"Apa benar yang dikatakan Ibunda tadi?" tanyaku sambil menatap Kaysan.
Kaysan fokus melihat kedepan tanpa menoleh ke arahku, "Katakan, apa maumu? Kenapa kamu bertindak terlalu jauh."
Mobil ini melaju kencang, aku mencengkeram rokku hingga tersingkap ke atas. Aku sudah takut, takut apa lagi kejutan yang akan dilakukan oleh Kaysan terhadapku. Bahkan dia tadi sudah meminta restu dengan ayahnya.
Apa dia sudah memikirkan segalanya. Lalu, bagaimana denganku. Aku masih ingin membungkam perasaanku.
"Turunkan rokmu, jika kamu tidak mau saya melihatnya." Dia masih fokus melihat jalanan di depannya. Tapi kenapa dia tahu rok ku tersingkap menampilkan paha putihku. Apa diam-diam dia meliriknya.
"Jawab dulu, apa mau mu?" tanyaku masih menyelidiki.
Tiba-tiba mobil berhenti tepat di tengah jalan. Lagi-lagi dia membuat jantungku berdetak tak karuan. Hari ini aku benar-benar merasakan jantungku berdetak berdenyut tak berirama. Aku benar-benar merasakan jantungku mengalami peningkatan sekaligus penurunan.
"Mau ku adalah kamu. Kamu menjadi bagian hidupku." Kaysan melepas sabuk pengaman. Menyampingkan tubuhnya menghadapku. Air mukanya terlihat serius, dia seperti sedang tidak main-main.
Tubuhku bergetar. Dia sedang mengutarakan isi hatinya. Dia tidak akan menembakku, 'kan. Aku harus menjawab apa, aku belum menyiapkan kata-kata yang pas untuknya. Bahkan ini ditengah jalan, mengerikan! Jika aku menolak dia tidak akan pergi dari jalan ini, lalu membiarkan truk tronton rem blong membuat kami mati bersama. Hidup abadi dalam kepedihan. Aku sungguh tidak mau!
"Kita bicara tapi tidak di tengah jalan. Aku tidak mau mati konyol denganmu!" kataku sedikit berteriak.
"Baik, menang seharusnya kita bicara lebih dalam."
Lebih dalam katanya! Sedalam apa Kaysan, sedalam lautan! Aku menggerutu kesal. Dia melajukan lagi mobilnya, entah mau dibawa kemana aku.
Kali ini ku biarkan tubuhku mengikutinya, mengikuti kemana saja dia mau. Paling tidak hari ini kita bisa membahas sesuatu yang pasti. Sepanjang perjalanan menuju entah, aku dan dia saling terdiam. Aku lebih memilih untuk bermain ponsel, mengabari Nina jika aku pergi dengan Kaysan. Jikalau ada sesuatu denganku, Nina sudah tahu harus mencari dimana diriku.
"Jaga diri, jangan melebihi batas."
"Apa'an, Nin! Sudah jelas kan memang harus ada batasnya. Kamu ih...,"
"Siapa tahu, terkadang cinta bisa membuat manusia begitu buta akan dosa."
"Kultum, kultum. Pending dulu ceramahnya. Aku butuh hiburan, Nin. Di dekatnya jantungku dari tadi rasanya mau copot."
"Makanya jujur saja. Kalau kamu juga suka sama dia. Kan enak, tahta, kasta, harta, pangeran ada di tanganmu Rinjani."
"Enak banget kamu bilang, itu bukan perkara mudah. Aku pikir-pikir sulit untuk dilakukan, Nina."
"Males ah, kamu belum apa-apa sudah nyerah."
"Kalau dia rakyat biasa aku mau-mau aja. Tapi 'kan kita beda Nin. Bagai jarak langit dan bumi, sudah ah. Aku juga kesel!"
"Ngambek! Kalau ada apa-apa, kabarin aku."
Nina mengakhiri pesanannya. Aku menaruh lagi HPku kedalam tas selempang yang aku pakai.
"Mau kemana? Jangan jauh-jauh besok aku harus kerja."
"Besok saya juga kerja." Tidak menoleh masih sibuk fokus melihat jalanan di depannya. Rasanya jantungku ingin meledak-ledak, salah siapa ini. Salah siapa?
Perjalanan yang kami lewati mulai menanjak, berkelok, tepian kanan terdapat jurang. Pencahayaan lampu jalan yang semakin jarang terlihat. Remang-remang tertutup oleh dedaunan yang menjuntai diatas jalan.
Dia mau membawaku kemana. Kenapa dia sangat misterius, aku semakin takut dibuatnya. Praduga buruk menghiasi isi kepalaku, kemana tujuan akhir Kaysan membawaku pada malam yang menunjukkan pukul sembilan lebih empat puluh menit.
*
Mulutku rasanya terbungkam saat tatapan itu melihatku. Dalam sekali, bahkan aku ikut menyelaminya.
Hingga tangannya meraih tanganku, tubuhku otomatis mundur ke belakang. Menempel lekat dengan pintu mobil.
"Jangan macam-macam!" kataku sambil menajamkan mataku, mencoba melepaskan tangannya. Semakin ku tarik, semakin di genggam.
