Rabu - Kamis - Jumat - Sabtu.
Itulah nama-nama hari yang aku lalui tanpa hadirnya pemilik senyuman yang berarti. Entah kenapa aku merasa sedikit kehilangan, tidak ada lagi senyum yang perlahan menghiasi relung hatiku. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa ada yang kurang.
Padahal jika di telisik lebih dalam pertemuan ku dan Kaysan belum sebanyak jumlah jariku. Jika bertemu pun, tak lebih dari satu jam. Ini bukan tanda-tanda ingin memiliki bukan?
Rasanya aneh. Aneh sekali, ingin ku buang si aneh yang terlalu mengusik ketenangan hariku. Lucu sekali, dia sepertinya benar-benar mengunakan aji-aji semar mesem. Aku takut, apa aku sudah terjerat dengan esemannya. Sepertinya aku harus banyak-banyak berdoa, sholat tahajud dan istiqoroh untuk menghapus semua esemannya dari pikiranku.
Aku mengutuk hatiku yang mulai tidak tahu diri. Aku harus ingat siapa aku dan siapa dia. Kasta kami berdua sangat jauh berbeda. Layaknya seperti langit dan bumi. Dia anak Raja dan seorang Pangeran. Berdarah biru khas para bangsawan yang memiliki banyak keistimewaan, sementara aku anak preman.
Aku harus paham, sepaham-pahamnya. Rasa kehilangan itu hanyalah sebuah situasi genting biasa. Biarlah berlalu, seperti angin yang menerpa wajahku. Biarlah dia seperti oksigen yang ku hirup setiap waktu. Tidak terlihat tapi nyata adanya.
Hari Minggu.
Dari pukul setengah tujuh pagi aku sudah bergegas berjalan ke pasar karang gayam. Kemarin aku gajian full ditambah gaji lembur. Aku bahagia, separuh untuk membayar hutang keluarga Nina, separuh lagi untuk hidupku satu bulan ke depan.
Di pasar karang gayam, aku sengaja memakai masker. Aku ingin mencari keberadaan bapakku, paling tidak aku harus mengunjungi bandot tua Broto Dimejo karena hanya dialah orang yang slalu bapakku tuju. Jujur aku malas sekali menemui si perut gendut itu. Apa lagi senyum nakalnya, sungguh menjijikkan.
Aku hanya terpaksa sekaligus butuh karena aku juga harus mencari buah tangan untuk anak-anak di rumah belajar nanti. Paling tidak isi ranselku penuh berjejalan antara buku pelajaran dan makanan. Begitu juga dengan Nina, bisa di bayangkan aku dan Nina membawa tas ransel penuh, dua kardus berisi pakaian dengan hanya membawa satu motor. Tubuhku yang mungil ini sekalinya kena hempasan aja pasti langsung jatuh ke belakang.
•••
Aku membeli beberapa jenis makanan, kini tinggallah satu tujuan terakhirku, Ruko beras milik Broto Dimejo.
Jarakku dan ruko itu terbilang cukup hanya lima meter. Aku mengawasi dan memantau keadaan dari tempatku berdiri di balik kios pedagang buah-buahan. Aku seperti mata-mata, tapi bukan mata-mata hebat seperti Jasmine Adriana di novel author satunya. Kiss The Rain. Dia keren sekaligus wonder woman, tapi sayang cintanya dengan gembong narkoba membuatnya harus pontang-panting memikirkan bagaimana nasibnya. Tapi endingnya aku suka. Karena sebuah pengorbanan pasti ada hasilnya.
•••
Pengintaianku mencari bapak sia-sia, dua preman yang mengejarku waktu itu ada di depan ruko itu. Daripada bonyok lagi, aku memilih untuk pulang ke toko. Aku sudah janjian dengan Nina jam delapan nanti.
Masih ada waktu setengah jam lagi untuk bersiap-siap. Entah kenapa aku semakin cinta untuk jalan kaki. Meski terbesit keinginanku untuk beli motor baru, tapi karena 15 juta itu sudah dilabeli menjadi jumlah hutang. Akhirnya aku semakin mengurung keinginanku untuk membeli sebuah motor.
