Setelah nasi gudeg yang menjadi sogokan seminggu yang lalu. Kini berbagai macam nasi sering datang ke tempat kerjaku. Dari mulai nasi goreng kambing, nasi bakar ayam kampung, nasi padang dengan lauk rendang, hingga nasi - nasi yang memiliki nama beken seperti nasi yang ku sebutkan tadi.
Aku merasa bersyukur, sungguh ini menghemat uang jajanku. Tapi aku sekaligus di rundung rasa kelabu karena aku tak memahami arti dari setiap nasi yang diberikan Kaysan untukku. Rasanya aku ingin menemuinya, hanya untuk berterima kasih saja tidak lebih.
Yakin, tidak lebih. Ngeyel!
Sudah seminggu pula, aku menghabiskan waktu di toko pulsa sekaligus laundry ini. Menghabiskan hari untuk bekerja dengan tumpukan baju di keranjang dan setrika uap. Aku berusaha tidak mengeluh, ini semua ku lakukan untuk diriku sendiri.
Bukannya apa yang kita lakukan akan berbalik juga pada diri kita sendiri. Percaya saja, nanti akan berbuah manis seperti buah mangga yang sudah masak kulitnya. Dan, aku percaya Tuhan slalu baik dengan caranya.
Aku kadang berpikir untuk tidak memusingkan diri dengan semua nasi pemberian Kaysan. Anggap saja itu adalah salah satu buah manis kesabaranku.
Nanti akan ku balas dengan doa agar rezekinya slalu lancar karena hanya Do'a yang bisa ku panjatkan untuknya dalam setiap sujudku, sebagai tanda terima kasihku.
•••
Hari ini malam Minggu, aku sudah berniat untuk berpesta pora dengan Nina di gedung RRI. Karena band favoritku sedang ingin mengajakku bermain olahraga malam, seperti headbang atau hanya sekedar ikut menikmati atmosfer circel pit. Berkali-kali Nina mengirimku pesan untuk cepat datang. Tapi, karena aku mengambil jam lembur setiap hari jadi waktu senggang ku hanya setelah pukul sembilan malam. Itu semata-mata ku lakukan untuk cepat-cepat mencicil hutangku pada orang tua Nina.
•••
Kelar...! Aku memutuskan untuk memesan ojek online. Sambil menunggunya datang aku mandi secara kilat. Lima menit, yang penting bau sabun mandi. Semprot parfum sana-sini, sisir rambut, pake sepatu sneaker, tutup rolling door dan menunggu.
"Mbak Rinjani..."
"Ya, saya."
"Maaf, lama. Tadi isi angin dulu."
Aku mengangguk dan memakai helm.
Selama di perjalanan aku hanya sibuk bermain ponsel. Melihat run down dan foto-foto yang sudah tersebar di laman media sosial.
"Masih ada dua jam lagi, semoga death vomit belum main," gumamku.
Tiba-tiba helmku berbenturan keras dengan helm milik bapak ojek online.
"Kenapa ngerem mendadak, pak?" tanyaku sambil membenarkan helm dan memundurkan tubuhku, untung aku menaruh tas ranselku di depan. Jika tidak, sesuatu yang memalukan pasti terjadi.
"Anu, anu mbak. Ada mobil yang motong jalan." jawabnya patah-patah. Mungkin karena kaget juga, bapak tadi jadi tergagap.
"Bapak tadi tidak nyenggol spionnya kan?" tanyaku sambil melihat mobil itu malah berada tepat di depan motor bapak ojek online. Berhenti lagi.
"Enggak mbak, suwer. Mbak - mbak, waduh." katanya dengan suara panik.
"Kenapa pak, lewatin aja kita gak salah kok!"
Aku mulai gelisah, gimana nanti kalau band favoritku sudah one stage. Ntar aku lihat apa, Sampah berserakan atau orang yang sudah pada teler dan bau keringat.
"Mbak - mbak. Orangnya kesini." kata bapak ojek online sambil turun dari motornya. Aku yang bingung ikut pula turun dari motornya. Dan betapa terkejutnya saat aku melihat siapa pemilik mobil tadi yang seenaknya memotong jalan kami.
"Kaysan...!"
"Ehm, hai." katanya sambil tersenyum kecil.
Apa dia tidak merasa bersalah, pikirku berang. Enak sekali motong jalan orang, mentang-mentang orang berkuasa
"Ayo pak, kita jalan lagi." ajakku pada bapak ojek online.
"Mbak tidak tahu siapa dia?" tanya bapak ojek online dengan terheran-heran karena melihatku dengan tidak sopannya memanggil anak raja tanpa menambah embel-embel kebangsawanannya.
"Saya tahu pak, ayo pak. Nanti keburu kelar acaranya." ajakku lagi tanpa diindahkan bapak ojek online tadi. Dia malah asyik ber-swafoto dengan Kaysan yang tampak asyik pula meladeni bapak ojek online yang berkali-kali tunduk hormat kepadanya.
Aku yang sudah tidak sabar menunggu, akhirnya naik ke atas motor dan menghidupkan mesinnya, "Kalau bapak tidak segera naik, nanti ku bawa pergi motor ini!" kataku sambil mengegas motor di gigi nol.
"Jangan mbak, nanti istri saya marah." Tergesa-gesa ia menyudahi fotonya dengan anak paduka Raja.
"Ya sudah, ayo." Aku menatap Kaysan dengan sebal, sedangkan dia hanya tersenyum melihatku.
