...Aku t'lah tahu kita memang tak mungkin...
...Tapi mengapa kita selalu bertemu?...
...Aku t'lah tahu hati ini harus menghindar...
...Namun kenyataan ku tak bisa...
...•••...
Aku mendengar baik-baik lagu itu dari radio yang Kaysan hidupkan.
Aku memilih untuk duduk di bangku belakang sedangkan Nina duduk di depan bersama Kaysan. Aku tidak sanggup jika harus berdekatan dengan Kaysan, jantungku pasti sudah meloncat-loncat seperti kodok. Mengorek dengan nada berharap. Berharap sesuatu yang ada di dalam sini tersampaikan.
...Senyuman itu. Hanyalah menunda luka....
Aku seperti terbawa suasana lagu itu, hingga panggilan Nina membuyarkan lamunanku.
"Apa?" kataku.
Nina menoleh ke arahku. "Biasanya kalau ada lagu ini kamu suka nyanyi, kenapa sekarang hanya diam, Jani."
Aduh Nina kenapa harus bilang, rutukku dalam hati. "Suaraku hilang, Nin." jawabku malas.
"Bukannya lagu ini yang mewakili perasaanmu?" Nina menoleh ke arahku dan ke arah Kaysan secara bergantian. Sementara laki-laki itu hanya menjadi pendengar yang baik.
Aku menaruh jari telunjukku di depan bibirku. "Teman yang baik tidak mengumbar rahasia temannya." kataku sambil menyandarkan tubuh ke jok mobil.
"Iya - ya." Akhirnya Nina memilih diam, tapi senyumnya terlihat mencurigakan.
Aku tak peduli, aku hanya terus menatap pemandangan di luar jendela. Kalau biasanya kita naik motor dan berkali-kali berhenti untuk membetulkan barang bawaan. Kini semua terasa dipermudah berkat tamu di pagi hari yang sudah menyomot jatah makanan anak-anak.
Aku sudah berjanji untuk menganggapnya teman, aku harus menerimanya.
Meskipun harus ada jarak. Aku takut permintaan menjadi mantu oleh Ibunda Ratu dianggap menjadi hal yang harus ia lakukan. Aku tahu di kerajaan, perintah Raja dan Ratu tertulis atau tidak harus dipatuhi oleh rakyatnya termasuk juga anak-anaknya.
Aku menatap Kaysan lamat-lamat.
Sesekali memang tatapan kita bertemu, tapi aku langsung menghindar. Begitu seterusnya hingga akhirnya mobil Kaysan sampai ke tempat yang kami tuju.
Dari jauh anak-anak berlarian untuk segera mengerumuni mobil Kaysan karena sangat jarang mobil keren melintasi kawasan mereka. Mereka seperti terkagum-kagum, berusaha mendekati tapi takut jika pemilik mobil itu galak. Bisik-bisik terjadi dari bibir ke telinga yang berdekatan.
Aku tersenyum lebar. Mereka tidak tahu jika yang datang itu aku dan Nina. Apa lagi membawa sang Pangeran yang pasti mereka tidak tahu siapa.
Nina cekikikan, "Anak-anakmu, Jani. gumunan."
"Mbel, anak-anakmu juga, Nin." Aku terkekeh, sedangkan Kaysan masih dengan mulut terkatup. Dia diam tapi mengamati.
"Turun, aku butuh oksigen." kataku lugas.
Musim hujan menjadikan kawasan ini terlihat menghijau, dedaunan pohon jati mulai berkuncup dan berkembang, rumput-rumput khas pegunungan dan lembah yang subur. Menjadikan kawasan di bawah bukit ini sering di terpa angin lembah yang dingin. Berbeda sekali dengan waktu musim kemarau, kering kerontang, gersang dan panas.
Kaysan membuka pintu mobil secara otomatis, aku dan Nina turun. Disambut anak-anak yang kaget melihat guru abal-abal mereka datang. Padahal ini sudah telat dari jam biasanya. Tapi mereka masih semangat menunggu kami.
"Miss Jani..., Mbak Nina...,"
"Miss Jani..., Mbak Nina...,"
Mereka berebut mencium tanganku dan Nina. Aku dan Nina tersenyum dan mengelus kepala mereka satu-persatu. Jumlahnya tidak banyak, cuma di hitung pakai jari.
Kaysan keluar dari mobilnya, lalu membuka pintu bagasi. Wajah bocah-bocah ini semakin terkagum-kagum melihat siapa laki-laki tampan yang aku bawa itu.
"Mbak, bagos tenan mas'e. Pacarmu mbak? Bocah bernama Tian ini langsung dijewer oleh Nina, "Cah cilik gak usah ngomong pacaran."
"Tapi Mbak..." Nina menempelkan jari telunjuknya di bibirnya, "Salim karo mas'e." kata Nina sambil menunjuk Kaysan.
Bocah-bocah ini sontak mengantri bersalaman dengan Kaysan yang memberikan senyum tulusnya yang baru pertama kali aku lihat.
