Mendung pekat menyelimuti langit kota sore ini, aku terpogoh-pogoh menyauti jemuran yang jumlahnya hingga ratusan. Sendiri tak ada teman, di kejar hujan yang perlahan rintiknya membasahi bumi rasanya aku benar-benar seperti di kejar setan. Gawat!
Aku yang tergesa-gesa sulit membedakan baju-baju dengan tag nomer yang sama. Semua aku tumpuk asal dalam satu keranjang. Biarkan saja, nanti bisa aku pilih lagi, yang penting jemuranku tidak basah lagi. Kalau iya, aku harus mencucinya lagi, mengeringkan lagi, dan menjemur lagi. Itu rasanya lebih berat karena mengulangi kegiatan yang sama alias *m*indo gaweni.
Selesai menyaut semua pakaian, hujan lalu begitu cepat mengguyur kota sore ini, aku mengeringkan peluhku dan duduk bersimpuh menatap jemuranku dengan tidak bersemangat.
Kekurangan pekerja membuatku kewalahan jika mendapat orderan Laundry Ekspres. Apa lagi saat musim berganti dengan rona hitam yang slalu menghiasi langit bumi. Musim yang di nantikan banyak daerah yang kerap mendapat imbas musim kemarau, kekeringan. Hujan datang, tanah gersang yang berubah menjadi tanah kembali subur dan menghasilkan hasil panen, hasil kebun yang lebih menguntungkan.
Hujan slalu datang membawa berkah bagi setiap manusia yang mengilhami setiap tetes air kehidupan. Tapi jika hujan datang, aku slalu rindu pada ibu.
Wanita yang slalu berteriak sewaktu Rinjani kecil slalu mengendap-endap keluar dari rumah lalu berlari-larian dengan anak tetangga. Merentangkan kedua tangan dan menari-nari di bawah derasnya hujan sampai kedinginan, sampai terkencing-kencing di celana.
"Masuk, Jani. Nanti masuk angin." teriak ibu sambil melambaikan tangannya, "Jani, pulang!" teriaknya lagi dengan raut wajah yang serius. Suaranya yang terdengar bersahutan dengan air hujan membuat Rinjani kecil tetap asyik dengan hujan. Tak mempedulikan ibu yang khawatir dan marah.
Aku termenung menatap hujan yang berimbas pada basahnya kaca toko.
Andai Rinjani kecil tidak ngeyel, mungkin ibu tidak akan pergi meninggalkan ku dengan bapak yang tak memperhatikanku.
Aku berbalik, memisahkan pakaian yang habis aku sambar cepat-cepat tadi sesuai nomer tag pelanggan.
Malam menjelang, hujan bukannya semakin reda, hujan semakin menjadi-jadi ditambah gelegar petir yang menyambar berulang kali membuatku bergidik ngeri.
Aku sudah menyiapkan amunisi, sebuah lilin dan senter serta merta mengisi daya ponselku. Paling tidak jika harus mati listrik, aku tidak merasa begitu kesepian, sendiri tak terperikan. Lebih-lebih walaupun pecinta musik underground aku adalah seorang penakut. Takut dengan hal-hal goib yang sering Nina ceritakan.
Dan jika ia sudah bercerita tentang dunia mistis, bukan main. Begitu fasih, begitu paham juga nama-nama beken para hantu yang Nina ceritakan. Mulai dari candy ghost, Miss K, hole lady, dll. Entah karena dia ini pandai berdoa dan hafal doa-doa pengusir hantu, dia tidak takut sama sekali membicarakan yang tak kasat mata.
Katanya kita hidup berdampingan, bisa jadi dia sekarang sedang mendampi...
Aku tergeragap. Tiba-tiba listrik mati, sungguh tidak tahu apa jika jantungku masih deg-degan habis menceritakan tentang hantu. Aku kan jadi takut dan parno sendiri.
Aku berdiri, buru-buru aku mengambil senter dan menghidupkan lilin. Aku menyaut kunci dan berlari keluar mengunci pintu kaca. Jika mati listrik, pesan Bu Rosmini untuk menutup toko saja. Baiklah, aku bisa santai. Paling tidak aku bisa rebahan dulu sebelum nyetrika lagi.
Asyik rebahan dengan cahaya temaram lilin yang bergoyang-goyang, pikiranku mulai terangkat lagi ke awang-awang. Tentang hujan, lilin, dan para hantu tadi. Aku menyorot keadaan sekitar, Alfamart yang terang dengan bantuan genset. Toko-toko di sampingnya redup dan hanya menggunakan lilin sampai ku lihat bayangan hitam melesat ke depan pintu.
Aku yang hanya duduk di bawah lantai langsung bersembunyi dibalik etalase. Memberanikan diri untuk mengintip.
Bayangan itu masih ada, tak bergeming dari tempatnya.
"Kenapa betah sekali, apa dia numpang neduh?" tanyaku dalam hati.
Berpikir tentang 'numpang neduh', Nina pernah bercerita jika saat hujan lebat datang, kadang ada Miss K yang suka numpang neduh di atas plafon rumah.
