Jam istirahat tiba. Bel istirahat berbunyi, dan Aruna langsung bangkit dari kursi, seolah kelas barusan bukan sesi matematika tapi persidangan.
“Cepat, sebelum aku berubah jadi kalkulator hidup,” keluhnya sambil menarik tangan Windi keluar kelas.
Di kantin, mereka berhasil mengamankan dua kursi di pojok favorit mereka. Aruna menjatuhkan tubuh ke kursi dan membuka bekalnya.
Windi menatapnya sambil mengunyah roti. “Gue masih nggak percaya cowok yang dijodohin sama lo... sekarang guru matematika kita.”
“Yap,” gumam Aruna sambil memotong ayamnya. “Dunia ini sempit. Atau Ayahku yang terlalu luas jangkauannya.”
“Lo serius pernah ketemu dia sebelum ini?”
Aruna mengangguk, malas. “Dia nganterin sup ke rumah sakit waktu gue sakit. Puding, buah-buahan dan banyak hal. Katanya sih buatan ibunya. Tapi gue curiga itu strategi jebakan perjodohan.”
Windi mengernyit. “Dia musuh keluarga lo, ya?”
Aruna tersenyum misterius. “Musuh... atau senjata makan tuan, kita lihat nanti.”
Windi langsung terkekeh. “Lo nggak berubah. Drama banget.”
Setelah menyelesaikan makan, Aruna berdiri.
“Gue ke toilet dulu ya. Jaga tempat, jangan kasih siapa pun duduk sini, bahkan kalau Brad Pitt datang.”
“Siap, Jenderal.”
Di koridor, Aruna berjalan santai menuju kamar mandi. Namun langkahnya terhenti saat melihat sosok yang tak asing berdiri di dekat tangga.
Atta.
Laki-laki tinggi, rapi, dan... terlalu sering digosipkan dengan Aruna. Mereka memang dekat, tapi tidak pernah benar-benar ada apa-apa. Tapi sayangnya, sekolah mereka lebih cepat menyebarkan gosip daripada WiFi sekolah.
Atta melihat Aruna, lalu mendekat dengan senyum ramah.
“Aruna,” sapa Atta.
Aruna mengangguk sopan. “Hai.”
“Maaf ya, aku belum sempat jenguk waktu kamu sakit. Papa sempat cerita kamu dirawat,” ujar Atta tulus.
“It’s okay,” jawab Aruna pendek.
Setelah hening sebentar, Atta menambahkan dengan nada bercanda, “Selamat ya... atas pertunangannya.”
Aruna menghentikan langkah. Menoleh cepat. “Kamu tahu?”
Atta mengangkat alis. “Tahu lah. Papa diceritain sama Om Agam. Katanya... calon suami kamu itu cucu pendiri sekolah kita. Aku dengar ia sekarang jadi guru matematika. Keren juga sih. Guru, tapi... berdarah biru.”
Aruna mendengus. “Tunggu. Kamu pikir itu... beneran?”
“Ya... bukannya memang udah diumumin keluarga?”
Aruna menghela napas panjang. Menatap sekitar, lalu mendekat ke arah Atta. “Atta, kamu bisa simpan rahasia?”
Atta langsung serius. “Tentu. Ada apa?”
Aruna menunduk pelan, lalu berkata lirih, “Aku juga baru tahu pagi ini, kalau... ‘Mas Bagas’ itu guru matematikaku. Dan, ya, aku nggak pernah setuju sama perjodohan itu.”
Atta menatap Aruna dalam diam. Lalu dengan suara pelan, “Jadi... kamu nggak suka sama dia?”
Aruna menggigit bibirnya. “Yang aku suka adalah hidup normal, tanpa drama telenovela di sekolah.”
Atta tertawa kecil. “Tenang, rahasiamu aman sama aku.”
Aruna tersenyum. “Thanks.”
Tiba-tiba bel masuk berbunyi. Aruna buru-buru balik arah, dan sebelum pergi, Atta sempat berseru, “Kalau begitu sampai jumpa di latihan teater.”
Aruna menoleh sekilas, tertawa sinis. “Makasih, Atta.”
Dia berjalan pergi, meninggalkan Atta yang masih berdiri dengan senyum kecil.
“Bagaskara, kamu bukan cuma masalah. Kamu magnet masalah.”
Bel pulang sekolah akhirnya berbunyi. Aruna menatap langit-langit kelas seperti habis menang perang.
“Finaly. Bebas.”
Windi mengemasi bukunya. “Lo ingat, kan? Lo harus ke ruang guru.”
Aruna langsung berdiri dan menepis tangan Windi dramatis. “Kita lupakan bagian itu. Yuk, pulang. Dunia di luar masih luas dan belum ada pria menyebalkan yang menungguku dengan absensi PR. Mau nonton, kan?”
Windi nyengir. “Masalahnya, guru menyebalkan itu masih ada dan lagi nunggu kamu.”
Saat keduanya melangkah keluar kelas, langkah mereka langsung terhenti.
Di ujung lorong, berdiri satu sosok bersandar tenang ke dinding, tangan menyilang, dengan wajah datar dan... terlalu santai untuk ukuran guru killer.
Bagas.
Aruna menelan ludah. “Duh.”
Windi menyikut pelan. “Kabur sebelum ketahuan?”
Terlambat.
Bagas mendongak dan menatap lurus ke arah mereka. “Aruna.”
Seketika suasana lorong seperti membeku. Beberapa siswa menoleh. Aruna pura-pura bersin.
“Aku demam kambuh lagi... kayaknya...”
