Kami sampai di sebuah perbukitan. Tidak begitu tinggi seperti saat aku dan dia terakhir bertemu. Lagi-lagi dia membawaku ke tepi jurang, "Kamu tidak akan membuatku hampir mati lagi, 'kan?" tanyaku sambil menatap cemas ke arah Kaysan, Kaysan tersenyum datar, "Tidak." jawabnya.
Tak begitu lama, mobil berhenti di parkiran bawah, karena setelah ini hanya jalan setapak yang kami lalui. Kami harus menanjak dulu untuk sampai ketempat yang dia tuju. Dedaunan kering berserakan menutupi jalan kami, lagi-lagi tempat remang-remang yang dia cari. Tidakkah lebih bagus jika dia mengajakku ke cafe atau ke tempat yang sedang booming saat ini. Biar terkesan romantis dan nge-hits.
Dia malah mengajakku ke bukit, naik dengan nafas yang ngos-ngosan. Dengan keringat yang sudah membasahi bajuku, sudah ku pastikan jika bau asam menghiasi ketiak ku.
Aku heran, apa definisi kencan menurutnya harus seperti ini. Seram sekali ya, berbeda dengan kencan cinta pertamaku dulu.
Kakiku sudah lelah, tapi dia masih terus bersemangat. "Capek. Masih jauh tidak?" kataku sambil memegang kedua lututku. Nafasku naik-turun dengan cepat.
"Sebentar lagi sampai, Rinjani." katanya sambil berjalan lagi meninggalkanku. Aku mendongak melihat ke sekeliling, hanya ada pohon-pohon yang bergoyang mengikuti irama angin.
Aku bergidik ngeri, menatap keadaan sekitar. Sepi seperti tak berpenghuni, dengan tertatih-tatih aku mengikuti langkah kakinya, "Tunggu Kay, jangan cepat-cepat jalannya."
Kaysan berbalik ke arahku, "Aku slalu menunggumu Rinjani."
Sabar sabar, ini sungguh melelahkan, tenggorokanku rasanya kering. Tapi melihatnya yang masih terlihat macho, tidak lelah membuatku mengerenyitkan dahi, "Kamu tidak lelah? Aku haus, apa ada minum nanti diatas sana?" tanyaku masih dengan mengatur nafas.
"Apa saja ada untukmu, kemarilah sebentar lagi sampai." Kaysan menarik lenganku, aku terseok-seok mengikutinya.
Benar saja, setelah itu ku pandangi gubuk-gubuk kecil dengan hiasan lampu kemerlip. Banyak sekali muda mudi yang menghabiskan waktu diatas sini.
Lalu kenapa tadi tak ku lihat orang-orang yang ikut menanjak bersamaku.
"Bukit ini tidak setinggi gunung Rinjani yang pernah aku daki, Rinjani. Ini tidak seberapa dibandingkan harus mendaki gunung dengan setinggi 3.726 m dpl. Ada yang lebih sulit dibanding itu, sulit mendaki kepercayaanmu."
Aku melongo, rahangku hampir copot dibuatnya. Dia mulai merayuku dengan caranya. Lucu sekali, dia berbeda. Mungkin karena kita memang berbeda, aku jadi merasa aneh dibuatnya.
"Bisa tidak kita minum dulu..." Aku berjalan mendahului Kaysan mencari gubuk bambu yang masih lenggang. Ternyata penuh, hanya tinggal kursi-kursi kosong dipinggir jurang.
Nestapa menggelayutiku lagi. Kenapa nyawaku seperti ditakdirkan untuk mati jatuh ke dalam jurang.
"Apa yang kamu mau?" Kaysan menaruh daftar menu di depanku. Aku membolak-balikkan kertas tipis itu.
"Ehm... apa saja boleh?" tanyaku malu-malu.
"Boleh, bukit inipun boleh menjadi milikmu."
Aku menelan ludahku susah susah, "Piscok sama lemon tea, Dingin." jelasku lagi, Kaysan sibuk menulisnya diatas secarik kertas. Dia berlalu pergi meninggalkanku yang termangu memandangi langit.
Gadis biasa yang bersanding dengan pangeran rasanya hanya ada dikisah dongeng kartun Cinderella. Perlu disiksa dulu oleh ibu tiri dan kakak-kakaknya yang kejam. Lalu ada ibu peri yang menyelamatkannya, karena sepatu kaca dia bertemu pangeran. Lalu bagaimana dengan ceritaku, apa Ibunda ratu adalah ibu periku, lalu hutang menjadi awal kisah cintaku. Takdir memang selalu lucu.
Aku tersenyum sendiri, rasanya sangat mustahil kami bersama. Membohongi hati apa salahnya, aku lebih tidak mau terjebak dengan pernikahan yang salah. Bukan salah dia, tapi aku yang tidak layak bersanding dengannya.
Pertarungan bukan hanya saat pacaran, justru ketika dua hati itu menyatu dalam ikatan sakral pernikahan. Pertarungan sesungguhnya benar-benar akan terjadi.
Biarkan malam ini kami bicarakan, Setuntas-tuntasnya!
Selang 20 menit, dia datang membawa nampan. Lucu ya, dia yang biasa dilayani justru sekarang harus melayani ku. Gadis tidak tahu diri!
"Minumlah." katanya sambil menaruh gelas di sampingku. Dia duduk, menghirup asap kopi hitamb yang masih mengepul panas. Mengambil rokok dari kantong celana jeans yang dia kenakan.
"Apa pangeran boleh merokok, hmm?"
"Sejatinya rokok dan kopi adalah teman. Teman saat gundah menyatu dalam diriku."
"Sudah makan? Mau?" Aku mengangkat Piscok yang sudah aku tusuk pakai garpu.
Dia menatapku dengan tatapan aneh, "Boleh."
"Buka mulutmu." kataku sambil menyodorkan piscok itu di depan mulutnya.
Dia menyantapnya sambil menyecapi rasanya, "Lumayan."
"Hanya boleh sekali, sisanya buatku." kataku tersenyum, menaruh piring di pahaku.
Dia hanya membalasku dengan senyumnya. Menyebalkan bukan, senyuman itu. Senyuman yang memabukkan.
Aku larut dengan sepiring Piscok ditanganku, dia sibuk dengan tembakau di tangannya.
Kami larut dalam diam, tapi tidak dengan pikiran kami. Pikiran kami seperti berbicara sendiri.
Piscok ku habis, aku juga sudah menghabiskan lemon tea ku.
"Sudah kenyang ayo kita pulang. Bukannya tidak baik membawa anak gadis pulang malam." Jujur ini hanya alasanku saja, toh aku tidak punya tempat untuk pulang, tidak ada yang menantikan kehadiranku. Rumah mana yang aku tujupun tidak ada. Hanya toko tempatku mencari rezeki. Bersembunyi dari kejamnya dunia.
"Tunggu, kita bahkan belum bicara." Sanggahnya cepat sambil melihat jam ditangannya, "Beri aku waktu sejenak. Aku sudah menunggu saat-saat ini."
Mau dimulai darimana pembicaraan ini. Kami sama-sama aneh, sangat aneh.
Kaysan membereskan gelas dan piring yang menjadi jarak pemisah kami. Menggeser posisinya mendekatiku.
"Ingat tagline akhir-akhir ini, harus jaga jarak aman!"
"Katakan..." Pintanya lirih.
Aku menatapnya, "Kita berbeda Kaysan."
"Kenapa aku slalu mengajakmu ke bukit dan ditepi jurang. Bahkan jika mau aku bisa membawamu langsung ke depan sini, tidak perlu bersusah-susah menanjak seperti tadi." Kaysan menunjukkan parkiran yang tak jauh dari tempat kami duduk. Bahkan parkiran itu bisa langsung menuju gubuk-gubuk kecil yang ku lihat tadi setelah menanjak, "Kenapa dipersulit?"
"Karena aku ingin mengajakmu ke tempat yang tinggi, lebih tinggi dari bukit ini."
Kulihat dalam-dalam mata Kaysan dan yang kulihat adalah ketulusan. Entah karena suasana yang begitu syahdu di malam Minggu. Atau hanyalah aku yang terlalu.
"Kenapa harus aku, kenapa tidak mencari gadis yang sebanding denganmu. Apa karena aku gadis biasa dan nantinya mudah untuk kamu bohongi?"
"Belum apa-apa kamu sudah curiga." Kini wajahnya ditekuk. Bahkan aku melihat guratan kekecewaan di wajahnya. Hatiku merasa teriris, bukan begitu maksudku.
Kenapa sekarang aku merasa bersalah, membuat hatinya patah. Membuat pangeran ini nelangsa karena cinta, aku benar-benar seperti gadis tidak tahu diri, tidak tahu diuntung. Rezeki nomplok ditolak mungkin pikiran reader seperti itu. Tapi aku hanyalah gadis biasa, tidak ada yang bisa aku banggakan. Aku pun juga terluka reader dengan perasaan ini. Rasanya sesak, menyakitkan. Ketakutan ku lebih besar dari pada perasaan ini.
Sejenak hening...
"Temui ibu Rosmini, kamu sudah tahu jawabannya."
*
Pembaca yg baik slalu meninggalkan Like setelah baca. Pokoknya aku padamu 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 255 Episodes
Comments
maytrike risky
Ya Allah mas kaysan😭
2023-11-06
1
maytrike risky
Wihhhhh🤭
2023-11-06
0
Biicandra
wqwq namanyaa anak rajaa biar nggak risi dikejar netijen. .😂😂
2023-05-09
0