Yoko masih tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Matanya menatap semua wanita dalam satu ruangan bersamanya
"Om jagoan, Om mau kan, tinggal di sini?" tiba-tiba salah satu anak yang menatap Yoko, bersuara. "Semalam, aku lihat Om bertarung, keren banget."
Beberapa detik lamanya, Yoko dibuat tercengang. "Kalian semalam lihat saya berkelahi?" tanya Yoko.
Anak kembar itu mengangguk serentak. Dengan antusias, mereka menceritakan apa yang mereka lihat semalam.
"Mungkin, kalau kamu semalam tidak menolong anak saya, saya yakin, saat ini mereka sudah tidak berada di dunia ini lagi," ucap Sansan. Wajahnya seketika berubah menjadi sendu.
"Benar," sahut wanita lain yang ada di sana. "Kamu sangat keren. Wajar jika kamu masuk tim keamanan."
Yoko pun merasa tersanjung.
"Karena Om Jagoan baru sadar, lebih baik, biarkan Om istirahat dulu ya, Sayang," ucap wanita yang berprofesi sebagai dokter, lalu dia melempar tatapan pada Yoko.
"Sebentar lagi akan ada orang yang mengantar makanan. Setelah makan, minumlah obat yang sudah saya siapkan."
Yoko menoleh sejenak, melempar tatapan pada obat yang maksud. "Baik, terima kasih," jawabnya.
"Ya sudah, kami keluar dulu. Kalau butuh sesuatu pencet aja tombol di sebelah ranjang. Nanti akan ada yang datang."
Yoko mengangguk.
Tak butuh waktu lama kini Yoko terdiam dengan banyak pertanyaan dalam pikirannya. Dia pun kembali memperhatikan kamar yang dia pakai. Kamar yang cukup luas daripada kamar yang selama ini dia gunakan.
"Ah iya, ponselku," tiba-tiba dia teringat istrinya. Matanya pun mencari benda pipih miliknya. Tak butuh waktu lama dan tidak perlu turun dari ranjang, benda yang dia cari ada di tempat yang sama dengan bungkus obat yang akan dia makan.
Yoko pun perlahan bangkit dari berbaringnya. Karena tangan kirinya juga terluka jadi untuk saat ini, tangan tersebut tidak bisa dia gunakan seenaknya. Karena letak meja ada di sebelah kiri, mau tidak mau Yoko harus bangkit untuk meriah ponsel menggunakan tangan kanan.
"Uang lagi," Yoko cukup syok begitu membaca pesan dari istrinya. Meskipun alasannya sama, tapi entah kenapa Yoko merasa keberatan untuk memenuhi permintaan istrinya itu. "Kenapa Marni sama sekali tidak menanyakan kabar?" Yoko terdiam memikirkannya.
Sejak pertama kerja di negeri orang, gaji yang diterima Yoko sebanyak 15 juta tiap bulannya. Itu sudah terhitung bersih karena pihak perusahaan menyediakan tempat istirahat dan kebutuhan makan serta mandi.
Sebagian gajinya dia kirim ke kampung untuk kebutuhan istrinya dan mengangsur hutang saat Yoko hendak berangkat merantau. Sebagian lagi, gajinya ditabung.
Yoko pun lantas berusaha menghubungi istrinya. Namun sayang, istrinya tidak merespon. Bahkan sampai lima kali, tetap tidak ada tanggapan dari wanita yang sangat dia cintai.
"Lagi ngapain sih Marni? Biasanya kalau aku telfon, selalu langsung dia angkat," gerutu Yoko. Dia pun menghembus nafasnya secara kasar. Lalu meletakan ponselnya di atas ranjang di sebelah kanan tubuhnya.
"Permisi," tiba-tiba seseorang menyapa. Yoko pun menoleh ke arah pintu masuk. Nampak seorang wanita yang usianya jelas tidak muda lagi, menghampiri Yoko. Kedua tangannya menopang nampan yang isinya sudah bisa ditebak.
"Makan siang anda, Tuan," ucap wanita yang wajahnya bukan seperti wajah orang negara ini.
"Terima kasih," jawab Yoko.
Wanita itu mengangguk, sembari menaruh nampan di atas meja. "Apa Tuan bisa makan sendiri?" tanya wanita tersebut, begitu melihat keadaan tangan kiri Yoko.
"Sepertinya bisa, aku akan mencobanya," jawab Yoko.
"Kalau butuh bantuan, tinggal ngomong saja, Tuan, tidak perlu sungkan," ucap wanita yang sama.
