Kepalaku semakin sakit dibuatnya. Menikah dalam rencanaku akan terjadi dua atau tiga tahun lagi jika ada yang meminangku. Tetapi sekarang?
Aku pulang dengan membawa kegelisahan. Bagaimana tidak gelisah. Baru bertemu dengan seseorang yang aku ketahui adalah pemilik pabrik dan beragam usaha beken yang memiliki garis keturunan darah biru itu, aku sudah diminta menjadi anak mantunya. Ini kan gila! Aku yang tak memiliki bibit, bobot dan bebet yang jelas diminta untuk menjadi menantu keluarga Ningrat?
Aku tersenyum kecut sambil membayangkan menjadi istri Kaysan? Kaysan? Siapa dia? Lucu sekali pikirku. Tidak kuat otakku mencerna ini itu sekarang.
"Jani...! Jani...!"
Ah... Bapakku berteriak membuyarkan imajinasiku. Aku melihat Herman berjalan sempoyongan ke dalam rumah.
Dasar Bapak tidak tahu diri. Mabukan, judi, semakin tua semakin arogan! kataku dalam hati.
"JANI!"
"Apa, Pak?" jawabku dengan nada malas.
"UANG!" bentaknya sambil menengadahkan tangan.
"Gak ada, Pak. Aku belum gajian."
Tawanya menguar dengan bau ciu yang mendadak terendus oleh hidungku. Semprul.
"Dari mana kamu belajar berbohong pada Bapak, nduk. Apa kamu belajar dari Ibumu yang tidak tahu diuntung itu!" Bibir hitam yang banyak menyesap cerutu dan ciu itu terus meracau, menjelek-jelekkan Ibuku yang entah di mana keberadaannya sekarang.
"Hentikan kebiasaan Bapak minum ciu dan main judi gaple. Aku kesel di kejar-kejar preman Broto Dimejo!" ucapku jengkel. Sudah hilang rasa hormatku pada laki-laki berusia 48 tahun ini. Laki-laki yang tak pernah melindungiku, laki-laki yang malah membawaku pada derita yang terus berkembang.
"Lalu dari mana kamu bisa bayar hutang-hutangku di juragan Broto Dimejo, Rinjani! Apa kau menjual tubuhmu pada bandot tua itu."
Aku menatap Bapak yang tertawa dengan berang. "Bapak pikir aku serendah itu sampai aku jual diri buat tebus hutang-hutang Bapak?" Aku berdecak. "Bapak emang nggak guna. Pantas saja Ibu pergi daripada harus milih tinggal sama Bapak yang gak tanggung jawab!"
Aku menatap Bapak dengan mata terkejut setelah tangannya menampar pipiku dengan keras.
"Kurang ajar, berani kamu bentak Bapakmu ini!" teriaknya tak kalah berang.
Aku tersenyum kecut, "Apa Bapak pikir aku beruntung punya Bapak sepertimu?"
Tamparan keras mendarat di pipi kananku lagi. "Begini cara Bapak menghargai putri Bapak satu-satunya! Beginikah cara Bapak berterima kasih padaku setelah aku melunasi hutang-hutang Bapak? Jangan nyesel kalo Rinjani pergi dari rumah ini."
Aku meninggalkan Bapak ke kamar, mengambil tas ranselku dan memasukkan sekenanya baju-baju yang aku miliki.
Aku keluar dari kontrakan yang sudah aku bayar lunas dari uang tabunganku sejak SMA. Sejak lulus aku memilih untuk langsung mencari kerja, pikirku aku harus membantu ekonomi Ibuku dan memenuhi sendiri semua kebutuhanku daripada hanya meminta mereka.
Aku menoleh, mendengar sekejap suara vas bunga yang Bapak banting.
"Terserah!" ucapku seraya melangkah menuju rumah temanku, Nina. Metal head berjilbab dan taat agama. Mahasiswi jurusan keperawatan yang kesasar mencintai musik metal dan pacarnya yang bernama Aswin yang slalu mabuk di arena konser metal, jika aku tanya kenapa dia memilih laki-laki sepertinya. Nina hanya akan menjawab, "Aku mencintainya Rinjani, jika dia mencintaiku dia pasti berubah."
Kalau Nina sudah berkata seperti itu, aku hanya bisa tersenyum dan mendoakan harapannya terkabul ya meski doaku tidak sepertinya.
"Assalamualaikum..." Aku mengetuk pintu rumah Nina. Rumahnya tak jauh dari kontrakan, aku bisa bermalam sebentar sebelum esok paginya menemui Juwita Ningrat.
"Nin, Nina. Assalamu'alaikum." seruku tak sabar.
