"Dhafin bangun!" kata Clarissa sambil membangunkan Dhafin yang tak kunjung bangun dari ranjangnya.
"Iya sebentar," respon Dhafin sambil menarik kembali selimutnya.
"DHAFIINN...!!!" ucap Clarissa yang mulai jengkel melihat kelakuan malas Dhafin yang tak kunjung bangun.
"Ruri, kalau kamu mau, kamu boleh sarapan duluan dibawah," kata Clarissa yang masih sibuk membangunkan Dhafin.
"Ahh tidak, aku akan menunggu kalian saja," ucapku.
"Dhafin bangun, nggak enak sama Ruri, dia udah nungguin tuhh."
"Hmmm ... " ucap Dhafin.
Melihat itu Clarissa tersenyum kecut dan mundur sedikit.
"Baiklah kalau kau tidak mau bangun juga."
Kemudian Clarissa seperti membaca sesuatu dan mengarahkan tangan kanannya ke Dhafin yang masih tertidur.
Seketika saja Dhafin melayang di udara.
Dhafin yang merasa dirinya terangkat ia pun terbangun dan berteriak.
"WOOAAHHH...!!! A-apa ini? Hei Kakak turunkan aku," ucap Dhafin bergerak tak karuan di udara.
"Akhirnya bangun juga," ucap Clarissa sambil membatalkan sihirnya.
Seketika itu pula, Dhafin pun jatuh ke lantai.
"Kejam sekali kamu, Kak," ucap Dhafin merasa kesakitan.
"Ayo cepetan bangun! Dasar tukang tidur," kata Clarissa.
"Ayo Ruri kita langsung sarapan!" ajak Clarissa.
"Bagaimana dengan Dhafin?" tanyaku.
"Ahh dia tidak apa-apa, kalau dia masih tidur juga, aku tidak akan sungkan melemparnya kebawah dari jendela," ucap Clarissa sambil tersenyum.
"Waahhh menakutkan," gumamku sambil tersenyum.
Ruang makan ...
"Disini lahh kita akan makan," ucap Clarissa kepadaku setelah sampai di sebuah ruangan.
"Wahh hebat sekali...!!" kataku setelah sampai di sebuah ruangan luas dan terdapat banyak meja makan yang dikelilingi oleh 4-6 kursi.
"Ini lebih pantas dibilang hotel berbintang dari pada dinamakan penginapan," pikirku.
"Clarissa, sebelah sini!" ucap seorang perempuan yang tengah makan di salah satu meja itu.
"Ruri ayo kesana!" kata Clarissa.
Aku hanya menganggukan kepala.
"Clarissa siapa dia?" tanya perempuan itu setelah aku dan Clarissa duduk semeja dengannya.
"Ohh dia ini temanku, namanya Ruri Narendra, dan dia akan bersekolah dengan kita," kata Clarissa menjelaskan.
"Ruri kah? Salam kenal Ruri, namaku Avelina Naila, kau boleh memanggilku Naila," katanya sambil menjulurkan tangannya.
"Salam kenal, namaku Ruri Narendra, kau boleh memanggilku, Ruri," kataku sambil bersalaman dengannya.
"Ohh iya dan satu hal lagi yang lupa aku beritahu," kata Clarissa.
"Apa?" tanya Naila.
"Dia ini, laki-laki," ucap Clarissa sambil tersenyum.
"Di-dia ... laki-laki?" tanya Naila yang pipinya mulai memerah.
"Ahh maaf, sepertinya kita bersalaman terlalu lama," kataku melihat tanganku yang tidak dilepaskannya.
"Ma-maaf," katanya yang kemudian langsung melepaskan tanganku.
"I-iya," ucapku sambil berpaling.
"Yaudah, Ruri, ayo kita ambil makan!" ajak Clarissa.
"Iya," kataku sambil mengikuti Clarissa menuju meja panjang yang terdapat banyak makanan diatasnya.
"Sudah kuduga ini hotel," gumamku.
Setelah mengambil makanan itu, kami pun kembali duduk.
Terlihat Dhafin membuka pintu dan masuk.
"Heh? Kukira kau masih tidur, padahal aku ingin sekali melemparmu dari atas sana," ucap Clarissa sambil menyendokkan makanan ke dalam mulutnya.
"Berbelas kasih kek walaupun sedikit," kata Dhafin mencibir.
"Untuk apa berbelas kasih pada orang sepertimu ... "
"Ohh iya, kalian berdua Adik Kakak?" tanyaku.
"Bukan, hanya saja sekarang ini aku sudah menganggapnya sebagai adikku sendiri," kata Clarissa.
"Bukan? Jadi bagaimana kalian bisa bersama?" tanyaku sambil menyendokkan makanan.
"Itu terjadi saat orang tua kami meninggal," ucap Clarissa yang berhenti makan dan mulai menundukkan kepala begitu juga dengan Dhafin.
"Ahh maafkan aku Clarissa, sepertinya aku mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya kukatakan," ucapku merasa bersalah.
"Tidak apa-apa, sepertinya aku memang harus menjelaskannya agar kamu mengerti dan tidak salah paham," kata Clarissa.
"Waktu itu ada seorang iblis yang menghancurkan desa kami, karena tidak ada yang sanggup melawan iblis itu, kemudian orang tua kami mencoba melawan iblis tersebut dan menyuruhku serta Dhafin untuk segera lari dari sana,"
"Dan kalian berhasil kabur?" tanyaku.
"Tidak, setelah iblis itu mengalahkan orang tua kami dengan mudah, dengan segera iblis itu mengejar kami dan ingin dibunuhnya, akan tetapi betapa beruntungnya kami karena tidak lama kemudian sekumpulan penyihir tingkat atas datang dan berhasil membuat iblis itu terluka parah dan akhirnya melarikan diri. Lalu setelah kejadian itu, aku dan Dhafin selalu bersama-sama bahkan sampai sekarang," ucap Clarissa menyelesaikan ceritanya.
"Maafkan aku Clarissa, sepertinya itu adalah hal yang tidak seharusnya diceritakan," kataku pelan.
"Tidak apa-apa, lagi juga aku sudah mulai terbiasa sekarang," ucap Clarissa sambil tersenyum.
"Sudah-sudah, ayo cepat habiskan makanannya kita akan terlambat ke sekolah nanti," kata Naila.
"Ahh kau benar, aku belum sarapan," ucap Dhafin sambil berlari mengambil makanan.
Setelah mengambil makanan, Dhafin kembali duduk dan melihat gambar yang menarik perhatiannya di sebuah koran.
"Heh? jadi didunia ini juga memakai koran?" pikirku.
"Hei hei lihat! puluhan, bahkan ratusan pepohonan di bagian luar kota banyak yang tumbang dan terbakar bahkan beberapa ada yang berlubang," kata Dhafin sambil menunjukkan koran itu.
Mendengar itu aku langsung tersendak saat minum air.
*Puuuufffftt... Ohook.. Ohokk.
Suaraku yang terbatuk-batuk.
"Hei Ruri kau baik-baik saja?" tanya Dhafin.
"Ahh iya, aku baik-baik saja hanya sedikit tersendak saja," ucapku sambil tersenyum.
"Dasar ceroboh," kata Clarissa sambil tersenyum.
Flashback on.
"Akhirnya sudah pada tidur," ucapku pelan sambil keluar dari kamar.
Akupun bergegas menuju luar kota. Akan tetapi, sebelum keluar dari penginapan, langkahku terhenti karena ada seseorang yang memanggilku.
"Ruri? Mau kemana kau malam malam begini?" tanyanya.
"Ahh Vina, aku kira siapa, aku ingin keluar sebentar mencari udara segar," kataku asal.
"Tapi inikan masih malam."
"Aku tahu itu, hehe."
"Ohh baiklah, jangan sampai kesasar yaa," katanya.
"Iya," ucapku sambil kembali berlari keluar dari kota.
"Baiklah saatnya bereksperimen," kataku setelah sampai dekat hutan.
Flashback off.
