Lily yang melihat Ayahnya sudah sadar segera menghampiri hospital bed Ayahnya.
"Bagaimana keadaan mu, Nak?" tanya Pak Hendra, dengan mata merah, menahan tangisnya.
"Lily baik-baik saja Ayah, bagaimana keadaan Ayah?" tanya Lily, menatap sendu Ayahnya.
"Ayah juga baik-baik saja, hanya beberapa luka sobek di lutut dan lengan Ayah. Tapi sudah di jahit dan di tangani oleh perawat. Harusnya kau mengkhawatirkan dirimu, Nak.
Kau jauh lebih terluka. Lihatlah, beberapa perban di kaki, lengan, dan di kepalamu." Jawab hendra sambil menunjuk luka-luka yang ada di tubuh Lily, dengan raut wajah khawatir.
"Aku gk papa, Ayah! Sungguh! Ta—tapi Papa Wijaya dan Mama Siska... Hikss.. Hiks.. " Lily sudah tidak sanggup meneruskan ucapannya, tangisnya kembali terdengar sangat memilukan.
"Ayah sudah tahu, Nak. Kau anak yang kuat. Kau tau? Ayah bahkan tidak sanggup melihat keadaan mereka saat ini, Ayah terlalu pengecut melihat jenazah sahabat Ayah yang selalu menemani Ayah sejak kecil. Sungguh Nak, saat ini, Ayah benar-benar rapuh. Ayah akan segera mengurus pemakaman mereka, karna Ayah dengar, kondisi Adrian saat ini masih keritis. Jadi, Ayah berinisitif memakamkan Wijaya dan Siska di pemakaman keluarga mereka, di samping makam Pakde Kusuma, mendiang Kakek Adrian." Ucapnya pelan, dan masih berusaha menahan air mata yg selalu memaksa untuk jatuh.
"Iya Ayah. Lily cukup tahu kesedihan Ayah," timpal Lily sambil menggenggam tangan Ayahnya.
"Ini lebih dari sekedar rasa sedih nak, Ayah sangat kehilangan Wijaya. Kau tahu nak? kami dulunya bukan orang berada, jangan kan untuk jajan, untuk membeli alas kaki saja Ayah tak mampu. Bahkan untuk makan pun sangat susah. Hingga suatu hari saat umur Kami 17 tahun, Ayah melihat seorang anak makan coklat, terlihat sangat enak, Ayah tanpa sadar berkata padanya 'Wijaya bagaimana sih rasanya coklat? nampaknya sangat enak yah, kapan yah kita bisa makan coklat?' tak lama setelah Ayah bertanya, Wijaya diam dan meninggalkan Ayah di pinggir sungai yang cukup ramai.
Setelah 2 hari berlalu si brensek itu datang, dengan berlari kencang ke gubuk reot ayah
yang terletak di puncak sebuah bukit, dan Ia mengeluarkan 1 buah coklat yang sudah di bagi 2. Saat Ayah bertanya dari mana dia bisa dapat uang untuk membeli coklat? Dia hanya menjawab, makan saja bodoh, tugas mu hanya menikmatinya'. Dan besoknya saat kami berangkat ke sekolah, ayah melihat dia tak makai alas kaki yg baru ia beli sepekan sebelumnya, dari upah jadi buruh tani. Ternyata si brensek itu menjual alas kakinya di pasar loak, hanya karna sebuah coklat untuk kami.
Flashback On.
Pagi itu merek berdua berjalan ke sekolah yang berjarak 3 Km dari kediaman Hendra.
"Wijaya kemana alas kaki mu?" tanya Hendra, sambil melirik ke arah kaki Wijaya yg bertelanjang kaki.
"Aku menjualnya kemarin di pasar loak, biar bisa beli sebungkus coklat, aku memang sengaja menjualnya. ini namanya solidaritas. Kau pun tidak punya alas kaki bukan? " Ucapnya sambil terkekeh.