Asyik berjalan sampai ke toko Bu Rosmini, aku menyadari ada mobil BMW hitam berhenti di depan parkiran toko.
Bukannya tutup dan ada tulisan Dilarang parkir kecuali pengunjung toko pulsa & laundry, kenapa masih ngeyel, apa orang kaya sebebas dia.
Aku tak ambil pusing karena pagi ini aku tak mau cari masalah, suasana hatiku harus ku jaga sampai nanti ketemu anak-anak di rumah belajar. Jika moodku sudah ambyar, bahasa Inggris yang amat mudah untukku, rasanya akan sulit ketika anak-anak menanyakan hal-hal sepele.
Aku melintasi jalan di sebelah pintu kemudi. Tiba-tiba pintu itu terbuka dan menghalangi langkahku. Aku ikuti alur tangannya yang memiliki tangan berotot dan memakai jam tangan keluaran produk G-Shock sampai sanggup melihat parasnya. Aku dapati pemilik senyuman itu sedang tersenyum kepadaku.
Entah kenapa jantungku berdetak lebih cepat, seperti waktu lari marathon di kejar preman pasar. Aku memegang dadaku, takut dia copot dari tempatnya.
"Kenapa? Apa kamu masih menganggap saya hantu yang mengusik ketenanganmu?" Kaysan keluar dari mobilnya dan berjalan ke arahku. Tubuhku otomatis mundur ke belakang hingga akhirnya membentur tembok pembatas.
"Ada apa pagi-pagi kesini?" tanyaku menyelidiki, "Bukan mau ngelaundry atau isi pulsa kan, hari ini toko tutup!" Aku menunjuk ke arah rolling door.
"Tidak, hanya ingin melihatmu saja." jawabnya masih dengan senyuman itu.
"Oh... Maaf aku harus mandi dan pergi." kataku ingin buru-buru menyudahi pertemuan ini, aku takut.
"Kemana?" alisnya bertemu seperti penasaran.
"Aku harus pergi ke pinggir kota, maaf. Aku sudah janji dengan Nina." Aku melihat jam pergelangan tangannya, "Sudah jam 8 kurang, aku harus siap-siap."
Tubuhku sudah ingin menjauhinya, tapi tangannya menahan lenganku. Aku menatapnya.
"Ada apa? Nina pasti sudah otw kesini, anak-anak juga pasti sudah menungguku." jelasku, dan alisnya semakin tertaut penasaran.
"Anak-anak siapa? Kamu tidak..." Dia melepas lenganku dan menjaga jarak.
"Dangkal sekali pikiranmu, sudahlah aku mau mandi. Pulang sana." ucapku sambil mendorong tubuhnya.
"Jelaskan dulu siapa anak-anak yang kamu sebutkan tadi."
Kaysan mengikuti langkahku, sedangkan aku sibuk membuka gembok rolling door dan mengangkatnya ke atas, lagi-lagi dia ngeyel. Bersusah payah aku menaik-turunkan rolling door ini.
Aku yang kesal akhirnya beralih duduk di anak tangga, "Capek."
Aku mengambil makanan dan minuman di kantong plastik, "Sarapan dulu, mungkin aku kurang tenaga." kataku menyemangati diriku sendiri.
"Apa tamu tidak kamu tawari juga untuk sarapan?" Kaysan duduk di sampingku sambil membuka plastik bawaanku, "Banyak sekali, untuk apa?" tanyanya heran sambil mengambil makanan dan minuman yang sama seperti punyaku.
"Sudah aku bilang untuk anak-anak!" Aku mengunyah roti tanpa berselera. Hingga akhirnya seorang penyelamat dalam hidup ku datang juga. Dia parkir di dekat mobil Kaysan. Tatapannya mengarah kepadaku, lalu tatapan mata penuh tanda tanya terarah ke laki-laki yang duduk disampingku.
"Jadi pergi tidak, kenapa masih pakai baju tidur?"
"Rolling doorku ngeyel, Nin. Coba tolong kamu buka." pintaku pada Nina.
"Kenapa tidak minta temanmu ini, dia kan laki-laki." Nina menatap Kaysan, sepertinya dia tidak paham siapa orang di depannya.
"Laki-laki ini tidak paham, lihat saja dia malah makan jatah anak-anak nanti." Aku menunjuk Kaysan yang masih asyik makan rotinya dan menyeruput susu kotak ditangannya.
"Laki-laki memang tidak peka. Gak jauh beda sama Aswin." keluh Nina sambil mengamati baik-baik wajah Kaysan. Dan sontak wajah Nina tiba-tiba pucat pasi.
"Kok dia kayak anu ya, Jani. Wajahnya kadang terlihat di baliho-baliho situs pemerintahan. Apa dia anu, Jani."
"Anu, anu, anu. Makanya kenalan, Nin. Biar kenal, biar akrab." Aku terkikik. Kaysan menepuk-nepuk tangannya. Menghabiskan susu kotaknya dan menjabat tangan Nina.
"Kaysan, calon Rinjani."
Nina terperanjat, "Waduh, bisa di pecat aku jadi rakyatnya."
Nina mengangguk-angguk sopan di depan Kaysan. Aku yang melihat terkekeh dibuatnya.
"Kapok." kataku sambil berdiri dan mencoba mengangkat rolling door lagi.
"Nin, bantu doa Nin." Wajahku sudah tegang, rolling door ini sungguh menyebalkan.
"Wegah." Nina duduk di anak tangga, duduk di samping Kaysan.
"Yowes, gak jadi pergi aja. Aku belum mandi. Barang bawaanku juga masih di dalam. Batalin ajalah." Aku ikut duduk di samping Nina.
"Bau, jangan dekat-dekat. Aku sudah mandi, Jani." jelas Nina sambil mendorong tubuhku.
"Terserah, aku mau ke rumah Bu Rosmini. Mau protes." jelasku pada Nina sambil menyaut kunci motornya.
Kaysan menahan tubuhku, "Jawab dulu, siapa anak-anak yang mau kalian datangi?"
"Nin, jelasin siapa anak-anak yang mau kita datangi, kalau perlu sebutin juga emak dan bapaknya." aku melepas paksa tangannya, "Aku pinjam motor sebentar." sambil menurunkan barang bawaan Nina.
*
Pagi ini aku meninggalkan Nina dan Kaysan berdua di depan toko. Terserah mereka mau membicarakan apa, aku sudah ingin protes ke ibu Rosmini tentang rolling door ngeyel.
Sesampainya di rumah Bu Rosmini, aku melihat rumahnya sepi. Berkali-kali aku memencet bel rumahnya, tidak kunjung ada orang yang keluar sekalipun itu pembantunya. Rasanya aku ingin mengumpat, pagi ini benar-benar ambyar.
Aku memutuskan untuk kembali ke toko, sesampainya di toko aku melihat rolling door sudah terbuka. Aku melihat dua orang tadi sibuk memasukkan barang bawaanku dan Nina ke bagasi mobil Kaysan. Setelah turun dari motor aku masuk menghampiri Nina, "Loh, loh. Mau di bawa kemana, kenapa bisa di buka?" tanyaku heran.
"Bisa, karena dibuka pake doa dan cinta." Nina menunjuk ke arah Kaysan.
"Lalu maksudnya apa itu?" Aku tunjuk bagasi yang masih terbuka.
"Kita mau diantar sama kangmas Kaysan, Jani. Katanya dia mau melihat kondisi rumah belajar anak-anak di pinggir kota sambil jalan-jalan!"
•••
Terimakasih buat yang sudah mengikuti cerita ini. Jangan lupa, Like n Vote ya 💚💚💚
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 255 Episodes
Comments
Dede Dahlia
Jani,nina bener manggil Kaysan ada embel²nya kangmas.lah kamu cuman Kay Kay aja 🙍♀️🤣🤣
2024-02-27
0
maytrike risky
Wusssss😅
2023-11-06
0
maytrike risky
Iya nin, dia emang anu🤭
2023-11-06
0