Pukul 7 malam, aku mengendarai motor diboncengkan bapak ojol. Tanganku lagi-lagi dingin. Kali ini bukan Kaysan yang menemuiku. Tapi Rinjani yang menemui Kaysan. Aku merasa ada yang janggal dengan keadaan ini.
Semakin dekat dengan rumahnya semakin berdebar hatiku, semakin dingin tanganku.
Nanti bagaimana jika bertemu dengan Ibunda Ratu. Semoga saja beliau tidak membujukku untuk menjadi menantunya lagi. Semoga saja beliau sudah berubah pikiran.
Ku Amin'i do'aku sendiri sambil terkekeh geli.
Rasanya ingin aku akhiri cerita antara aku dan dirinya. Tapi kata author bahkan cerita ini baru saja akan dimulai. Aku mendengus sebal, author mau membawa ceritaku dan Kaysan sampai mana. Sampai perasaanku berdarah-darah, sampai kisah cintaku tak berujung. Atau sampai cintaku padamu tak pernah padam. Arghhh...,
"Mbak, mbak. Sudah sampai mbak."
"Hmm, hmm..."
"Mbak, sampai mbak."
"Ah, ya." Aku melihat sekeliling, benar ini tepat di depan gerbang rumah Juwita Ningrat.
"Terimakasih pak." Aku membayar uang ongkos dan melepas helmku. Memakai kondisioner tanpa bilas dan merapikan rambutku. Ku genggam erat tentengan paperbag berwarna coklat berisi jaket Kaysan, sambil berjalan mendekati pos penjagaan.
"Permisi..." kataku sambil melongok ke dalam pos penjagaan.
"Kamu lagi kamu lagi!" Parto mendekatiku dan membukakan pintu gerbang.
"Kaysan ada?" tanyaku tak peduli dengan tatapan Parto terhadapku. Apa penampilanku aneh, aku bahkan ikut melihat penampilanku dari atas ke bawah.
"Ada apa dengan penampilanku?" Akhirnya daripada bingung aku tanyakan saja langsung.
"Ada perlu apa mencari mas Kaysan?" selidiknya lagi.
Aku mengangkat paperbag yang aku tenteng dan menunjukkan pada Parto. "Ini, aku hanya perlu mengembalikan ini." Akhirnya Parto kembali masuk ke pos jaganya.
"Tunggu, ini sudah larut untuk bertamu, Paham!" Seperti Parto ingin mempersulitku.
"Bilang saja, dicari Rinjani. Dia nanti akan senang." kataku dengan percaya diri.
Aku lihat Parto mendengus kesal dan mulai memencet tombol telepon kabel di dekatnya. Bercakap-cakap dengan pihak dalam sambil melototkan matanya tajam.
Mataku berkeliaran bebas melihat sekeliling, pura-pura tidak tahu dengan tatapan itu.
Parto keluar dari pos penjagaan, dia mengunci pagar gerbang dan berjalan mendahuluiku, "Ayo." katanya memandu jalanku.
Aku mengikuti langkah kakinya, menyusuri taman disamping rumah utama. Mataku berkeliaran mengamati setiap inci taman ini dengan teliti. Cahaya lampu taman menambah kesan romantis, cahayanya temaram seperti sketsa rembulan versi kecil. Ditambah lagi dengan bunga-bunga yang ditata rapi, tanaman hias yang di rawat begitu indah dan elok dipandang mata.
Sejuk sekali bahkan hawa dingin mulai menyusup melalui cela lebar dari rok rample yang aku pakai. Apa karena pakai rok penampilanku jadi aneh, kenapa aku jadi hilang percaya diri.
Aku diam sejenak, melihat penampilanku dari atas ke bawah.
Memang aneh, aku sendiri menyadarinya.
Tapi masa bodoh, niatku kesini hanya untuk mengembalikan jaket saja. Tidak lebih!
Dari kejauhan aku lihat punggungnya, menghadap pancuran air di depannya. Tangannya seperti menggengam sesuatu.
Suara gemericik air semakin terdengar, itu tandanya semakin dekat jarakku dengan Kaysan. Tanganku semakin dingin, perutku sudah keroncongan, entah kenapa jika gerogi perutku suka keroncong sendiri.
Padahal tadi sudah makan, dua porsi lagi nasi angkringan.
Parto berdehem membuyarkan lamunannya, dia berbalik. Menaruh toples berisi pelet ikan dan melihatku.
Kaysan tak menghiraukan Parto, dia mengibaskan tangannya menyuruh Parto pergi. Parto membungkukkan badannya dan berlalu pergi kembali ke tempat kerjanya.
Berjarak tiga meter darinya. Kini tinggallah aku sendiri, mendudukkan kepalaku karena malu. Malu melihat penampilanku sekaligus malu melihat tatapan itu.
Tidak ada yang bersuara, kami hanya saling berdiri. Mempermainkan jarak.
Hingga suara nyaring membuatku dan Kaysan menoleh bersamaan.
Do'aku tidak di ijabah, Gusti.
Juwita Ningrat berjalan mendekatiku, senyumnya sumringah. Langkah kakinya pelan namun pasti. Karena keluarga ningrat diharuskan untuk berjalan pelan-pelan, anggun, santun.
Aku tersenyum dan mengangguk, membungkukkan badanku sopan. "Ibunda Ratu." Aku mencium punggung tangannya.
"Kebetulan Rinjani kesini, ayo kita makan malam bersama." ajaknya membuat mataku membulat, ini diluar ekspektasiku. Makan malam bersama Raja dan Ratu, sekaligus paket lengkap dengan anaknya.
