Aku menatap Kaysan yang terdiam dan fokus mengemudi. Sedangkan aku hanya mengeratkan pelukanku pada ransel dan sesekali meliriknya. Datar, tak ada senyum yang ramah.
"Dimana tempat kerjamu?" Kaysan bertanya tanpa melihatku. Haduh, suaranya begitu meneduhkan hatiku, rasanya hatiku bergetar kemudian. Gerogi.
"Perempatan jalan itu ke kiri, dekat pasar karang gayam pas depan Alfamart." jawabku mantap.
Kaysan hanya berdehem tanpa menoleh atau melihatku. Aku sih cuek, yang penting urusan hutangku dan ibunya sudah kelar. Dan tidak akan ada urusan-urusan lainnya. Pokoknya hari ini adalah hari pertama dan pertemuan terakhirku dengannya. Setelah kejadian ini akan ku lupakan wajahnya yang ganteng dan perangainya yang cuek.
"Sudah sampai, turunlah." Kaysan berhenti tepat di tempat kerjaku.
Di depan toko, ku lihat Herman duduk sambil menyesap rokok di tangannya. Jangan sampai Bapak melihatku keluar dari mobil, apa lagi ia tahu siapa pengemudinya. Bisa gawat pikirku.
Aku keluar dari mobilnya dan membungkuk hormat, "Terima kasih, Kay. Maaf merepotkanmu." kataku sopan, sedangkan Kaysan hanya melihatku dan mengangguk.
Sedikit sekali bicaranya, batinku. Aku melambaikan tangan saat mobil Kaysan melaju meninggalkanku.
"Ada apa Bapak kesini?" tanyaku tanpa melihatnya karena aku sibuk membuka gembok rolling door yang jumlahnya ada tiga.
"Dari mana saja kamu semalam dan siapa laki-laki tadi?" tanya bapak sambil menginjak putung rokoknya.
"Tidur di tempat Nina, bapak pulang saja. Jani mau kerja." jawabku sambil membersihkan etalase kaca, merapikan voucher pulsa dan kartu perdana.
"Bapak lapar, Jani. Kasih uang bapak buat makan." bicaranya sungguh tidak tahu diri sekali, harusnya laki-laki paruh baya ini yang memberiku uang jajan bukan malah minta-minta begini.
Aku menghela napas kasar. Ku ambil uang dua puluh ribuan dari dalam tasku dan menyerahkannya. Tanpa berterima kasih, ia menyaut uang itu dan pergi tanpa permisi.
Aku menggeleng, "Kapan bapak sadar, Ya Allah. Berikan dia hidayahmu." Doaku slalu itu saja saat hatiku di rundung rasa jengkel karenanya.
Hari ini aku kembali dengan rutinitas biasaku, mencuci pakaian dengan mesin pencuci baju, sembari menunggunya berputar-putar, aku suka mendengarkan musik metal. Dengan seperti ini jiwaku akan terbakar dan aku merasa bersemangat menjalani hari-hariku di ruangan seluas 4x4m² dengan dua kipas angin yang menyala. Tapi hawa panas dari setrika uap ini kadangkala membuat peluhku jatuh menetes. Dua kipas angin itu seperti kehilangan fungsi utamanya dan hanya menjadi benda bergerak ke kiri dan ke kanan.
Dan kalau bukan karena Bu Rosmini, janda kaya yang baik padaku. Mungkin aku sudah hengkang dengan kaki seribu. Memilih pekerjaan yang tidak butuh tenaga besar, di tambah gaji yang besar pula. Bukan benar-benar banting tulang seperti ini.
Bu Rosmini memiliki dua anak, satu anaknya merantau ke ibu kota menjadi pengusaha tekstil sedangkan satu anaknya lagi memiliki kekurangan fisik yang membutuhkan perhatian ekstra. Sekalipun Bu Rosmini tidak membuka usaha ini, beliau tidak akan kekurangan uang. Sepeninggal suaminya, semua warisan milik suaminya jatuh padanya. Dan, Bu Rosmini tidak berniat untuk menikah lagi, katanya begini, "Dia meninggalkan ku dengan bondo yang banyak, Rinjani. Jika ada yang mendekatiku pasti orang itu hanya mengincar warisan dari suamiku. Aku tidak mau, biarlah aku menjadi janda sampai ajal menjemputku dan bertemu dengan suamiku di surga nanti."
