di rumah ini." Ancam pak Andik tegas dan sambil menatap tajam ke arah Tika, ancaman ini bisa saja menaklukkan Tika yang manja dan matre itu.
Tika menangis sejadi-jadinya. Suasana di ruang keluarga memanas. Ibu Tasya tidak mampu berbuat apa -apa. Tika berlari ke dapur dan kembali dengan membawa sebilah pisau.
"Aku tidak mau dijodohkan Pa, daripada aku menikah dengan pilihan Papa lebih baik aku bunuh diri saja." ucap Tika mengancam seraya melekatkan pisau di pergelangan tangan kirinya.
"Jangan Tika, itu perbuatan dosa, Nak !" Ibunya berlari mendekati Tika seraya menangis. Menoleh ke pak Andik agar mengurungkan niatnya.
"Berhenti Ma, kalau Mama maju selangkah lagi, aku akan menggores tanganku." gertak Tika pada mamanya yang mencoba ingin merebut pisau itu.
"Bagus, lanjutkan !" gertak pak Andik , dia tahu Tika hanya berpura-pura saja.
"Papa!" mamanya berteriak.
"Apa papa tidak menyayangi aku. Kenapa papa tidak menghalangiku? " batin Tika tersentak.
"Kenapa berhenti. Papa tahu kamu tidak akan senekat itu." ucap papanya yakin.
"Tika, maksud Papamu itu baik. Tak selamanya dijodohkan itu menyedihkan. Pilihan papamu pasti sempurna. Lagian kamu juga cantik. Bayangkan jika nama kamu di coret dari daftar keluarga, kamu akan kesusahan, hidup sendirian. Makan dan akan tinggal di mana kamu nanti ? Apa kamu mau?" bujuk ibu Tasya.
Tika menggelengkan kepala lalu mengusap air matanya.
"Baiklah Pa, aku bersedia tapi dengan satu syarat!" pinta Tika, pak Andik tersenyum menang.
"Katakan!" ucap pak Andik, akhirnya gertakannya berhasil.
"Pernikahan ini tidak ada yang boleh tahu, aku ingin dia selain sebagai suamiku dia juga harus menjadi pembantuku." pinta Tika lalu berlari ke atas menuju kamarnya. Masuk dan membanting pintu dengan keras.
"Asalkan dia mau saja sudah cukup. Dia belum tahu siapa pemuda yang bakal jadi suaminya. Lama-lama dia akan menerima laki-laki itu juga." ucap pak Andik yakin.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
riski iki
like😊
2021-07-22
1
Nastin
semangat berkarya kakak, maaf ketika kalbu bercerita baru sempat mampir🥰🙏☺
2020-12-12
0