"Ma-maaf kan aku semuanya," gumamku sambil tersenyum dengan keringat dingin yang menyelimutiku.
Beberapa menit kemudian ...
"Hampir saja kita terlambat," kata Dhafin setelah kita sampai kedalam gerbang sekolah.
"Ini semua karena kau," kata Clarissa melirik ke arah Dhafin.
"Ahh sudah tidak usah dipikirkan ayo kedalam!" kata Naila.
Kami pun berjalan masuk kedalam sekolah dan mendaftarkan diriku.
"Hei hei Dhafin, kalau sekolah disini bayar nggak sihh?" kataku setengah berbisik.
"Ahh tenang saja, sekolah disini tidak bayar kalau kamu orang dalam," katanya.
"Orang dalam?" tanyaku tidak mengerti.
"Kemarin kan, kita sudah mendaftarkanmu sebagai orang kota ini," jelasnya.
"Ohh berarti kalau orang yang bukan dari kota ini, disekolah ini mempunyai bayaran? Begitu?" ucapku yang sedikit mengerti.
"Kurang lebih seperti itu."
Setelah mendaftarkan diriku Clarissa, Naila dan Dhafin pergi ke kelasnya.
"Jadi, namamu, Ruri Narendra kah?" tanya perempuan itu yang sebelumnya menyebut dirinya sebagai kepala sekolah di sekolah ini.
"I-iya bu," kataku cepat.
"Baiklah kita akan melakukan pengetesan," katanya.
"Tes?"
"Iya." ucapnya sambil berjalan.
Setelah sampai di ruangan luas yang mirip seperti lapangan tertutup, perempuan itu pun langsung berkata.
"Ohh iya aku lupa, Ruri, apa kamu bisa menggunakan sihir?" tanya Ibu kepsek itu.
"Hmm bisa sedikit sedikit," ucapku sambil tersenyum.
"Baiklah, kau lihat kayu disana itu? Arahkan sihirmu ke sana, aku akan menilainya," ucapnya sambil menunjuk kearah sebuah batang kayu besar yang berdiri.
"Baiklah."
"Ayo angin jangan kecewakan aku," gumamku sambil mengayunkan tangan.
Angin tipis samar-samar terlihat bergerak cepat menuju target dan hanya menggoreskan kayu itu.
"Yes berhasil...!!!" ucapku kegirangan.
Seketika Ibu kepsek tadi terkejut lalu langsung menulis sesuatu di kertas yang ia bawa.
"Sihirmu masih lemah, tapi ... " kata Bu Kepsek tidak melanjutkan perkataannya.
"Apa aku melakukan sesuatu yang salah? Padahal aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membuat sihir yang mirip Clarissa," gumamku karena melihat Ibu kepsek yang sebelumnya sempat terkejut.
"Ahh sudah-sudah, karena aku sudah menentukan kelasmu, sekarang aku akan mengantarmu ke kelas itu, Ayo!" katanya.
"Iya Bu," kataku sambil mengikutinya dari belakang.
"Ohh iya aku lupa lagi, ini sebagai tanda bukti kamu itu bersekolah disini," ucap Bu Kepsek sambil memberikan sebuah jam tangan digital modern saat di perjalanan menuju kelas.
Aku terkejut melihat jam tangan digital modern yang diberikan kepadaku.
"Kalau disini ada jam modern seperti ini, tapi kenapa disini tidak ada smartphone?" pikirku.
Aku pun memakainya dan akhirnya sampai di depan kelas.
Lalu Bu Kepsek mengisyaratkan sesuatu kepada guru yang sedang mengajar didalam dan kembali menoleh kepadaku.
"Baiklah Ruri aku akan kembali ke kantor, sampai jumpa," ucap Bu Kepsek sambil tersenyum dan dalam sekejap menghilang begitu saja.
"Wahhh hebat, bagaimana dia melakukannya ya?" kataku yang melihat Bu Kepsek menghilang.
Tidak lama kemudian guru didalam kelas mengatakan.
"Baiklah anak-anak kalian mendapatkan teman baru, masuklah!" ucapnya.
