Hujan begitu lama mengguyur pedesaan ini, angin lembah yang begitu dingin menampar wajah ku. Aku begitu tenang sekaligus kedinginan.
Jaket ini adalah penyelamat. Hidungku bahkan mengendus parfum maskulin dijaket ini, begitu harum hingga menyesakkan nafasku.
Aku melihatnya, tatapan matanya begitu dalam. Disini ditempat kami duduk, kami seperti terpojok oleh rintiknya hujan.
Dibangku kecil ini, dia terlihat begitu kontras dengan keadaan sekitar, tanah merah pasti akan membuat sepatu kotor. Jika dilihat penampilannya sekarang dia seperti sedang mau kondangan. Apa dia sebenarnya mau kondangan, kenapa dia membuatku seperti merasa bersalah dengan mengantar kami kesini. Bahkan aku yakin, dia juga belum makan siang, kenapa? kenapa dia terlihat membuatku merasa bersalah dan menyiksanya seperti ini, Astaga.
Aku bisa terkena petisi jika pulang dari sini dia terkena magh atau asam lambungnya meningkat. Rasanya aku ingin menggeram. Mengacak-ngacak rambutku, frustasi sendiri dengan keadaan ini.
Sebenarnya dia kenapa sih, kenapa harus mendekatiku. Dia tidak takut apa melambungkan hatiku lalu menghantamkannya ke dasar bumi.
"Kay..." panggilku.
Dia menoleh, tapi cukup kaget dengan panggilanku. Sepertinya dia juga hanyut terbawa suasana.
"Iya, apa?" jawabnya pelan, sambil menatapku, senyumnya seperti itu membuatku gelisah.
"Kamu, ehm..." Aku menimbang-nimbang pertanyaan, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk menanyakannya, "Kamu lapar tidak?"
Dia semakin tersenyum, semakin membuatku ingin menyusupkan wajahku di tanah lempung. Menyembunyikan rasa maluku, padahal kalau dipikir-pikir itu hanyalah pertanyaan sepele.
"Kamu sendiri lapar tidak, bukannya tadi hanya sarapan roti dan susu kotak." Jawabnya semakin membuatku ingin menghilang dari sini. Melayang terbawa angin, pergi sejauh mungkin.
"Ehm, sebenarnya kamu mau kemana? Kenapa seperti ingin pergi ke kondangan." tanyaku penasaran.
Senyumnya tiba-tiba meredup, dia mengamati penampilannya dari atas ke bawah, "Apa aku terlihat seperti itu?"
Aku mengangguk, "Jadi benar kamu mau pergi ke kondangan?"
Aku melihat kepala Kaysan menggeleng, "Jadi aku salah kostum. Aku tidak tahu harus pakai baju apa saat menemui seorang gadis."
Dadaku semakin sesak dibuatnya. Ingin ku pukul-pukul dadaku. Begitu pula tawaku yang ingin meledak mendengarnya.
"Ya, kamu memang seperti ingin pergi kondangan. Memakai baju batik, celana jeans dan sepatu semi formal. Atau kamu mau menjadi guru untuk anak-anak didalam."
Aku menahan tawa, perutku sudah mengeras dibuatnya. Jadi sedari tadi pagi dia kebingungan mencari baju yang cocok untuk menemuiku. Ah, ternyata dia lucu juga. Lucu sekali. Aku pikir anak raja ini akan slalu sepaneng.
"Besok-besok pakai baju santai saja, tidak perlu terlalu formal. Tapi itu terserah kamu, kamu juga harus menjaga image, bukan." Jelasku sambil tersenyum, "Apa yang membuatmu nyaman ya pakai saja, tidak perlu mendengar pendapat dari orang lain."
"Bagaimana jika aku nyaman denganmu?"
Kaysan menatapku dalam, aku tercengang mendengarnya. Rasanya aku ingin cepat-cepat mengudara. Satu atap dengan Kaysan membuat tubuhku tidak nyaman. Dia tidak sadar, berdekatan dengannya membuat hatiku semakin meronta.
Sejenak menjadi hening, hanya tatapan mataku terus menatap matanya. Menyelami setiap pantulan yang tersirat di dalamnya, pantulan mata penuh harapan.
Satu jam rasanya seperti sewindu, kenapa aku tidak masuk saja ke dalam menemani Nina. Kenapa aku malah terjebak dengan satu oksigen yang sama dengan Kaysan.
Berlama-lama duduk disebelahnya, membuat kakiku menjadi kaku. Aku ingin berdiri, tapi kakiku menolak mentah-mentah.
"Kamu belum jawab pertanyaanku."
Kaysan membuka percakapan, setelah 15 menit hanya ada dalam keheningan. Bahkan rasanya suara Nina di dalam terdengar samar-samar. Rasanya hanya ada aku dan Kaysan yang menikmati hujan.
"Pertanyaan yang mana?" tanyaku.
"Bagaimana jika aku terlanjur nyaman denganmu, bagaimana jika kamu adalah tulang rusukku yang hilang dari bagian tubuhku."
Tanganku gemetar, tubuhku seketika lemas. Bahkan mulutku menjadi bisu. A-ku, a-ku terlalu takut untuk itu. Tanpa terasa tubuhku berangsur mundur, aku lupa jika disampingku sudah tidak ada bangku tersisa.
Aku dan pikiranku terjerembab dalam tumpukan sendal anak-anak yang basah terkena cipratan air dan lumpur.
"Kamu kenapa? Kamu tidak apa-apa kan?" Kaysan ingin menarik tubuhku dengan tangannya, bersamaan dengan itu aku menepis tangannya. Kaysan cukup kaget melihat penolakanku, "Aku bisa sendiri."
Aku berusaha berdiri, celanaku cukup kotor. Bagaimana nanti saat aku masuk ke mobil Kaysan, yang ada hanya akan membuat interiornya kotor.
Nina berlari ke arahku, "Kenapa, Rinjani?"
Nina tidak menatapku, dia menatap tajam ke arah Kaysan.
"Aku terpeleset, Nin. Bawa tisu basah tidak? Celana ku kotor." tanyaku sambil melinting jaket Kaysan yang kebesaran.
"Ada ditas, ambil aja. Bentar lagi kita selesai. Acara penutup terus pulang. Aku lapar, Jani. Kita mbakso yuk." Ajak Nina, mataku mendelik. "Dingin-dingin enaknya mbakso Jani." Senyum Nina begitu mengembang, rasanya aku tidak bisa menolak. Tapi bagaimana dengan Kaysan, "Bilang sama bos dulu, mau tidak." Aku masuk ke rumah belajar, mencari tisu basah, membersihkan celanaku.
Selang 30 menit acara belajar mengajar selesai. Aku mendekap jaket itu saat kami bertiga memutuskan untuk pulang saat hari menjelang sore.
Sudah dipastikan perut kami bertiga keroncongan, kami melewatkan makan siang. Perasaan bersalah semakin membesar. Bayangan jika sepulang dari sini Kaysan sakit semakin menghantuiku.
Tanggung jawabnya lebih besar dariku, bagaimana jika pekerjaannya terbengkalai karena AKU.
"Rinjani, aku sudah tidak kuat menopang berat badanku." Keluh Nina sambil memegang perutnya.
"Apa lagi aku, aku tidak kuat memapah tubuhmu. Diamlah, anggap saja puasa."
"Tapi aku tadi belum niat untuk puasa, Rinjani." Nina tidak mau kalah kali ini jika urusannya dengan makanan.
"Mas Kaysan, bisakah kita makan dulu di pinggir kota. Aku sudah tidak bisa lagi menahan perutku yang berbunyi dari tadi."
Akhirnya jurus terjitu Nina keluar juga. Aku melihat Nina berharap, jika mobil Kaysan berhenti di depan rumah makan.
"Mau bakso beranak? Aku melihat kedainya tadi saat berangkat kesini."
Nina mengangguk dengan cepat. "Boleh, boleh. Beranak pinak yang banyak, tidak perlu ikut program KB." Nina tertawa, aku dibangku belakang hanya menggeleng melihat tingkah lakunya.
Berjarak 1 km dari pertigaan batas kota, kami bertiga sampai di kedai bakso beranak pinak.
Nina turun dari mobil dengan bersemangat. Aku dan Kaysan mengikuti langkah Nina dibelakangnya.
Nina memesan apa yang dia inginkan, dua porsi bakso jumbo beranak.
Fyuhh, bagaimana dia tidak over weight.
"Kalian mau pesan apa?"
"Bakso beranak satu aja, Nin. Cintaku berat ditimbangkan nanti."
"Mas Kaysan kalau Rinjani gendut tetap mau kan?" tanya Nina pada Kaysan, aku melihatnya mengangguk. "Do'akan saja dia mau denganku."
Belum makan baksonya, aku sudah ingin tersedak.
"Tuh, Jani. Dia tidak memandang fisik. Jadi sayang loh Rinjani. Ini kesempatan langka." jelas Nina sambil menyeruput teh hangatnya.
Aku memilih diam, hingga bakso yang kami pesan datang. Kepulan asap kuahnya menari-nari liar dilubang hidungku, gurih.
Kami bertiga mulai larut dalam semangkuk bakso jumbo.
Pandangan orang-orang terlihat mengarah ke arah kami bertiga. Membuatku tidak nyaman, begitu juga Nina dan Kaysan.
Sepertinya mereka paham siapa laki-laki yang duduk di depanku.
Kami dengan cepat-cepat, menghabiskan porsi makanan kita.
Kaysan menaruh satu lembar uang seratus ribuan di atas meja. Dia buru-buru masuk ke dalam mobilnya, aku dan Nina saling melempar pandang. Ikut berlari kecil masuk ke mobil Kaysan.
"Maaf membuatmu tidak nyaman." kataku sambil menutup pintu mobil.
"Tidak, tidak apa-apa. Harusnya saya yang minta maaf, membuat kalian tidak menikmati baksonya." Perlahan mobil Kaysan keluar dari area parkiran, melesat cepat ke arah jalanan perkotaan.
Entah apa yang akan terjadi lagi setelah ini, yang jelas hatiku akan semakin dibuat tak karuan.
Kita berbeda,
Kita berbeda.
Hanya itu di pikiranku.
Aku yang lelah merasa mataku terlalu berat untuk terbuka. Perlahan tapi pasti mataku mulai terpejam.
*
Jangan lupa Like dan favorit ya. Biar gak ketinggalan cerita ini. 💚
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 255 Episodes
Comments
Dede Dahlia
beranak pinak ga usah KB.si Nina ada aja bayolannya 🤣🤣🤣
2024-02-27
0
maytrike risky
Ya Allah🤣🤣🤣
2023-11-06
1
maytrike risky
Maluuuuuuuuu😭
2023-11-06
0