Aku mengambil barang bawaan di bagasi mobil, mengendong tas ranselku dan menurunkan barang bawaan, begitu juga Nina. Sedangkan Kaysan akhirnya asyik bercicit ria dengan anak-anak yang sempat ia curigai tadi.
Selesai bersalaman dengan Kaysan, anak-anak langsung menyerbu masuk ke dalam rumah belajar. Berebut tempat paling depan.
Ruangan disini tak cukup besar, bahkan kita harus duduk di atas lantai beralaskan tikar. Dindingnya terbuat dari kayu hasil kebun warga disini, salah satu penghasilan tambahan dari menebang pohon. Sayang sekali, padahal pohon disini juga termasuk pohon pelindung dari bencana alam seperti longsor.
Kehadiran Kaysan disini membuatku kehilangan fokus dan Nina menyadarinya, "Be your self, Miss Jani." kata Nina sambil menepuk bahuku.
Aku menghela napas panjang, aku lihat Kaysan juga duduk bersila dibelakang anak-anak. Senyumnya mengembang seperti biasanya. Benar-benar mengacaukan hatiku. Tapi aku juga kasian, biasanya dia mendapatkan kursi terhormat, sekarang dia harus duduk sama rata dengan rakyat biasa. Tapi semoga dia mengerti.
Aku berdehem, mulai memberi materi dan mengajari mereka bergantian hingga
akhirnya pelajaran bahasa Inggris berlangsung seperti biasanya, aku dengan senang hati mengajari anak-anak satu persatu. Tertawa dan meledek seperti biasanya. Bahasa Inggris yang mereka ucapan terdengar medhok ditelinga dan itu lucu.
Sejenak tatapanku tertuju padanya, mata yang aku akui sedari tadi tak lepas dari menatapku. Tatapan yang menakutkan hatiku, aku terlalu takut untuk jatuh cinta kepadanya dan sepertinya aku menjadi seorang pengecut untuk kali ini.
•••
Pelajaran berakhir tepat adzan Dzuhur berkumandang. Kami berbondong-bondong ke mushola karena ini peraturan dari Nina, tidak boleh meninggalkan sholat lima waktu.
Kaysan berjalan mendahuluiku dan Nina karena nampaknya dia mulai akrab dengan anak-anak.
Aku merangkul bahu Nina. Menyandarkan kepalaku di bahunya yang empuk.
"Tidak perlu dipaksakan, jika memang jodoh pasti ada jalannya. Jika tidak, berteman pun sudah cukup. Tidak perlu takut." nasihat Nina yang aku angguki.
Kami tiba di mushola, aku mengambil air wudhu dan mulai ikut mengisi shaf. Tapi
entah kenapa sholat kali ini tidak khusyuk seperti biasanya. Pikiranku berkelana entah kemana, lebih tepatnya memikirkan laki-laki yang berjarak tiga meter dariku. Dia sedang menjadi imam. Syahdu sekali suaranya.
Selepas sholat Dzuhur selesai, mendung menyelimuti langit siang ini. Angin berhembus dengan kencangnya, mengubah suasana segar menjadi dingin. Berulang kali aku mengusap lenganku, aku lupa membawa jaket karena pagi-pagi tadi aku sudah kacau dan terburu-buru.
Kaysan melihatku, ia berjalan ke mobilnya dan mengambil sesuatu. Sesuatu berwarna hitam, yang ia bawa ke arahku. Aku mulai panik, karena Nina sudah di dalam ruang belajar sedangkan aku hanya duduk di luar tepatnya dibangku kayu buatan warga setempat.
"Pakai ini, nanti kamu sakit." Kaysan menaruh sesuatu berwarna hitam tadi ke tanganku.
Aku melebarkannya, "Jaket?"
"Ya, pakai jaket itu. Sepertinya hujan akan turun." kata Kaysan sambil duduk disampingku, jarak kami hanya menyisakan sejengkal tangan. Dia begitu dekat, aku mulai dirundung kepanikan saat jantungku mulai berdetak tak karuan. Ini bukan jarak aman, aku takut dia mendengarnya.
Aku memakai jaket itu, benar saja hujan begitu lebat mengguyur siang ini.
Aku dan Nina was-was, atap yang terbuat dari asbes ini jika tak kuat menahan derasnya hujan pasti akan ambrol.
Aku meremas tanganku yang dingin. Gugup.
"Segitu tidak nyamannya kamu di sampingku?" Kaysan mulai bicara, tapi sepertinya ada sesuatu yang tercekat di tenggorokanku. Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu, aku hanya diam. Harap-harap cemas dengan dua kemungkinan.
Ambrolnya dua pertahananku siang ini. Hati dan atap peneduh ruangan ini.
*
Jangan lupa like ya, terimakasih juga untuk komentar positifnya 💚
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 255 Episodes
Comments
Devinta ApriL
kak Viviii😁nama anakku seng mbarep nyangkut kegowo gowo disini si Tian😍😍
2023-03-10
0
Harianjalisdawati
ini sudah yang ke2 kali aku nacanya saking enak ceritanya
2022-10-28
0
ayu irfan
maafkan aku terlanjur mencinta 😓
2022-10-19
0