Selalu dan selalu itu kalimat yang ku dengar. Tapi percayalah, meskipun usianya tidak muda lagi. Dia masih terlihat cantik dengan busana gamis yang slalu ia kenakan dengan parfum penatu khas yang aku semprotkan setiap hari.
Bukan hanya itu saja kebaikannya, kadang aku di beri uang jajan lebih. Baginya aku seperti anak perempuan untuknya, karena dua anaknya adalah seorang laki-laki.
"Capek banget, masa daleman aja harus di laundry sih. Apa orang kaya seperti ini. Daleman aja minta di cuciin." gumamku sambil melempar CD itu ke dalam keranjang cucian yang sudah aku beri nomer pelanggan.
"Permisi..."
Ku lihat orang dengan jaket hijau khas ojek online mengetuk pintu kaca. Padahal langsung masuk saja boleh kok. Kenapa harus di ketuk pintunya.
"Ya... cari siapa mas? Apa mau laundry atau mau beli voucher kuota?" tanyaku sambil menghampirinya.
Mas ojek online itu hanya menyerahkan sebungkus plastik putih dengan sablon bertuliskan, G**udeg yu Djum**.
"Kata pemesan tadi untuk Mbak Rinjani yang bekerja di Laundry & Pulsa Rosmini." jelasnya sembari menyerahkan plastik itu ke tanganku.
"Tapi siapa yang pesan mas, aku tidak pesan lho. Jadi aku juga tidak mau bayar pesanan ini!" kataku dengan nada nyolot.
"Sudah dibayar Mbak, tenang rasah mbleyer." katanya sambil tersenyum kecut, "Mbak tinggal makan saja repot, itu masih anget-angetnya dari kendi gudeg Yu Djum." [ rasah mbeleyer ; gak usah ngegas ]
"Yakin mas? Siapa yang pesenin gudeg ini buat aku?" Aku berusaha menyelidiki, aku kan juga takut kalau gudeg ini ada sesuatunya, "Tidak ada guna-guna pemikat hatinya kan?"
"Nih, baca." Mas-mas ojek online ini menyodorkan ponselnya ke hadapan wajahku. m
"Kaysan." gumamku lirih.
"Sudah paham, wes aku mau lanjut. Dari pada di sini malah di wawancarai. Lagian tinggal makan aja repot, aku loh harus keliling dulu baru bisa beli gudeg."
Mas ojek online tadi pergi dengan bibirnya yang masih menggerutu.
Aku mengangkat plastiknya.
"Kenapa Kaysan ngasih aku gudeg, jangan bilang dia mulai mendekatiku. Wah gila ini, aku harus mundur alon-alon!"
Aku menaruh plastik itu di atas meja dan melanjutkan pekerjaanku. Hari ini cucian cukup banyak. Mungkin aku bisa lembur disini tanpa pulang ke kontrakan atau pulang ke rumah Nina.
Sementara itu, waktu terus bergulir. Matahari kini tepat di atas kepala. Memancarkan cahaya terang benderang, membuat semua jemuranku kering kerontang. Inilah hari bahagia untuk penyedia jasa penatu, cucian kering semua yang artinya cucian siap di setrika dan di ambil pelanggan. Tapi sumpah, ini pasti capek banget dan aku mulai di landa rasa lapar.
Ku tatap plastik itu. Bisikan-bisikan gaib mulai mengusik telingaku.
Si gudeg berbisik, "Ayo makan aku, aku manis dan legit."
Si telur semur juga berbisik, "Aku juga tak kalah manisnya dengan si gudeg. Aku telur premium ayam kampung."
Kini terakhir si sambel krecek dan kuah areh berbisik, "Makanlah kami, kami adalah utusan sang pangeran Kaysan Adiguna Pangarep."
Tak mau membuang rezeki anak sholehah, aku membuka plastik itu dan menyantapnya. "Enak, memang enak. Apa lagi ini gratis."
Aku tersenyum hingga tak menyangka nasi itu sudah habis tak bersisa. Perutku tersenyum lega.
"Terima kasih Kay, tapi jangan harap nasi gudegmu ini mengoyahkan hatiku!" batinku berbicara sambil ku lempar bungkus plastik ke dalam tempat sampah.
•••
Next ^_^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 255 Episodes
Comments
Dede Dahlia
dasar bengek kamu Rinjani 🤭🤣🤣
2024-02-27
0
Wahyu Khasanah
wkwkwkkkk😄😄😄😄😄
2023-11-16
1
maytrike risky
Gila🤣
2023-11-06
0