"Solidaritad kata mu...? Hei..., Aku tak punya karna gk mampu beli, sedangkan kamu udah punya, malah di jual," ucap Hendra, menatap tajam ke arah Wijaya
"Sudahlah! Ayo! pagar sekolah sudah nampak disana, kita akan segera sampai, berhenti mengoceh." Balas Wijaya, mengabaikan tatapan tajam Hendra, sambil terus mengayungkan kakinya ke arah sekolah.
Tiba-tiba dari jauh, mereka melihat 4 orang anak berseragam sekolah dengan rapi dan lengkap. Berjalan ke arah mereka, lalu menghalau jalannya.
"Hei..., Kalian berdua mau kemana, dengan seragam lusuh dan tanpa Alas kaki seperti ini?" tanya salah satu anak dari mereka berempat, dengan nada berteriak.
"Mungkin mereka ingin ke sawah jadi buruh tani lagi, Udin" Ejek seorang anak, yang menjawab pertanyaan temannya , bernama Udin itu.
"Hentikan omong kosong mu! kami ingin sekolah, jangan halangi jalan kami!" bentak Hendra, menatap tajam kepada 4 anak di depannya.
Seorang anak dari mereka berdua maju dan berkata,
"Tidak salah kalian ingin sekolah? mending kalian ke Sawah bantu bapak kalian yang menggarap sawah ku, orang kayak kalian percuma sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya juga tetap jadi buruh tani, kayak orang tua kalian. Kalian gk punya masa depan!" sambil meludah ke arah Wijaya.
"Sombong sekali kalian." bentak Wijaya yang sudah mengepalkan tahannya, tapi berusaha menahan dirinya.
"Kenapa kalo kami sombong? Kami sombong karna memang ada yang pantas kami sombongkan tak seperti kau. Ibu pun tak punya, mending kau segera pulang dan berbaring di dekat makam ibumu, siapa tau tak lama lagi giliran." Ejek seorang anak, yang bernama Udin dan melihat Wijaya dengan tatapan jijik, di iringi gelak tawa dari teman-temannya.
Wijaya yang mendengarkan hinaan mereka langsung naik pitam, terlebih lagi mereka mebawa-bawa mendiang Bi siti ibunya yang wafat 2 tahun lalu.
Bruukk!
Wijaya meninju Wajah Udin.
Tiba-tiba hendra berteriak.
"Hati-hati Wijaya!" Hendra melihat salah satu dari mereka menggenggam batu sebesar mangkok dan mulai mengayungkan nya ke arah Wijaya.Tapi dengan sigap Hendra mendorongnya. Dan....
Brukkk!
Bunyi benturan antara kepala Hendra dan batu yang di ayungkan oleh salah satu dari mereka.
" Hendraaaa..." Teriak Wijaya yang melihat Hendra sudah ambruk di tanah dengan darah yang mengali di dahinya.
Ke empat anak-anak itu segera pergi dan meninggal kan mereka berdua, setelah melihat Hendra pingsan.
"Bertahanlah Hendra. Aku akan segera membawa mu pulang." Ucapnya dengan wajah khawatir, sambil menaikkan Hendra ke punggungnya dan membawanya pulang.
Saat malam tiba, sekitar pukul 01:38, Hendra mulai membuka matanya perlahan. Ia bangun dan merasa kepalanya cukup pusing, Ia meraba kepalanya dan merasa ada luka. Dia tersadar seketika dan mengingat kejadian tadi siang. Saat ingin turun dari ranjang besi miliknya, Ia heran ternyata di Seblahnya sudah ada Ibunya yang tertidur pulas, tapi Ia lebih heran lagi melihat di lantai samping ranjangnya terbaring 3 orang laki-laki. Ternyata Pak kusuma( Ayah Wijaya) dan Wijaya rela menginap di rumah Hendra hanya untuk memastikan Ia baik-baik saja. Mereka tidur melantai, bersama Ayah Hendra. Di rumah hendra hanya ada 2 Ruangan yaitu kamar dan Dapur. dia tidak punya ruang tamu terlebih lagi kamar tamu.