Yoko tersenyum. Namun di saat dia hendak membalas ucapan wanita itu, sebuah suara kembali terdengar, memasuki ruangan tersebut.
"Biar aku aja yang bantu, Bi. Kamu lanjut aja pekerjaan lainnya," ucap salah seorang wanita cantik yang tadi datang menjenguk keadaan Yoko.
"Baik, Miss," jawab wanita yang disapa Bibi. Dia lalu pamit meninggalkan Yoko dan majikannya.
"Saya bisa makan sendiri, Nona," ucap Yoko kala menyaksikan wanita itu meraih piring berisi nasi lalu mencampurnya dengan beberapa lauk yang ada.
"Jangan dipaksakan, bukankah tadi Ailin sudah memperingatkan kamu, supaya jangan banyak bergerak," jawab wanita yang belum diketahui namanya. Wanita itu lantas duduk di tepi ranjang, dengan tangan kiri memegang piring dan tangan memegang sendok.
"Tapi..."
"Tidak perlu menggunakan kata tapi," potong wanita itu. "Apa kamu takut, istrimu marah karena kamu disuapin wanita lain?"
Yoko tertegun mendengarnya. Sejenak dia menatap lekat wanita cantik yang tersenyum manis padanya. Yoko pun terpesona akan kecantikannya.
Namun Yoko buru-buru menyadarkan diri kala wajah sang istri terlintas dalam pikirannya.
"Astaga! Apa yang aku pikirkan?" gumamnya dalam hati.
Di saat hati, perasaan dan pikirannya sedang bergelut, sebuah sendok berisi makanan berhenti tepat di depan mulutnya. Yoko kembali terperangah dan matanya kembali menatap lekat wanita yang menyodorkan sendok untuknya.
Dengan ragu, Yoko mulai membuka mulutnya hingga wanita itu kembali tersenyum manis, dan sukses membuat hati Yoko kembali bergemuruh.
"Kamu sudah lama menikah?" tanya wanita itu untuk mencairkan suasana.
"Sudah jalan tiga tahun, Nona," jawab Yoko sambil mengunyah.
"Wow! Cukup lama juga ya?" puji wanita itu. "Apa tidak berat meninggalkan istrimu, bekerja di negeri ini?"
Yoko tersenyum canggung. "Ya berat, Nona, tapi bagaimana lagi. Semua ini demi masa depan yang lebih baik."
Wanita itu mengangguk paham dan dia kembali memasukan nasi ke dalam mulut Yoko. "Apa kamu sudah memiliki anak?"
"Belum, Nona," jawab Yoko. "Itu juga yang menjadikan saya nekat pergi merantau jauh. Saya dan istri saya ingin memperbaiki ekonomi terlebih dahulu."
"Untuk memperbaiki ekonomi?" tanya wanita itu mempertegas.
"Iya, Nona," jawab Yoko singkat.
"Kalau untuk memperbaiki ekonomi, di negaramu juga bisa kan?"
"Bisa sih, tapi susah, Nona. Kerja di sana gajinya kecil, terus pendidikan juga mempengaruhi. Apa lagi saya hanya lulusan sekolah tingkat pertama, makin susah untuk mendapat pekerjaan yang cukup layak."
Wanita itu agak tertegun, lalu dia mengangguk paham sembari melanjutkan menyuapi. "Sayang sekali ya? Padahal kamu punya skill dan potensi yang cukup bagus."
Yoko ikut tersenyum meski masih ada rasa canggung. "Yah begitulah, Nona. Di negara saya, lebih mementingkan ijazah daripada skill. Usia juga mempengaruhi. Kalau usia udah mencapai 25 tahun, udah dipastikan, akan sangat sulit mendapat pekerjaan."
Wanita itu tersenyum. "Karena itu, kamu memilih meninggalkan istrimu untuk sementara?"
Yoko mengangguk sembari ikut tersenyum.
"Tapi kamu hebat sih. Bisa bertahan dan setia sama istrimu," puji wanita dengan rambut panjang hampir sepinggang. "Tidak seperti mantan suamiku, ditinggal dua bulan aja, langsung tidur sama cewek lain."
"Apa? Mantan suami?" Yoko kaget mendengarnya. "Jadi anda, janda?
Wanita itu mengangguk. "Ya,saya janda."
"Hah!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Daniel Simamora
mudah-mudahan retensinya mencukupi yaa
2025-07-05
1
Apriyanti
lanjut thor
2025-07-06
1
Cindy
lanjut kak
2025-07-05
1