"Kamu lagi kamu." Aku langsung teringat pesan Bapak ojek online tadi, perempuan jangan galak-galak, tidak baik. Terus aku harus gimana kalau nggak marah-marah karena dia yang ganggu aku terus!
Aku mendengus sebal saat mendapati Kaysan turun dari mobil. Tapi aku tak melihat senyum menyebalkan itu karena bibirnya tertutup oleh masker. Hanya matanya yang serius yang melihatku.
Aku membuang muka, berusaha tak mempedulikannya. Namun bukannya tahu aku tidak membuka diri, dia semakin mendekat. Aku seketika menjauh, melangkah gegas namun ragu sampai di sudut pagar tepat di bawah lampu kota.
Aku merasa terancam, jantungku mulai berirama kencang. "Berani mendekatiku, aku teriak!" kataku galak.
Kaysan menarik tanganku alih-alih menjawab, dan kami saling menatap dalam diam yang menegangkan.
"Ikut aku." ucapnya serius.
Aku jelas-jelas menolaknya, kutarik tanganku dengan kuat. Tapi tanganku mungil, tangannya berotot. Aku kalah. Aku mulai dilanda panik berlebih, mana ini sudah lebih dari jam dua belas malam. Ojek online pesananku mana lagi? Habis bensin, ban bocor atau ke mana sih...
Kaysan menarikku sampai ke dekat mobilnya. Tanpa persetujuan, dia membuka pintu mobil dan mendorongku masuk ke dalam. Aku tersentak. Terlebih-lebih aku takut, badannya lebih besar dariku, tegap dan penuh wibawa. Matanya memancarkan aura seorang laki-laki dewasa yang benar-benar mempunyai daya magis tersendiri.
Aku gemetar, pasti dia hanya mau antar aku pulang. Dia nggak punya niat apa-apa kan? Dia laki-laki baik, bukan seperti Bapak! Lebih baik aku jangan galak-galak dulu biar selamat sampai tujuan. Hanya saja aku tetap ingin keluar dari mobil ini. Ini tidak nyaman. Aneh. Aku sudah bilang urusan hutang selesai, jangan ada apapun lagi.
"Buka pintunya, Kay!" Aku memencet tombol di pintu mobilnya berkali-kali, masa bodoh kalau ada yang rusak, tapi Kaysan malah melepas maskernya dan tersenyum santai.
"Tidak bisa di buka." jelasnya tanpa bersalah.
Oh astaga, orang asing ini maunya mengurung seorang gadis di tengah malam? Mau menculikku? Ya, aku masih menganggapnya orang asing meskipun dia anak orang penting yang disegani banyak orang.
"Aku sudah tak memiliki hutang dengan Ibundamu, Kay. Jadi untuk apa kamu masih menguntitku? Kamu stres?" cibirku saat Kaysan fokus melihat jalan di depannya sambil mengemudi.
Jalanan malam ini terbilang cukup lengang dari kendaraan lain hingga Kaysan memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Aku mencengkram tas ranselku. "Ini bukan jalan ke tempat kerjaku, Kay. Mau di bawa ke mana aku?" teriakku.
Kaysan menoleh singkat. "Memang siapa yang mau bawa kamu ke tempat kerjamu?"
Oh sial. Aku harus gimana? Teriak-teriak tidak penting dan kita celaka? Aku sontak mulai gelisah, benar-benar gelisah.
"Aku bakal lapor polisi, kamu culik aku. Kamu melakukan perbuatan tidak menyenangkan!"
Kaysan menyunggingkan senyum. "Lakukan saja, saya tidak takut."
Aku meremas ranselku lebih kuat dan menatap Kaysan yang sama sekali tak memedulikan ketakutun yang terpancar dari wajahku.
"Mau dibawa ke mana aku?" tanyaku tak menyerah, tapi sama sekali tidak dijawab. "Ayolah, Kay. Jangan main-main sama anak melarat sepertiku. Carilah gadis berdarah biru yang layak mendampingimu."
Ketenangan diwajahnya hilang, ekspresinya kini tersiksa karena ketegangan yang aku tidak tahu kenapa.
"Kay..., dengar tidak? Aku ini dari tadi ngomong sama kamu, tanya kamu! Kok kamu seenaknya sih, apa ada yang keliru kemarin uangnya? Ada yang palsu sampai kamu ganggu aku terus?" Nada bicaraku meninggi.