Hendra bangun perlahan dari ranjangnya untuk mengambil pelita, di bawa kaki Wijaya, sebai penerangan. Ia ingin ke halaman belakang buang air kecil. Tapi langkahnya tiba-tiba di percepat ke arah kaki Wijaya, yang terkena cahaya dari pelita itu.
Terlihat beberapa titik luka di kedua kaki Wijaya.
"Aku cukup yakin, ini pasti luka yang ia dapat tadi pagi saat menggendongku pulang," gumam Hendra, dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Hendra perlahan bediri dan berjalan ke arah halaman belakang menuju kamar kecil di sana, tapi sebelum sampai di sana air matanya menetes deras mengingat pengorbanan sahabatnya itu.
"Hei kenapa kau menangis cengeng?" tanya Wijaya yang entah sejak kapan berdiri di belakang Hendra, dan menepuk lembut bahunya.
"Ah tidak papa, mataku perih terkena asap pelita ini," Ucapnya pelan, Ia segera berbalik menghadap Wijaya dan terdengar masih berusaha menaha air matanya.
"Jangan bohong! Apa kau merasa aku bukan pendengar yang baik?" tanya Wijaya, karna merasa Hendra sedang tak jujur padanya.
"Aku tidak papa, Aku hanya terharu melihat ketulusan mu pada persahabatan kita," ucapnya pelan sambil menangis, karna sudah tidak mampu menahan air matanya.
Mendengar perkataan Hendra, membuat Wijaya mendekatkan langkahnya ke arahnya dan memeluknya erat, dengan mata yang sudah berkaca-kaca, Wijaya mulai berbicara dengan tatapan yang bersemangat.
"Kita harus jadi orang sukses Hendra, Aku tak mau anak cucu kita bernasib sama seperti kita, hanya selalu di rendahkan dan di hina.
Kita harus bisa jadi orang kaya dan meninggalkan keterpurukan ini. Belajarlah yang rajin, aku cukup yakin, usaha kita pasti tak sia-sia. Kita akan tinggal di kota dengan anak dan istri kita kelak. Dan meninggalkan tempat yang mengukir terlalu banyak kisah sedih untuk kita."
Flashback Off
"Lalu Ayah, kenapa sekarang kalian bisa sekaya ini?" tanya Lily penasaran.
"Beberapa tahun setelah kematian Pakde Kusuma, serombongan orang memakai beberapa delman datang ke gubuk kami. Karna setelah kematian Pakde Kusuma, Kakek dan Nenekmu tidak mengizinkannya tinggal sendiri. Ayah cukup yakin, orang yang datang ini orang kaya. karena dulu hanya orang kaya yang mampu membeli Delman, mereka mencari Wijaya. Ternyata, mereka adalah utusan dari orang tua Bi Siti. Ayah pun baru tahu ternyata Bi siti adalah orang kaya yang rela meninggalkan ke kayaannya untuk hidup dengan pakde Kusuma, yang saat itu di tentang keras oleh keluarga Bi siti. Setelah Ia tahu bahwa Bi Siti dan Pakde Kusuma wafat, dan meninggalkan seorang putra membuat mereka iba. Mereka memutuskan untuk mencari keberadaan cucu mereka, dan menjemputnya. Sebelum Wijaya pergi, Ia memeluk Ayah erat dan berjanji akan kembali membawa banyak coklat dan menjemput Ayah untuk tinggal di kota," ucap Hendra yang tersenyum tipis, sambil menyeka air matanya yang mengalir, saat mengenang momen bersama mendiang sahabatnya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Khairunnisa
Wah, kisah persahabatan pak wijaya dan hendra mengharukan sekali.
2020-12-08
1
Caramelatte
semangat thor!
Salam dari "Belong to Esme"
2020-11-24
1
Elmoo
selalu datang
2020-11-19
0