Pagi hari setelah aku dan Nina menyelesaikan tugas memberi tubuh ini asupan energi untuk beraktivitas, aku akan menuntaskan urusan hutang piutang dengan Juwita Ningrat. Aku akan menolak habis keinginannya.
Aku bersemangat setelah mendapatkan kajian malam dari Nina. Pernikahan tidak akan bahagia karena terpaksa. Apa lagi perkataan Nina dan Bapak yang menohok soal 'menjual diri' membuatku malu dan enggan meskipun seliweran halu menjadi keluarga ningrat menari-nari liar di kepalaku.
Eh... tapi tunggu. Bagaimana jika anak Juwita Ningrat menyetujui ide gila Ibunya? Matilah aku! Tapi, sudahlah. Ayo selesaikan urusan hutang piutang dulu baru lihat kabar selanjutnya.
Aku bersemangat karena orang tua Nina meminjamkan uang sebesar 15 juta tadi pagi dengan syarat harus amanah. Aku menaruhnya di tas ranselku, karena habis dari kediaman Juwita Ningrat aku langsung menuju tempat kerja Bu Rosmini.
"Jani, mau di antar sampai mana?" tanya Nina, membuyarkan lamunanku.
"Depan gerbang aja, Nin. Aku berani kok masuk sendiri." jawabku enteng. Pura-pura.
"Yakin? Kalau kamu tetap dipaksa menikah gimana? Aku takut Jani kamu diapa-apain nanti." ucapan Nina membuatku terharu. Hanyalah dia orang yang slalu mengkhawatirkan aku setelah Nanang.
Aku meringis. "Enggak mungkin, Nina. Dia aja. yang baik buatku."
Nina mencubit pelan pahaku sambil mengemudi. "Harusnya kamu paham, main sama mereka bahaya."
"Bahaya..." gumamku. Bahaya? Orang Juwita Ningrat saja pakai kebaya, cantik dan anggun. Kecuali jika dia membawa pentungan, baru...
"Jani, sudah sampai lho..."
Aku melihat sekeliling, benar ini tepat di depan gerbang rumah Juwita Ningrat. Segera aku turun dari dari motor dan memeluk Nina.
"Makasih ya... Maaf aku slalu merepotkanmu dan keluargamu."
"Gak masalah, Jani. Kabari aku kalau terjadi apa-apa. Nanti aku bawa suntikan." Nina membenarkan rambutku yang berantakan. "Masuk sana."
Aku mengangguk. "Pokoknya terima kasih, Nin. Belajar yang rajin terus jadi perawat dan main dokter-dokteran sama Aswin." ejekku seraya tertawa sedang Nina hanya memanyunkan bibirnya.
"Aku pergi dulu, Jan. Assalamualaikum."
Dengan motor bebeknya, Nina pergi dengan iringan salam kebaikan dan lambaian tanganku. Kini, aku berdiri persis di depan gerbang berwarna emas, tinggi dan sangar. Pun pagar yang mengelilingi rumah itu setinggi dua meter menambah kesan jika rumah ini rumah gedongan. Aku terkagum-kagum, semakin tinggi derajatnya semakin banyak pula hal yang harus di bayar meski hanya sebuah pagar.
"Yakin enggak ini masuk sekarang?"
Sambil mengumpulkan nyaliku bertemu dengan orang penting. Aku menghela napas dan mengembuskannya. Menghela napas dan mengembuskannya hingga beberapa menit berlalu.
"Woy... Ngapain Mbak?" Aku tersentak. Penjaga rumah yang melihat gelagat anehku mungkin ingin mengusirku karena aku seperti orang aneh.
"Woy... Mbak... Baca." Penjaga rumah bernama Parto itu mengetuk-etuk papan pengumuman yang tergantung di depan gerbang setelah keluar dari pos satpam.
Bagi yang tidak berkepentingan dilarang berada di depan pintu gerbang.
Aku meringis. "Ibu Juwita Ningrat ada, Pak?" tanyaku sopan.
"Ibu bos lagi sibuk!" jawabnya ketus seraya menyesap rokoknya.
Aku yakin itu cuma bohongan. Dari gelagatnya terlihat sombong, mana gayanya sok iye.
"Tolong bilang sama Ibu Juwita, Rinjani datang gitu."
Parto tampak mengingat-ingat namaku seolah meneliti daftar nama rekan dan tamu Juwita Ningrat.
"Rinjani..., Rinjani... Ada perlu apa dengan Ibunda Juwita Ningrat? Mau minta sumbangan kamu?"
Aku berdecak. "Sumbangan apa toh? Ngawur... Aku itu mau ketemu lagi calon besan."
"Matamu calon besan!" Parto mengusirku dengan mengibaskan tangannya. "Lihat kakimu, cuma pake sendal jepit ngarep jadi calon besan bosku! Ngoco..."
Aku tergelak. Parto tidak tahu, jika aku menerima pinangan juragannya. Sudah kupastikan dia adalah orang pertama yang aku pecat. Batinku tertawa jahat.
"Sudah tolong bilangin saja, jika aku Rinjani datang ingin menemui Bu Juwita. Bilang saja penting, urusan kemarin."
"Woh, woh, woh. Sudah berani memerintah ya. Sek... sek, tunggu... tak hubungi pihak dalam." Parto dengan sebal pergi ke dalan pos satpam.
Sambil menunggu, aku melihat sosial media sampai tidak tahu jika ada mobil yang mengarah ke arahku.
"Minggir, anak bos lewat!" Parto menarikku sampai tubuhku membentur tembok saking cepatnya.
Aku mengumpat. "Asem banget lho, tambah benjol jidatku." Aku mengusap keningku sembari cemberut, dan saat aku berbalik sekelebat aku melihat tatapan dingin dari pengemudi di dalam mobil. Kuakui, dia ganteng banget. Hah! Ku pukul dahiku yang benjol biar aku tersadar dari halu yang ketinggian.