Tubuhku tersentak ke depan lalu ke sandaran kursi mobil sewaktu Kaysan menekan pedal rem dengan cepat tepat di tengah jalan raya.
Dadaku mengembang-mengempis tak karuan sambil melihat sekeliling. Ini kalau ada truk gandeng atau bus sumber Kencono yang melintas gimana. Mau ngajak aku mati bersama?
"Menepi Kay, jangan di tengah jalan!" seruku.
Tubuhku gemetar, benar saja bus malam lintas Jawa timur-jogja melintas dengan kecepatan tinggi tepat di samping mobil Kaysan tak lama kemudian. Aku menunduk dan menutup wajahku, mobil Kaysan bergoyang imbas dari cepatnya laju bus itu.
"Kamu takut?" Kaysan berdehem. Aku tidak menjawab. Jengkel. "Gadis pemarah ini takut rupanya." Dia menarik sudut bibirnya seolah mengejekku yang betul-betul ketakutan.
"Jangan mentang-mentang kamu punya kuasa terus bertindak semuanya, Kay. Aku bukan mainanmu!" Aku mencoba mengatur napasku tapi Kaysan dengan wajah datar dan senyum terbaiknya malah terlihat seperti mendapatkan guyonan tengah malam.
"Apa maumu, Kay?" ulangku untuk kesekian kalinya, dan kita jawaban yang aku terima hanyalah cuek.
Aku membuang muka, lebih memilih menatap sekiranya pemandangan di luar mobil dan memilih tidak peduli mau di bawa ke mana diriku di waktu yang sudah menunjukkan pukul satu dini hari ini. Aku berani kalau dia sampai macam-macam, aku lapor polisi biar nanti dia dan keluarganya malu. Apalagi keluarganya pasti menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dan tata krama dalam semua hal-hal baik dalam kehidupan sehari-hari.
•••
Mobil berhenti di depan kios Bu Rosmini.
Dan aku yang sudah memiliki prasangka jelek tentang Kaysan meliriknya tidak enak. Kaysan tadi hanya mengajakku keliling kota, menikmati suasana yang amat berbeda dari keramaian siang hari. Rasanya sungguh berbeda. Sepi yang menentramkan dan begitu magis kota ini, kota Jogja. Tapi lagi-lagi aku harus menyingkirkan getaran-getaran aneh yang merambat di benakku.
Semoga Kaysan tidak menganggap ini sebagai kencan dadakan karena bagiku dia tetaplah penculik yang sedang kurang kerjaan.
"Makasih sudah antar aku pulang, Kay."
"Saya terpaksa." sahutnya lebih cepat dari yang aku duga. "Turunlah, saya tunggu sampai kamu masuk ke dalam!"
Aku pun mengangguk, lebih cepat lebih baik. Hampir subuh ini. Aku sudah mengantuk. Dan dini hari yang sunyi ini, ditengah rak hasil setrikaan dan aroma parfum literan, aku tak habis pikir lagi dengan maksud Kaysan yang terucap sebelum aku keluar dari mobilnya.
Sesuatu yang tak kuduga, sesuatu yang nyaris membuat langkahku tersandung.
"Sudah seminggu saya diam-diam melihatmu, Jani." Begitu katanya dengan ekspresi biasa, bahkan dia memanggilku dengan panggilan 'Jani'. Apa dia berusaha mendekat karena panggilan 'Jani' biasanya digunakan orang-orang yang mengenalku cukup lama.
Aaa... Stres... Aku nggak tahu harus mengatakan apa. Aku nggak paham kenapa dia harus mengikutiku selama seminggu itu. Apa dia menilaiku diam-diam? Walau sederhananya aku jadi tahu dia mempunyai sifat pengintip dan penguntit, astaga. Aku benar-benar tidak mengerti, andaikan juga dia suka kepadaku apa iya aku bakal terima? Percaya diri boleh, ngarep jangan Rinjani!
Bibit, bebet dan bobot harus dia perhitungan, belum masalah weton. Ya ampun... sudahlah daripada aku pusing dan naif lagi memikirkannya aku tidur saja. Biar tenang, biar tidak perlu memikirkannya. Tapi akuemikirkannya sampai mimpi ternyata. Sial.
•••
Happy reading.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 254 Episodes
Comments
may
Aku langganan sumber selamat bun😭
2024-10-31
0
Miswa Ryani
ekhem,,,, Kulo Lo mesam-mesem piyambak😍🤭
2022-07-05
0
Santoso Zha
yoi
2022-06-29
0