Aku tak peduli untuk apa dia seperti itu. Huft... tanpa sadar aku membawa motor itu dengan kecepatan penuh.
"Mbak saya jantungan nanti. Pelan-pelan saja."
"Diam, tidak tahu apa kalau aku sudah di buru waktu." kataku sewot.
"Sepertinya mas pangeran tadi suka dengan, Mbak."
Nahkan mulai nglantur bicaranya. Aku tak menggubris.
"Aku lihat dari sorot matanya, Mbak. Seperti saat aku menatap istriku dulu." Cekikikan bapak ojol di belakangku.
Aku berdecak. Ingin ku sumpal mulut bapak ini, tapi aku takut dosa. Takut kurang ajar. Akhirnya aku hanya berdehem ria. Dan, tibalah aku di gedung RRI. Aku membayar ojek online, bukannya aku yang terima kasih tapi bapak ini yang berkali-kali mengucapkan terima kasih. Katanya beruntung bisa bertemu dengan mas pangeran. Ya, ya, ya. Terserah bapak ini saja, yang penting bahagia setelahnya.
Aku berbalik. Senyumku mengembang, masih terlihat ramai dengan banyaknya orang-orang yang kebanyakan memakai kaos hitam dengan tulisan yang sulit di baca. Bergerombol dengan kelompok masing-masing. Menyesap rokok sambil meminum minuman jahat.
Aku tiba di loket pembayaran tiket. Membayar dengan harga dua puluh ribu. Tubuhku merangsek melewati banyaknya orang-orang yang memanggut-manggutkan kepalanya di iringi dentuman musik keras dengan distorsi liar.
Aku mencari Nina, benar saja. Tubuhnya yang tambun dan memakai kerudung hitam ini mudah dicari karena sangat jarang metalhead perempuan memakai jilbab.
"Nin, maaf lama." kataku sambil berbisik karena berteriak pun akan sulit terdengar.
"Lama kamu, Jani." Nina mengerucutkan bibirnya.
"Seperti biasa, aku lembur kerja. Tuh pacarmu gak berubah." Aku menunjuk Aswin yang sudah tepar kebanyakan minuman jahat.
"Makanya aku sebel. Gak ada yang bisa aku ajak bicara." Nina merangkul bahuku.
"Anak-anak yang lain mana? Tumben pada gak kelihatan hidungnya?" tanyaku sambil mengedarkan pandangan. Suasana yang cukup gelap dan hanya lampu sorot di atas panggung saja yang menyala menyulitkanku untuk mencari teman-teman.
"Sudah di lautan manusia. Lihat aja. Semua pake baju hitam. Mau kamu cari pun akan susah, Rinjani."
Aku mengangguk paham, situasi ini sudah kacau balau. Bukan hanya band metal saja yang manggung hari ini. Tapi juga ada band hardcore dari kota Bandung yang juga ikut meramaikan puncak acara. Jika seperti itu, aku sudah siap-siap untuk merapat ke tembok. Karena biasanya akan ada bentrok kecil seperti menyiram bensin di lingkaran setan, hawanya semakin panas!
Dan Nina seperti tameng untukku. Dia yang berisi dan Ukthi metal, sudah pasti semua orang juga segan untuk mendekatinya. Aku beruntung bukan hanya baik tapi Nina ini seperti malaikat pelindungku.
Akhirnya puncak acara terjadi, auditorium RRI ini berubah menjadi lebih bersemangat. Semua orang yang hanya duduk-duduk di luar gedung masuk ke dalam, memadati bibir panggung. Berjejalan untuk melihat band legendaris, Death Vomit.
Nina menggeleng, dengan cepat ia menarik tubuh Aswin. Aku membantunya, kalau tidak Aswin akan mati terinjak-injak oleh orang-orang yang sudah hanyut dalam atmosfer gila.
"Keluar aja."
Aku mengangguk. Akhirnya malam ini tidak ada olahraga malam. Hanya ada aku, Nina dan Aswin yang berdiri terhuyung-huyung karena berkali-kali orang-orang menabrak tubuh kami.
Acara selesai pukul dua belas malam. Nina mengkhawatirkan dua hal, antara mengantarku pulang atau mengantar Aswin.
"Sudah, Nin. Dia bisa ngamuk kalau tidak ada kamu." jelasku menenangkan Nina. "Aku santai, ada banyak temen nanti yang bisa nganter aku pulang."
"Yakin, Jani. Aku antar Aswin pulang dulu. Kalau kamu belum dapet ojol atau boncengan. Kamu chat aku, nanti aku jemput."
Aku mengangguk, Nina ku lihat tertatih-tatih membawa Aswin menuju parkiran motor.
Aku memilih untuk keluar dari gedung setelah tadi hanya duduk-duduk di selasarnya. Aku menunggu ojek online di pinggir jalan. Tapi lama menunggu. Mobil sama seperti tadi berhenti di depanku.
Sudahku duga, jika dia menguntitku.
*
Terimakasih sudah dibaca, jangan lupa like n klik favorit ya 💚🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 255 Episodes
Comments
Dede Dahlia
pak ojol,cuman Rinjani yg manggil anak nya raja dengan hanya nama tanpa embel² pangeran 🤣🤣
2024-02-27
0
lounaaa
aaaaaaa I can't
2022-08-14
1
jhon teyeng
wah ini susah jg dibayangkan kak, penggemar music cadas jenis ini ktmu dg pangeran yg penuh tata krama dan aturan, hadeewwww
2022-08-07
1