Dia siapa?
"Kamu masuk Rinjani! Tapi inget, jangan macam-macam, wajahmu sudah tak catat!" ancam Parto sambil menuding wajahku.
Aku mengiyakan lantas menginjak pelataran rumah, luas, aku melihat banyak mobil berjajar rapi di muka rumah, mobil-mobil sedan keluaran Jerman berwarna hitam yang berkilau tertimpa sinar matahari.
Di tempat ini aku kebingungan, harus kucari di mana Juwita Ningrat sementara rumah ini nampak besar. Bukan rumah dengan bangunan tingkat tiga, tapi rumah Jawa klasik yang dibangun dengan kayu jati dan memiliki pendopo.
Aku berdiri cukup lama dan menjadi tontonan para pekerja kebun yang sedang merapikan tanaman hingga salah satu orang yang mengenalku kemarin melambaikan tangannya.
"Sini cah ayu. Sini..." ucapnya sambil menghampiri. Aku tersenyum.
"Bagaimana, sudah kamu putuskan untuk memilih?"
Spontan sekali, pikirku. Aku tersenyum, pokoknya kata Nina harus sering tersenyum.
"Di mana Ibu Juwita Ningrat, Bu?" tanyaku sopan.
"Di taman belakang dengan calon suamimu!"
Aku mengernyitkan dahi, "Bukan calon suamiku itu, Bu. Aku ke sini hanya mau melunasi hutang-hutangku kemarin." kataku sungguh-sungguh.
Ibu-ibu yang sudah sepuh itu pun mengernyit heran. "Cepat sekali dapat uang sebanyak itu cah ayu, dari mana?" tanyanya penasaran.
Aku tersenyum kecut. Masa iya aku jawab dari hutang juga, kan malu. Dan karena itu aku hanya tersenyum lebar.
"Ya sudah ayo ikut."
Aku mengikutinya dengan langkah harap-harap cemas. Hari ini aku bertemu Kaysan?
Tepat di pendopo kayu. Aku melihat Ibu dan anak itu bercengkrama.
"Ibu.... Rinjani sudah datang." Pelayan itu membungkuk sopan dan meninggalkan kami bertiga setelah Juwita Ningrat mengerti kehadiranku.
Aku tersenyum rikuh dan ikut-ikutan membungkuk sopan, mungkin begitu caranya bersopan santun. Tetapi suasana lengang terjadi, sorot mata menilai dari atas ke bawah aku perhatikan dari laki-laki yang kemarin aku sebut ganteng banget.
Juwita Ningrat menarik tanganku pelan sampai aku terkaget-kaget dengan sentuhan lembut itu.
"Rinjani, perkenalan ini putra sulungku, Kaysan!" Tanganku lantas ditempelkan langsung di jari-jari anaknya. Aku terkejut. Laki-laki itu pun juga terkejut.
Dia berdeham sambil menggenggam tanganku. Dengan malas dia menyebut namanya. "Kaysan."
Aku mengangguk, "Rinjani." kataku malu.
Juwita Ningrat lalu tersenyum lebar.
"Pagi-pagi sekali kamu datang ke sini Rinjani, bawa tas ransel lagi. Apa kamu sudah siap pindah ke rumah ini dan menetap bersama putraku ini?"
Beliau menepuk bahu Kaysan, sepertinya Juwita Ningrat salah makan, mana bisa kami yang belum di cap halal oleh MUI menetap bersama dalam satu atap?
Aku menggeleng pelan. "Bukan itu maksud kedatanganku, Bu." Dengan cepat aku mengambil amplop coklat dari dalam tasku.
"Ini - ini... Aku mau membayar hutang-hutangku kemarin, Ibunda Juwita Ningrat." Aku menaruh segepok uang dalam amplop yang cokelat ke dekat dengan beliau. "Asli, jumlahnya pasti pas!"
Juwita Ningrat tertawa sedangkan Kaysan yang duduk sambil menikmati pemandangan air mancur, hanya sesekali melirik ke arahku. Mungkin batinnya, 'cewek aneh.'
"Bagaimana pilihan Bunda, Kay?" ucap Juwita Ningrat tanpa meresponku.
Kaysan mengangguk. Woy, mengangguk untuk apa?
Juwita Ningrat pun mengangguk dan juga. Asem, mereka ngomong pakai batin?
Aku berdeham, rasa-rasanya tidak ada lagi yang perlu aku sampaikan. Aku mau pulang.
"Ibu boleh percaya boleh tidak dengan isi amplop itu. Tapi itu asli. Sumpah." Aku mengangkat jari janji. "Dan sekarang, saya harus pamit. Terima kasih Ibu kemarin sudah membantuku. Saya harap urusan kita selesai sampai d isini saja ya, nggak usah jadi anak mantu, aku nggak mau minta." kataku sambil mengatupkan tangan, memohon jangan ada aneh-aneh setelahnya.
Juwita Ningrat menatapku dan tersenyum, "Kay, antar Rinjani ke tempat kerjanya."
Kaysan mengangguk, dengan langkah pasti dia berjalan mendahuluiku.
Like n love ya reader. 🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 254 Episodes
Comments
Dede Dahlia
Rinjani,justru dengan kamu berniat mengembalikan uang atau lebih tepatnya membayar maka makin mantap pula ibunda ratu menjodohkan kamu dengan anaknya.karna dia yakin kalau kamu wanita jujur ngga matre 🤔
2024-02-27
1
may
🤭🤭🤭Mas kaysan
2023-11-06
1
Qurrota A'yun
aku bacanya kebalik.. cerita anaknya dulu baru ke emaknya
2023-09-26
1