"Waalaikumsalam, bentar..." Pintu rumah bercat ungu itu terbuka, Nina berdiri heran sambil mengamati wajahku yang mengenaskan. Dahiku benjol, kedua pipiku merah bekas tamparan.
"Kamu kenapa, Jani? Eh, ayo masuk dulu." Nina menarik lenganku dan mengajakku ke kamarnya.
"Habis kelahi sama trotoar kamu?" tanya Nina sambil menaruh segelas air putih di meja.
Aku meminumnya dengan cepat, "Dahiku ini mencium tiang listrik di pasar kalo pipiku ini pesangon dari Bapakku sebelum aku ke sini."
Nina tersenyum paham seolah tahu aku sedang menyembunyikan rasa sedihku.
"Kasian banget sih kamu, banyak doa makanya."
"Ya ampun, Nin! Ntar dulu bisa nggak ceramahnya?" Keluhku. "Aku izin tidur di sini semalam ya. Boleh gak?" tanyaku memelas.
Nina menjentikkan jarinya. "Izin sama tuan rumah sana, baru aku bisa jawab."
Aku menguncupkan bibir. Ya benar saja harus menghadap orang tuanya yang slalu memberi ceramah rohani? Bapakku tuh yang butuh ceramah.
"Semalam aja, Nin. Aku sakit semua ini." pelasku.
"Jani... Jani, ngenes banget nasibmu. Sudah jomblo tambah harus menanggung beban sendiri. Kamu harus tidur di kamarku, biar aku jadikan bahan praktek!" guraunya sambil memelukku.
Aku meringis. "Jangan bikin aku nangis lagi, Nin. Aku lapar lho, belum makan." aduku padanya yang memiliki badan gempal. Jujur aku nyaman jika hanya bersandar di lengan Nina. Apa Aswin juga merasakan hal yang sama sampai dia tidak peduli dengan mulut Nina yang slalu berbusa-busa jika mengomelinya?
"Kebiasaanmu gak ilang-ilang ya, heran. Habis nangis nggak doyan makan. Kamu..."
Nina pergi ke luar kamar dan selang beberapa menit dia membawa banyak makanan dan minuman.
"Makan nih, jangan sampai sisa. Kata Ibuku yang kalo sisa kamu harus bayar!"
Buset. Aku sih senang-senang saja selagi gratis. Dan Nina tertawa waktu aku mengambil roti sari sobek dan sekotak susu.
"Gak makan kamu?" tanyaku.
Nina mencebikkan bibir. Alih-alih makan, dia duduk di kursi belajar.
"Udah tahu belum besok malam Minggu Death Vomit main di gedung RRI?" Nina menjelaskan sambil mengetik.
Aku mengendikkan bahu. "Lihat besok, Nin. Ini jauh lebih penting dari dari devo. Ada yang mau aku ceritakan padamu."
"Apaan, Jani?"
"Bagaimana jika ada seseorang yang memintamu menjadi anak mantu?"
Nina seketika menoleh. "Ada yang lamar kamu, Jani? Siapa?"
Aku menceritakan pertemuanku dengan Juwita Ningrat hingga permintaan beliau untuk menikah dengan anaknya.
Nina tercengang dan menutup mulutnya.
"Serius?"
Aku mengangguk.
"Menikah memang sesuatu yang baik, Jani. Kamu akan mendapatkan pahala berkali-kali lipat dan tentunya duit banyak. Tapi rasanya sulit jika kamu harus menikah dengan priyayi."
"Sulit kenapa, Nin?" tanyaku heran.
Nina menunjuk kaca di dinding kamarnya. "Coba kamu ngaca, kamu gimana?"
Aku menguncupkan bibir. Sial... Aku juga tahu aku melarat dan gak bisa di atur. Gak perlu ngaca.
"Coba jawab serius, Nin. Sumpah palaku puyeng banget." Aku lantas menceritakan hutang Bapak yang telah lunas itu kepadanya. Dugaanku betul, hutang itu sudah beres di tangan Juwita Ningrat.
"Oh gitu." Nina manggut-manggut. "Jan, menikah itu perkara cinta dan ibadah. Kalo kamu hanya menikah karena untuk melunasi hutang-hutang Bapakmu sama saja kamu menjual tubuhmu, tidak baik." kata Nina sambil memeluk tubuhku.
"Kamu mending istirahat."
Ya, aku mengangguk dan menyadari jika aku menerima permintaan itu, aku seperti omongan Bapak tadi.
*
Selamat membaca.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 254 Episodes
Comments
남성
😊😊😊
2022-08-11
1
M 🐼
Lanjut
2022-08-07
0
Santoso Zha
lanjut
2022-06-29
0