Aku mulai menyorot plafon di atasku, bersusah payah menelan ludah. Bagaimana jika ada Miss K yang numpang neduh di plafon ini? kemudian tertawa dengan nyaring karena menertawakanku yang ketakutan.
Buru-buru aku meniup lilin, mengambil beberapa uang, ponsel, dan payung. Tergesa-gesa aku membuka pintu kaca sambil membawa senter, berlari keluar dan menabrak bayangan yang berdiri di depan pintu.
Rasanya nyata, seperti aku menabrak seseorang. Aku beranikan diri melihat bayangan hitam tadi.
Dia berbalik dan menyeringai lebar.
"Selain cerewet, kamu juga penakut ternyata."
Aku menatap Kaysan dari atas ke bawah. Kakinya menapak di lantai. Aku mencubit lengannya, dia sedikit kesakitan.
"Nyata, bukan hantu." kataku pelan dan mengangguk.
"Apa aku menghantui pikiranmu, sampai kamu mengira aku adalah hantu?"
Tanpa sadar aku mengangguk.
Dia tersenyum.
Karena ketakutan sepertinya membuat otakku tidak sinkron. Sepertinya dia salah paham. "Bukan, kamu bukan hantu dan tidak menghantui pikiranku." jelasku memastikan bahwa dia tidak menghantui pikiranku.
"Baik, aku memang bukan hantu. Tidak mungkin hantu bisa berbicara denganmu." katanya lagi, tersenyum.
"Mau ambil pesanan? Aku ambilkan, aku sudah buru-buru mau pergi." tergesa-gesa aku masuk ke dalam toko lagi, menaruh payung lagi di tempatnya. Mengambil laundry bag milik Kaysan dan menyerahkannya.
"Tidak baca pesanku kemarin?" tanyanya sambil melihat isi tasnya.
"Maaf, saya tidak pantas mendapatkan itu semua. Lebih baik di bawa saja ke panti asuhan." kataku sambil mengetuk-ngetuk kaca etalase, "Nota?" lanjutku lagi tanpa melihat ke arah Kaysan.
"Baik, saya akan bawa ini ke panti asuhan. Sesuai permintaanmu." Kaysan menyerahkan notanya dan beberapa lembar uang.
"Too much." Aku mengambil satu lembar uang dan menyerahkan kembalian untuknya.
"Terima kasih." Aku mengibas tanganku, mengusirnya. Aku sudah ingin keluar dari situasi genting atas pikiranku sendiri. Aku terlalu mensugesti diriku dengan cerita-cerita horror yang Nina ceritakan.
"Saya mau isi pulsa." katanya lagi sambil mengeluarkan ponselnya.
"Voucher saja, isi pulsa sudah tidak zaman." kataku, tapi tangannya sudah menggenggam pulpen dan menulis di lembar kertas khusus isi pulsa dan pembelian voucher.
Baiklah, bersikap manis Rinjani. Pembeli adalah Raja. Ingat pepatah itu!
Aku melihat nomer dan nominal yang ia tulis. Mengetik di ponsel Nokia dan menunggu laporan pengiriman.
"100.500," kataku menyebut jumlah yang harus dia bayar.
"Kenapa harus 500, kenapa tidak 1 aja." protesnya.
"500 saja mas, dari sananya memang 500." jelasku melawan. Masak lima ratus aja masih di tawar sih.
"Kalau satu kan, jadi 100.001 cara untuk mendapatkanmu." katanya sambil tersenyum, lagi-lagi senyuman itu.
Aku terperanjat, ini orang mau ngelucu apa ya bahkan di saat mati lampu seperti ini. Kalau orang pacaran mungkin terbilang romantis. Lha ini, Rasanya aku mau tertawa. Terlihat garing banget dan gak sesuai karakternya.
"Baik terserah mas saja, suka-suka mas. Sekarang bayar dulu." Aku mengetuk-ngetuk kaca etalase. Benar saja dia mengeluarkan uang dengan jumlah yang pas. Termasuk uang koin lima ratusan.
"Baik, terima kasih. Kalau gitu mas keluar, saya mau tutup." Aku menunjuk jam yang menggantung di tembok sebelah kiri. Hari ini tepat pukul setengah sembilan malam.
"Selamat istirahat, Mbak. Mimpikan saya lagi di setiap malammu." Kaysan keluar tanpa melihatku yang melongo karena ucapannya.
"Bener-bener aneh mas!"
*
Masih tahap kejar-kejaran seperti film India. 🤭🤭
Jangan lupa like ya, 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 255 Episodes
Comments
Dede Dahlia
aku ngebayangin Kay,perhatian tapi kesan cuek tapi sok soan romantis hadeuh aku susah ngedeprisikannya 🤭🤣🤣🤣
2024-02-27
0
maytrike risky
Jani😭
2023-11-06
1
mbog ma
🤣🤣🤣🤣
mosok jani ngga meleleh hloh..
2023-10-24
0