Aku pulang dengan membawa kegelisahan. Bagaimana tidak gelisah. Baru bertemu dengan seseorang yang aku ketahui adalah pemilik takhta tertinggi si sebuah kerajaan. Aku sudah diminta menjadi anak menantunya. Ini kan gila!
Aku yang tak memiliki bibit, bobot dan bebet yang jelas diminta untuk menjadi menantu keluarga Ningrat.
Aku tertawa kecut sambil membayangkan menjadi anggota kerajaan. Lucu sekali, batinku. Tidka kuat juga, aku yang tidak biasa dengan tata Krama terus harus patuh begitu. Ah, rumitnya.
"Jani...! Jani...!"
Bapakku berteriak membuyarkan imajinasiku. Aku melihat Herman berjalan sempoyongan dengan bau ciu di mulutnya.
Dasar bapak tidak tahu diri. Mabukan, judi, semakin tua semakin arogan! kataku dalam hati.
"JANI!"
"Apa pak?" jawabku dengan nada malas.
"UANG!" bentaknya sambil menengadahkan tangan.
"Gak ada pak, aku belum gajian." jawabku jujur.
"Hahaha, dari mana kamu belajar berbohong pada bapak, nduk. Apa kamu belajar dari ibumu yang tidak tahu diuntung itu!" Bibir hitam yang banyak menyesapi cerutu dan ciu itu terus meracau menjelek-jelekkan ibuku yang entah dimana keberadaannya sekarang.
"Hentikan kebiasaan bapak minum ciu dan bermain judi gaple. Aku lelah di kejar-kejar preman tua Broto Dimejo!" akuku. Sudah hilang rasa hormatku pada laki-laki berusia 48 tahun ini. Laki-laki yang tak pernah melindungiku, laki-laki yang malah membawaku pada derita yang terus tak bertepi.
"Lalu darimana kamu bisa membayar hutang-hutang ku di juragan Broto Dimejo, Rinjani! Apa kau menjual tubuhmu pada bandot tua itu, Hahaha."
Aku menatap bapak berang.
"Bapak pikir aku serendah itu hingga aku menjual diriku untuk menebus hutang-hutang bapak. Bapak memang laki-laki tua tidak berguna. Pantas saja ibu pergi daripada harus memilih tinggal bersama laki-laki yang tidak tahu tanggung jawab!"
Aku menatap bapakku dengan deraian air mata yang meluncur deras dari mataku saat tangan Herman menampar pipiku dengan keras.
"Kurang ajar! Berani kamu membentak Bapak!" teriaknya tak kalah berang.
Aku tersenyum kecut, "Apa bapak pikir aku beruntung punya bapak sepertimu, Herman!"
Tamparan keras lagi mendarat di pipi kananku. "Beginikah cara bapak menghargai putri bapak satu-satunya! Beginikah cara bapak berterima kasih padaku setelah aku melunasi hutang-hutang bapak! Jangan salahkan Rinjani jika pergi dari rumah ini."
Aku meninggalkan bapak, mengambil tas ranselku dan memasukkan sekenanya baju-baju yang aku miliki.
Aku keluar dari kontrakan yang sudah aku bayar lunas dari uang tabunganku sejak SMA. Karena hari itu, tiga bulan setelah kelulusan SMA aku memilih untuk langsung mencari kerja, pikirku aku harus membantu ekonomi ibuku dan memenuhi sendiri semua kebutuhanku daripada hanya menanti dan meminta mereka.
Aku keluar dari rumah, meninggalkan bapak yang membanting satu vas bunga.
"Terserah, bapak gila!"
Malam ini aku melangkahkan kakiku menuju rumah temanku. Nina. Dia metalhead berjilbab dan taat agama. Mahasiswi jurusan keperawatan yang kesasar mencintai musik metal tapi tak mengubah cara pandangnya pada agama.
Jika sedang nonton konser metal dia hanya berdiri, menyilangkan kedua tangannya dan sesekali memanggut kepalanya. Pacarnya bernama Aswin, dia laki-laki yang slalu tepar di arena konser metal, jika aku tanya kenapa dia memilih laki-laki yang mabukan. Nina hanya akan menjawab, "Aku mencintainya Rinjani, jika dia mencintaiku dia pasti berubah."
Kalau Nina sudah berkata seperti itu aku terus-menerus, aku hanya bisa tersenyum dan mendoakan doanya dikabulkan Tuhan.
"Assalamualaikum..." Aku mengetuk pintu rumah Nina. Rumahnya tak jauh dari kontrakan, jadi aku bisa bermalam sebentar disini sebelum esok paginya aku menemui sang Ratu.