Setelah aku masuk dan berdiri di depan kelas tiba-tiba saja.
"Wahhhh ... imutnyaaa...!!!" ucap seisi kelas itu baik laki-laki ataupun perempuan.
Aku hanya melambaikan tangan sambil tersenyum karena mendengar respon mereka.
"Wahh syukurlah aku sekelas dengan mereka," gumamku yang melihat Clarissa dan Dhafin.
"Baiklah perkenalkan dirimu Ruri," kata guru itu yang suaranya pernah kudengar sebelumnya.
"Pak Nathan? Ternyata benar-benar bapak," ucapku pelan setelah melihatnya baik-baik.
"Iya aku tau, jadi cepatlah perkenalkan diri," kata Pak Nathan sambil tersenyum aneh.
"Baiklah, perkenalkan namaku Ruri Narendra, hmm ... aku berumur 13 tahun dan aku ini ... Laki-laki," ucapku sambil tersenyum.
"HEEEHHHHHH....?!!" ucap mereka karena terkejut.
"Baiklah pak, saya boleh duduk ... Heh?" tanyaku sambil melihat Pak Nathan yang juga ikut terkejut.
"Ahh iya, silahkan ... Maaf yaa Ruri, kursi kosong yang tersisa hanya satu, itu dibelakang sana," kata Pak Nathan sambil menunjukkan kursi kosong di paling belakang.
"Iya Pak, tidak apa," ucapku seraya berjalan.
Setelah sampai di tempat dudukku akupun menyapa teman sebangku.
"Selamat pagi, bolehkah aku duduk disini?"
"Ahh i-iya." ucap perempuan itu.
"Heh? K-kau itu Naila kan?" tanyaku setelah ia melihat kearahku.
"Hmm i-iya, mohon kerja samanya ya, Ruri," ucapnya sambil tersenyum.
"I-iya, tapi kenapa mukamu memerah? Apa kau kena demam?" tanyaku.
"Ahh ti-tidak, aku baik-baik saja," ucapnya sambil menundukkan kepala.
"Baiklah kita akan memulai pelajarannya," kata Pak Nathan.
...****************...
Waktu terus bejalan sampai pada akhirnya bel istirahat tiba.
"Baiklah pelajaran kali ini cukup sampai disini, selamat berlatih!" kata Pak Nathan sambil berlalu pergi keluar kelas.
"Berlatih?" gumamku.
Baru beberapa saat keluarnya Pak Nathan dari kelas tiba-tiba saja aku di kerumuni oleh banyak orang yang ingin mengajakku makan siang, akan tetapi aku menolaknya.
"Ahh maaf, aku akan makan siang bersama Clarissa dan Dhafin," kataku.
"Ayo Ruri, Naila!" ajak Clarissa.
"Iya," ucapku dan Naila.
"Ruri ternyata kamu cukup populer ya di sekolah ini," kata Dhafin saat dijalan menuju kantin.
"Ahh entahlah ... Kayaknya biasa aja."
"Hmm ... Ohh iya setelah istirahat berakhir apa yang akan kita lakukan?" tanyaku.
"Biasanya sihh belajar seperti tadi," kata Dhafin.
"Hadehh sepertinya membosanka-" kataku terhenti karena ada yang menabrakku dari belakang dengan sengaja.
Kulihat laki-laki berbadan besar dan tinggi yang berjalan dengan tergesa-gesa setelah menabrakku.
"Hei, apa maksudmu menabrakku seperti itu?" tanyaku kesal.
"Hah? Berani beraninya kau berkata lancang begitu kepada Arya!!!" ucap laki-laki lain yang mungkin temannya.
"Sudah biarkan," kata laki-laki besar itu yang bernama Arya.
"Jadi, apa maksudmu?" ucap Arya sambil berhenti dan berjalan mendekatiku.
"Apa kau sengaja melakukannya?" tanyaku.
"Kalau iya memangnya kenapa?" tanyanya kembali yang membuatku muak.