“Ke ruang guru. Sekarang,” ucap Bagas, nada suaranya netral, tapi cukup kuat membuat Aruna tak bisa mengelak.
Aruna menghela napas. “Fine.”
Windi mundur perlahan. “Gue nunggu di lobi ya. Semoga dia nggak suruh lo nyanyi lagu wajib sambil hafal rumus.”
Aruna mengikuti Bagas dalam diam. Rasanya seperti dibawa menuju ruang interogasi. Langkah-langkah mereka bergema di koridor yang mulai sepi.
"Mau dibawa kemana saya, Pak?! Ruang gurunya nggak lewat sini," tanya Aruna kesal.
"Ke ruangan saya."
"Oh. Ruangan khusus ternyata."
Sesampainya di ruang guru, Bagas membuka pintu kecil ke ruangan kosong di ujung. “Masuk.”
Aruna melangkah masuk, dagu terangkat dengan aura anti kalah.
“Apa hukumanku, Pak? Lari keliling lapangan sambil bawa kalkulator?”
Bagas tetap tenang. “Duduk dulu.”
Aruna mendesah, lalu menjatuhkan diri ke kursi kayu.
Bagas duduk di hadapannya, membuka sebuah buku catatan. Tapi belum bicara apa-apa.
Aruna mendongak. “Jadi?”
Bagas menatapnya datar. “Kamu tahu kamu bisa kena poin pelanggaran karena tidak mengerjakan PR.”
Aruna mengangkat alis. “Wow. Poin pelanggaran dari tunangan sendiri. Romantis sekali.”
Bagas mengabaikan sindirannya. “Tapi kamu baru sembuh. Jadi saya kasih opsi.”
“Opsi?”
“Kerjakan PR-mu dua kali lipat. Kumpulkan lusa. Dan... kamu bantu saya urus klub matematika minggu ini.”
Aruna langsung duduk tegak. “Klub matematika?! Aku lebih milih dihukum nonton seminar ekonomi sambil makan pare mentah!”
Bagas tersenyum kecil, pertama kalinya sejak pagi.
“Pilihanmu, Aruna.”
Aruna memelototinya. “Kamu menikmati ini, ya?”
Bagas berdiri, membereskan bukunya. “Sedikit.”
Aruna menatapnya penuh curiga. “Kamu dendam karena aku nolak sup kamu waktu itu, ya?”
Bagas membuka pintu dan menoleh sebentar. “Bukan karena sup-nya. Tapi karena kamu buang kesempatan mengenal orang yang... mungkin bisa lebih dari sekadar guru killer.”
Aruna terdiam. Matanya menyipit.
“Sampai lusa. Jangan lupa PR-nya."
Aruna keluar dari ruang guru dengan langkah panjang dan napas tertahan. Begitu hendak melewati ambang pintu, suara itu kembali terdengar.
“Aruna.”
Ia menoleh malas. Bagas berdiri di ambang pintu dengan wajah datarnya yang sok cool itu.
“Tidak ada pamit pada calon suamimu?” tanyanya santai.
Aruna melotot. “Kamu itu guru.”
Bagas mengangkat bahu, tetap dengan wajah kalem menjengkelkan itu. “Dan kamu itu murid... sekaligus tunangan yang susah banget disuruh senyum.”
Aruna mendengus dan langsung berjalan menjauh seolah kalau ia menoleh lagi, ia bakal melempar sepatu.
Di pelataran sekolah, mobil hitam sudah menunggunya. Begitu masuk, ia langsung menjatuhkan tubuh ke jok belakang sambil menarik napas panjang.
“Ke kantor Ayah,” katanya tajam. “Sekarang.”
Sopir pribadi itu, Pak Anwar, hanya mengangguk. “Baik, Non Aruna.”
Selama perjalanan, Aruna menatap ke luar jendela, wajahnya kusut seperti kertas PR yang lupa dikerjakan. Ia memutar otaknya.
Kenapa Bagas bisa tiba-tiba jadi guru di sekolahnya? Sejak kapan orang yang diundang makan malam bisa langsung muncul bawa absensi? Apa Papa sengaja?
Tangannya mengepal. Ini sudah bukan main mata, ini sudah sabotase pendidikan!
Mobil berhenti di depan gedung tinggi menjulang milik perusahaan keluarganya. Logo AGAM GROUP berkilau keemasan di bawah sinar matahari.
Aruna melangkah masuk seperti misi penyelamatan hidupnya dimulai.
“Selamat siang, Non Aruna,” sapa sekertaris ayahnya, Mbak Lusi, dengan senyum profesional.
Aruna langsung ke intinya. “Papa ada?”
Mbak Lusi menoleh ke layar monitornya. “Maaf, Pak Agam sedang makan siang dengan tamu di luar kantor.”
Aruna mendesis. “Tentu saja. Saat dibutuhkan, beliau sedang makan. Saat nggak diminta, beliau jodoh-jodohin orang sembarangan.”
Mbak Lusi menahan senyum. “Ada yang bisa saya bantu, Non?”
Aruna menggeleng. “Nggak. Kecuali Mbak bisa jelasin kenapa calon suami aku tiba-tiba jadi guru killer di sekolah.”
Mbak Lusi membuka mulut, tapi hanya bisa tertawa kecil.
“Kayaknya itu kamu harus tanya langsung ke Pak Agam, Non.”
Aruna menghela napas panjang dan menjatuhkan diri ke sofa tunggu. Ia menatap langit-langit ruangan kantor mewah itu.
“Ini semua salah sup ayam.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments