Ini tidak biasa... Dulu sebelum aku memiliki hutang dengan orang tua Nina, hari Minggu adalah hari yang slalu aku nantikan untuk beristirahat sebagai bentuk mencintai diri sendiri dengan sederhana setelah enam hari tubuh ini bekerja secara maksimal. Tapi Minggu kali ini seperti hari-hari biasanya, aku membuka kios dan memulai rutinitas wajib sebelum memegang setrika.
Aku merapikan voucher pulsa dan kartu perdana, membungkus baju-baju yang akan di ambil ke tas laundry dan membersihkan lantai. Hari ini aku memilih untuk tidak menyetrika, hanya mencuci saja. Alasannya aku lelah!
Semalam aku mimpi buruk. Aku merasa seperti dikejar-kejar sesuatu, layaknya sebuah film aksi. Aku lari dari sesuatu yang terus mengikut, sesuatu yang tidak aku yakini apa. Aku tidak sanggup terus berlari, aku diam. Dalam kebingungan yang tidak berkesudahan, langkah-langkah yang aku lakukan secara abstrak aku mencarinya, alhasil bangun tidur tubuhku menjadi pegal-pegal.
Akhirnya demi kebaikanku sekarang, aku yang sudah lapar dan mengantuk menurunkan separuh rolling door.
Aku pergi ke dapur, membuat mi rebus rasa soto dengan sebutir telur. Selesai memasak, aku membawa semangkuk mi masuk ke dalam toko, namun ketika aku melihat sepasang kaki berdiri di depan toko batal sudah rencana untuk menikmatinya.
Aku mendengus seraya mendorong ke atas rolling door yang tampaknya mendadak kurang pelumas ini. Rasanya sulit sekali mengangkatnya ke atas seolah ada sesuatu yang menahannya.
"Tumben banget sih begini..." Aku menggeram pelan sebelum membungkuk untuk memberi penjelasan tentang pintu kios yang mendadak seret ke seseorang yang ada di luar.
"Maaf kak... "
"Kak? Kamu memanggilku kakak?"
Suara itu? Aku mendelik dengan tubuh yang tiba-tiba membeku saat rolling door yang kupegang bergerak ke atas dengan lancar. Tak lama setelah itu laki-laki yang menggagalkan sarapan pagiku masuk ke dalam toko.
Aku beringsut dengan kesal. Dia pasti yang menahan rolling door tadi, dia sengaja cari perkara!
"Mau apa kamu ganggu aku lagi, Kay?"
Dia membawa tas laundry yang cukup besar. Dan, menaruhnya sendiri di timbangan.
"Lima kilo beratnya." katanya memberi tau. Kelakuan semakin parah sewaktu dia mengambil nota dan menulis jumlah kilonya lalu memberi nama dengan sebutan 'Pengacau Mingguku'.
Aku menyerah, tidak sanggup lagi mendebatkan sebutan Pengacau Mingguku karena dia memang mengacaukannya.
"Memangnya di rumahmu yang besar itu tidak ada mesin cuci? Pelayanmu baru malas nyuci baju?" kataku galak.
Kaysan melipat kedua tangannya. Dengan tidak senang dan penuh kehati-hatian dia bilang, "Baru dua hari kamu ke rumahku, kamu sudah tahu ada mesin cuci dan pelayanku yang pemalas?"
Aku mengepalkan kedua tangan. Kenapa sih dia pintar melempar umpan. Hobi sampingannya sebagai pemancing apa ya? Mancing perkara.
"Apa maumu datang ke sini lagi?"
"Mau laundry... ini kamu sudah melihatnya."
Oke... Harus aku urus laki-laki ini dengan baik.
"Mau laundry ekspres atau biasa?" tanyaku tanpa mau menatapnya. Aku kepikiran mi rasa sotoku yang aromanya sesekali terendus hidung ini.
"Lebih baik yang mana menurutmu, Jani?" Dari ekor mataku Kaysan menatap rak setrikaan. " Kalau cepat-cepat nanti kamu capek sendiri, jadi yang biasa saja."
"Oke." Aku mengangguk. "Kalo gitu sekarang kamu pergi sana... Aku banyak kerjaan!"
"Banyak kerjaan atau mau sarapan? Itu... sarapan saja dulu nanti keburu dingin, tidak enak." katanya sambil mengetuk-ngetuk pulpen di etalase.
"Kalau biasa kapan jadinya?"
"Minimal tiga hari baru jadi."
"Lama sekali. Bagaimana kalau besok aku ambil?"
"Itu sih sama aja kamu minta laundry ekspres!" sahutku galak. "Dua hari!"
"Baiklah... Dua hari lagi kita bertemu."
Aku berkata ih... dengan raut wajah heran. "Permintaan Ibundamu itu ngawur, jadi tolong jangan ganggu aku lagi karena aku..."
"Kamu lucu... cantik."
Aku hampir tersedak dibuatnya bahkan aku sulit bernapas dengan lancar setelahnya.
"Itu kata Ibundaku. Kamu lucu... cantik, tapi juga kasian."
"Terus..."
Kaysan menundukkan kepala. "Tolong menolong itukan bagian dari sesuatu hal yang bisa aku lakukan sebagai sesama manusia. Jadi..."
"Jadi ganggu aku terus itu bagian dari caramu menolongku?" sergahku kesal. "Aku itu bisa, udah biasa... jadi tolong... aku mau sarapan!" ucapku sambil mengibaskan tangan.
"Kamu pergi sana, Kay!"
"Ya sudah aku pamit pulang. Kamu nyucinya yang bersih, itu spesial soalnya." Kaysan menyelipkan notanya ke dalam dompet hitamnya seraya berjalan beberapa langkah sebelum menoleh. "Semoga hari Minggunya menyenangkan."
Aku menghempaskan tubuh ke kursi plastik.
Sudah sarapanku harus tertunda karena datangnya pembeli yang menyebalkan minta ampun, kini aku harus menikmati mi yang sudah hangat kuku.
"Aku akan menganggapnya sebagai penglaris usaha Bu Rosmini. Ini rejekinya didatangi orang kaya, siapa tahu besok jadi langganan."
Setelah isi mangkokku tandas licin tanpa sisa, aku mengambil tas laundry Kaysan di timbangan dan mulai membongkar isinya.
Aroma baju baru dan label pakaian membuatku terheran-heran.
"Yakin, ini baju-bajunya. Baju cewek ini mah, apa ini untuk adiknya makanya buru-buru?" Aku mengintip isi tasnya. Secarik kertas berwarna merah muda kuraih.
Buatmu Rinjani, di pakai dan berhentilah memakai celana pendek di atas lutut! Itu tidak sopan.
Aku membuang catatan itu. Maksudnya apa coba dia mengatur cara berpakaianku? Memang dia siapa? Bapakku bukan, teman apalagi. Ngawur.
•••
Next.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 254 Episodes
Comments
Dede Dahlia
tuh Rinjani,rolling aja patut sama anak raja lah kamu malah ngeyel 🤣🤣🤣🤣
2024-02-27
1
may
Ecieeee
2023-11-06
0
mbog ma
🤣🤣🤣
ternyata kalo pangeran nge gombal kaya gitu ya
2023-10-24
0