"Jangan seperti ini, ayo kita bicara baik-baik." Menghela nafas, mencoba menetralkan nada bicara.
"Ayo kita keluar." Ajaknya sambil melepas tanganku. Melepas sabuk pengamannya dan keluar dari mobil, begitu juga aku.
Mobil berhenti tepat di pinggir jurang. Tepat diatas sini, kami bisa lihat banyaknya warna lampu dibawah sana.
Bahkan jalanan yang kami lewati tadi tampak kecil.
Kami sama-sama berdiri, menatap pemandangan malam ini. Angin menyapu wajahku, rok yang ku pakai melambai-lambai tidak jelas. Aku bingung, antara merapikan rambutku atau memegang rok ku.
Hingga akhirnya aku membiarkan rambut ku tergerai berhamburan tersibak angin malam. ternyata memakai rok begitu menyusahkan, tidak semudah saat memakainya.
"Pakai yang membuatmu nyaman."
Akhirnya Kaysan angkat bicara, setelah tadi hanya ada suara jangkrik yang mendominasi tempat ini.
"Apa harus ditempat sepi seperti ini jika hanya bicara."
"Karena di tempat sepi seperti ini, hanya aku yang bisa melihat mu." Kaysan beralih menatapku setelah puas menatap kerlipan lampu dibawah sana.
Jantungku berdetak kacau, aku dilanda gugup luar biasa. Aku kembali meremas rokku, saat langkahnya mendekat ke arahku.
"Kita hanya bicara, tidak lebih." Aku selangkah mundur, panik. Hingga aku tidak menyadari jika semak-semak yang ku pijak adalah titik akhir sebelum jurang gelap nan dalam.
Mataku membulat, Kaysan dengan cepat menarik tanganku, mendekap tubuhku yang bergetar karena takut.
"Tenanglah, tidak apa-apa." katanya lirih sambil mengusap lembut punggungku. Aku menyembunyikan wajahku tepat di depan dadanya. Aku bisa mendengar jantungnya berdegup kencang.
Apa dia mengkhawatirkan ku?
Lama wajahku bersembunyi, hingga tubuhku mulai merasakan tenang.
Ini jarak terdekat, bahkan saking dekatnya aku bisa merasakan hembusan nafasnya. Hangat, menyusup ke telingaku. Apa ini kesempatan dalam kesempitan, dia pandai. Ah, sial aku mulai masuk ke perangkapnya. "Kita pulang saja. Ini sudah larut." kataku sambil melepaskan pelukannya.
"Sebentar lagi." Mulaikan dia terbawa suasana, "Tempat yang tinggi memang memudahkan mu melihat semuanya, Rinjani. Tapi jurang itu bisa jadi malapetaka buat mu jika kamu tidak hati-hati." katanya sambil menatap kerlipan lampu dibawah.
"Lalu?" tanyaku heran dengan arah pembicaraannya.
"Kedudukan yang tinggi sama saja seperti tempat ini. Hanya tanggung jawab besar yang harus kami emban."
"Kamu tidak suka menjadi anak raja dan mewarisi tahta kerajaan?"
"Saya harus menjalaninya."
Wajahnya kini ditekuk.
"Ya memang harus seperti itu. Sudah ayo pulang." Aku sudah berbalik, tapi tangannya menggenggam tanganku, "Apa lagi?"
"Saya belum selesai bicara."
"Bisa tidak bicaranya aku dan kamu. Terlalu formal jika harus pake kata 'saya'." Akhirnya protes juga aku.
"Aku akan mengatakan semuanya Rinjani."
"Katakan, biar semuanya jelas." Aku menyandarkan tubuhku di pintu mobil, menyiapkan telingaku dan hatiku untuk mendengar suara hatinya.
Dia mulai bercerita tentang segalanya dari awal kita bertemu sampai detik ini kita bersama.
"Kita berbeda, Apa lagi yang mau kamu cari dariku? Bahkan kamu tahu pertemuan kita hanya karena hutangku dengan Ibundamu!"
"Kita tidak berbeda, kita sama-sama manusia. Sejatinya pacaran adalah saling mengenali masing-masing karakter yang kita miliki. Kita memang berbeda, perbedaan itulah yang aku cari."
Dia memegang kedua bahuku, aku cukup terkejut mendengarnya.
"Aku memiliki masa tenggang. Jawablah tanpa memaksa perasaan mu untukku."
Kini tinggallah aku sendiri dalam kebimbangan.
*
Cieee, cieee. Like jangan kasih kendor ya reader. Biar author juga gercep ngasih up-nya. 🤭🤭
Happy Reading 💚
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 255 Episodes
Comments
Gendis
Seneng sekali bs ketemu karya kakak sekeren ini 😍 selama ini aku kemana kok br ketemu author hi 😘
2023-11-01
1
Ida
Harta Tahta Kasta PANGERAN di depan mata 🙈😘
2023-07-24
0
Biicandra
wkwk hati hati rinjani nanti kalo kamu salah sedikit sajaa, kamu akan dipeluk dari belakang lalu huaaaaa di dorong. .😂😂😂😂😂
2023-05-09
0