"Waalaikumsalam, sebentar." pintu rumah itu terbuka, Nina mendapatiku berdiri dengan wajah yang mengenaskan. Dahiku benjol, kedua pipiku merah bekas tamparan.
"Apa yang terjadi Rinjani? Eh, ayo masuk dulu." Nina merangkul bahuku dan mengajakku ke dalam kamarnya. Orang tua Nina yang sudah hafal betul perangai bapakku jadi orang tuanya hanya diam dan menerima keberadaanku dengan lapang dada. Berkali-kali mereka membujukku untuk tinggal bersama Nina, aku menolak karena bagiku, Herman menjadi tanggung jawabku. Lucu, bukan. Dunia memang sudah terbalik.
"Jani, kenapa?" tanya Nina dengan segelas air putih yang kemudian ia taruh di tanganku.
Aku meminumnya dengan cepat, "Dahiku ini mencium tiang listrik di pasar, sedangkan di pipiku ini hadiah dari bapakku sebelum aku berangkat ke sini."
Nina tersenyum, seperti tahu aku sedang menyembunyikan rasa sedihku.
"Nin, aku izin menginap disini semalam ya. Apa boleh?" tanyaku memelas.
"Aku tidak suka melihatmu seperti ini Rinjani, menyebalkan jika kamu sudah merayuku seperti ini." Nina terkekeh dan memeluk tubuhku.
"Jani, malang benar nasibmu. Sudah jomblo ditambah harus menanggung beban sendiri. Kamu harus kuat, Jani!" katanya memberi support.
Aku meringis. "Jangan bikin aku nangis lagi, Nin. Aku lapar, belum makan." aduku padanya yang memiliki badan yang agak besar. Jujur aku nyaman jika hanya bersandar di lengan Nina. Apa Aswin juga merasakan hal yang sama, merasakan, nyaman dan empuk seperti bantal bernyawa?
"Habis menangis terserang rasa lapar, kamu slalu seperti itu, Jani."
Nina pergi ke luar kamar dan selang beberapa menit dia membawa banyak makanan dan minuman.
"Makanlah Rinjani, kamu butuh gula."
"Kamu seperti tahu seberapa besar lambungku, Nina." Aku tertawa, mengambil roti sobek dan sekotak susu. Menyantapnya dengan rakus seakan takut Nina mengambilnya.
"Sudah tahu belum besok malam Minggu Death Vomit main di gedung RRI?" Nina menjelaskan dengan tangan yang sibuk mengetik tugas di laptopnya.
"Hmm... Lihat besok, Nin. Ada yang mau aku ceritakan padamu."
"Apa Jani?"
"Bagaimana jika ada seseorang yang memintamu menjadi anak mantu?"
"Ada yang mengajakmu nikah Rinjani?" Nina menoleh, menutup laptopnya, lalu menatap serius ke arahku.
Aku menceritakan pertemuanku dengan sang Ratu hingga permintaan beliau untuk menikah dengan anaknya.
Nina tercengang dan menutup mulutnya.
"Serius?"
Aku mengangguk.
"Menikah memang sesuatu yang baik, Jani. Kamu akan mendapatkan pahala berkali-kali lipat dan tentunya gelar kerajaan yang akan kamu miliki. Tapi rasanya sulit jika kamu harus menikah dengan anggota kerajaan!"
"Sulit kenapa, Nin?" tanyaku heran.
"Kamu gadis yang tidak mau di atur, sedangkan di kerajaan akan banyak peraturan yang harus kamu taati."
"Oh gitu, tapi bagaimana aku bisa membayar hutang bapakku pada Ibunda Ratu, Nin. Gajiku sebulan aja gak cukup buat menopang hidupku dan bapak."
"Rinjani, menikah itu perkara cinta dan ibadah. Jika kamu hanya menikah karena untuk melunasi hutang-hutang bapakmu sama saja kamu menjual tubuhmu. Tidak baik, nanti aku bantu bagaimana caranya mencari uang 15 juta itu." kata Nina sambil memeluk tubuhku. Ya, aku menyadari jika aku menerima permintaan itu, aku seperti wanita malam yang haus akan uang dan belaian.
"Sebaiknya kamu diet, Nin. Kasian Aswin kalau harus mboncengin kamu pakai motor." kataku meledeknya.
"Enak saja, Aswin aja minta aku untuk gak diet. Katanya empuk."
Aku tertawa, "Jangan kebablasan, Nin."
Nina memanyunkan bibirnya, "Aku tahu Rinjani. Memang kamu dengan Nanang!"
Tap like setelah baca ya, terima kasih 💚🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 255 Episodes
Comments
남성📴
😊😊😊
2022-08-11
1
M 🐼
Lanjut
2022-08-07
0
Santoso Zha
lanjut
2022-06-29
0