Bukannya kenyang aku malah semakin gerogi. Tingkat kecemasanku meningkat cepat, wajahku pias. Jika menolak aku sama saja tidak menghormatinya. Jika mengiyakannya sudah dijamin aku akan mati kutu, kaku seperti kanebo kering.
"Ehm, ehm..., ini sudah malam Ibunda Ratu. Aku kesini hanya mau mengembalikan jaket mas Kaysan." Aku menggoyangkan paperbag yang aku bawa. Jelasku membuat Juwita Ningrat menatap Kaysan. "Jaket! kenapa jaket Kaysan ada di tanganmu. Apa kalian habis bertemu?" tanya Juwita Ningrat sambil tersenyum-senyum. Entah apa yang ia pikirkan, pasti sudah diluar jangkauan kepalaku.
"Kay, kamu gercep." Juwita Ningrat mengacungkan jempolnya.
Ini apa lagi coba, apa ada kongkalikong antara mereka berdua.
Ibunda ratu menarik tanganku mendekati Kaysan. "Ajak makan malam bersama kami, Kay. Biar Ayahanda bisa mengenal gadis yang kamu bicarakan tempo lalu di kerajaan."
Sekarang aku memikirkan apa yang Kaysan bicarakan dengan Raja. Kira-kira apa ya, sebenarnya ada apa ini. Kenapa mereka begitu terbuka menerimaku.
Kaysan masih diam ditempatnya. Dia hanya menatapku tanpa mengeluarkan suara.
"Kay, bicara Kay. Jangan hanya diam." Juwita mencubit perut anaknya. Kaysan mengaduh, "Sakit Ibunda." sambil mengusap bekas cubitan ibunya.
"Gimana mau dekat, kalau bicara saja kamu masih pelit." Juwita Ningrat menarik paperbag ku, lalu menaruh ke tangan anaknya. "Simpan baik-baik, jika perlu di laminating itu jaketmu bekas dipakai Rinjani." Celotehan Juwita Ningrat membuatku semakin lama semakin mencoba berpikir, sejauh mana Kaysan dan orangtuanya membicarakanku.
Juwita Ningrat menarik tanganku, entah mau dibawa kemana. Langkahku terus mengikutinya. Mataku berkeliaran bebas, merekam semua yang aku lihat dalam ingatanku.
Banyak sekali ornamen khas Jawa, patung-patung unik dengan gaya khas yang nyentrik. Lukisan-lukisan keren tergantung rapi dan bersih, sudah dipastikan jika lukisan ini amat mahal harganya. Hingga mataku menangkap potret Kaysan memakai baju surjan khas yang digunakan untuk kunjungan ke Keraton Panembahan Senopati.
Kakiku terus melangkah, hingga mataku terpincing saat mendapati meja makan berbentuk oval dengan ukiran-ukiran etnik seniman lokal. Berbahan kayu jati pilihan.
"Rinjani, perkenalan dirimu dengan Ayah Kaysan." Juwita Ningrat tersenyum, menarik tanganku lagi mendekati Sultan Agung Adiguna Pangarep. Beliau tersenyum ke arahku, jantungku berdetak tak karuan. Mobat-mabit seperti diarena konser metal.
Aku membungkukkan hormat. Menjulurkan tanganku untuk bersalaman dengan beliau.
"Rinjani, Ayahanda Raja." Ku cium punggung tangannya.
Tangan kiri beliau mengusap kepalaku, "Jadi kamu gadis anak preman yang membuat putraku mengemis restu kepadaku."
Aku mendongak, "Restu, restu apa Ayahanda raja?" tanyaku bingung.
"Sejauh mana kalian berdua melangkah?" tanyanya lagi semakin membuatku bingung.
Aku menggaruk tengkukku, merasa bingung sendiri, "Maaf, maksudnya apa ya Ayahanda Raja?"
Juwita Ningrat menatapku, menjelaskan maksud dari perkataan Sultan Agung. Aku ternganga, jantungku rasanya berhenti berdetak. Rasanya jarum jam berhenti berputar, kenyataan apa lagi ini. Bahwa Kaysan sudah melangkah lebih jauh untuk mendekatiku.
"Kami berbeda, Ibunda Ratu dan Ayahanda Raja. Tidak sepantasnya kami bersama." kataku lirih.
Kaysan tiba-tiba muncul dari balik pintu yang berbeda, bukan pintu yang aku lalui tadi.
"Jangan dipaksa, biarkanlah aku dan dia yang menjalaninya." Seperti dia mendengar percakapan kami bertiga, dia duduk di dekat ayahnya. Aku masih berdiri dilanda bimbang sendiri.
"Baik, baik. Mungkin ini terlalu cepat, jadi Rinjani ayo kita makan malam dulu. Lalu, biar nanti kamu pulang diantar Kaysan." Juwita Ningrat menarik bangku kursi untukku, karena ingin menghormati mereka akhirnya aku ikut larut dalam jamuan makan malam yang sudah tersaji rapi.
Malam semakin larut, kini hanya ada aku dan Kaysan dalam satu mobil yang berjalan...,
Bersambung.
Jangan lupa like ya, karena hanya dari like dan komentar positif kalian aku merasa semangat nglanjutin cerita ini. 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 255 Episodes
Comments
roempoet liar soe
😍😍😍😍😍
2023-06-24
1
T.N
ikuti saja apa kata hati Jani
2023-02-23
0
jhon teyeng
budaya yg sdh mengaakar dan tersemat dihati warganya, jd jika bkn dari kalangannya akan merasa rikuh, good kak ceritamu👍
2022-08-08
0