Aku pun mengepalkan tanganku dan rasanya ingin sekali memukulnya, namun hal itu tak kulakukan, karena Clarissa memegang pundakku dan berjalan kedepanku.
"Tolong maafkan dia Arya, dia anak baru disini, makanya dia bersikap seperti itu, sekali lagi mohon maafkanlah dia," ucap Clarissa menatap tajam Arya.
"Tch ... dasar, ayo kita pergi ... !!!" ucap Arya sambil berlalu pergi dengan kawanannya.
"Kenapa kamu menghentikanku?" tanyaku kepada Clarissa setelah mereka pergi.
"Karena dia memang seperti itu, lebih baik kau tidak berurusan dengannya lagi, hanya membuang-buang waktu," kata Clarissa mengingatkan.
"Sepertinya memang begitu," ucapku menghela napas.
"Emangnya siapa dia?" tanyaku.
"Dia Arya, dari Lower Class 1," kata Clarissa.
"Lower Class?" tanyaku tidak mengerti.
"Sekolah ini dibagi menjadi 3 tingkatan, pertama High Class, Middle Class, dan yang terakhir Lower Class, dan setiap tingkatan dibagi lagi sesuai dengan kemampuan, yaitu satu, dua, dan tiga, kelas kita adalah Lower Class 3," kata Dhafin menjelaskan.
"Berarti kita kelas tertinggi atau ... " kataku bersemangat.
"Yap benar, kita kelas terendah," ucap Dhafin sambil tersenyum.
"Kukira kelas tertinggi ... " gumamku sambil tersenyum aneh.
"Sedangkan si Arya itu berada di Lower Class 1, jadi aku takut kamu kenapa kenapa hanya karena orang itu," ucap Clarissa.
"Hmm tapi Clarissa, apa kamu ingat kemarin saat Ruri menumbangkan pohhh-" ucap Dhafin terpotong karena aku menutup mulutnya dengan tanganku.
Akupun menarik tangan Clarissa dan Dhafin menjauh sedikit dari Naila.
"Aku mohon jangan ceritakan hal itu kepada siapa siapa yaa," ucapku dengan suara berbisik.
"Hmm jadi begitu, baiklah."
"Kalian bicarain apa?" tanya Naila penasaran.
"Ahh bukan apa-apa," ucapku sambil tersenyum.
"Ayo kita makan siang!" ajak Clarissa.
"Iya," ucapku dan kami pun pergi kekantin.
Kantin ...
"Wahh hebat ... " kataku setelah sampai di kantin.
"Siapa dia? Anak baru? Ruri? Laki-laki? Imutnya ... " itulah yang aku dengar saat memasuki kantin.
"Sepertinya aku bakal kerepotan nanti," gumamku sambil tersenyum.
"Ayo kita ambil makanan!" ucap Dhafin sambil tersenyum.
Kami pun mengambil makanan dan duduk di salah satu kursi panjang yang berada disana.
"Heh? Kalian ngambil minuman dari mana?" tanyaku.
"Kamu nggak ngambil?" tanya Dhafin.
"Aku nggak tau, tiba-tiba yang kulihat kalian sudah membawanya," ucapku.
"Itu di sebelah tempat kamu mengambil makan tadi," ucap Dhafin sambil menunjukkan kearah samping dekat dengan tempat tadi.
"Yaudah aku ambil dulu," ucapku sambil pergi.
Setelah mengambil minuman, aku kembali ketempat Clarissa dan Dhafin. Akan tetapi, sebelum sampai, ada seseorang yang sengaja membuatku terjatuh dengan kakinya.
Belum sempat aku melihat orang yang melakukannya, karena aku terfokus melihat minumanku jatuh ke seseorang.
"Ahh gawat, aku dalam bahaya!" gumamku dalam hati melihat minumanku tumpah tepat ke pakaian Arya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Lele Laut
Sekolahnya kaya bnget, gausah bayar wkwkwkwk
2022-11-12
1
Zen
p
2021-07-14
1
om madesu
crita yg menarik,, tpi detailnya kurang,, terasa aneh jdinya
2020-12-13
1