Meisya memang sengaja meneliti lebih dulu karena gadis itu tidak mau berbuat gegabah. Mengingat keluarga Stevan adalah keluarga terpandang, kali aja Anin istrinya juga begitu. Meisya harus mengatur strategi sebaik mungkin jika lawannya benar benar kalangan atas seperti keluarga Stevan.
Mengingat, keluarga Meisya masih berada di level bawah jika di bandingkan dengan keluarga Stevan.
"Awas aja lo sialan. Mati lo di tangan gue!" Gumam Meisya setelah dirinya mengetahui semuanya fakta tentang Anin dari seseorang.
***
Malam hari, Anin baru sampai di depan rumah. Dia masuk ke dalam sana dengan konsisi tubuhnya yang masih terasa sakit.
Bekas tamparan Meisya tadi siang juga masih terlihat samar samar di wajah Anin. Di tambah kening Anin yang kini tampak dibaluti oleh perban.
Meskipun sempat melawan, tapi tak bisa dipungkiri bahwa ternyata dia tidak sejago Meisya dalam berkelahi. Pasalnya, selama ini Anin memang tidak pernah berkelahi dengan siapapun.
Tapi karena tidak ingin di injak-injak, membuat Anin mencoba melawan, karena faktanya dia memang tidak bersalah bukan?
Sesampai di dalam rumah, Anin tidak berlalu ke kemar dirinya dan juga Stevan yang berada di lantai dua. Melainkan gadis itu masuk ke kamar tamu.
Anin menaruh tasnya di tempat semestinya. Kemudian berlalu ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Beberapa saat kemudian. Anin melamun memangku lututnya di atas tempat tidur yang ada di dalam sana. Gadis memperhatikan gambar empat orang yang sedang tersenyum senang dari layar ponsel. Gambar apa lagi jika bukan foto keluarga kecil Anin bersama sang Ayah tentunya pada saat Ayah Anin masih hidup.
Namun, detik kemudian, ponsel Anin terdengar berbunyi nyaring. Panggilan video dari abang Anin tertera di layar ponsel.
Anin buru buru menghapus air matanya. Kemudian mengangkat panggilan dengan senyum merekah sempurana.
"Assalamu'alaikum Bunda" Sapa Anin tersenyum girang.
"Wa'alaikum salam. Sayang, kamu kapan liburnya? kapan pulang? bunda kangen." Ucap Bunda Anin dari seberang sana.
"Hehe masih lama lo bun. Anin tau, Anin memang ngangenin. Jadi bunda sabar ya. Nanti Anin bakal pulang kok tenang aja" Sahut Anin cengengesan.
"Eh, itu dahi kamu kenapa di perban perban? kamu nggak papa kan Nin?" Tanya Bunda Anin saat menyadari kening gadis itu tampak di perban.
"Hehe nggak papa kok Bun. Maklum, anak Bunda selalu ceroboh. Kejedot lemari deh"
"Astaga. Kamu itu ya udah Bunda bilangin, kalo mau ngapain hati hati. Jadi gini kan?" Omel bunda Anin khawatir.
"Hehe iya Bun maaf. Besok besok hati hati deh"
"Kamu mah besok besok mulu, ntar kejedot lagi."
"Enggak kok Bun. Suer"
"Eh Nin, makannya jangan sibuk pacaran mulu mentang mentang udah halal, saking fokus liatin Stevan jadi benjol tuh dahi" Ucap abang Anin tiba tiba merebut ponsel dari sang Bunda.
"Apan sih bang? makannya, kalo mau romantis romantisan juga, cepetan nikah sono" Cibir Anin.
"Nggak ah, abang mau nemenin bunda dulu. Nggak mau cepat nikah kaya kamu"
"Bagus deh kalo gitu. Abang Anin kan anak yang paling berbakti, tiada tanding sepanjang masa"
"Yaiyalah. Abang gitu. Ya nggak Bun" Sahut Arthur Abang Anin percaya diri. "Oiya Nin, suami kamu mana?" tanya Arthur kemudian.
"Ah...Stevan ya? Stevan lagi keluar beliin Anin makanan"
"Cieelah manja banget sih istri" Cibir Arthur.
"Apaan sih bang, udah ah aku mau bikin tugas dulu" Alasan Anin.
"Oke sayang. kamu hati hati disana ya, jaga kesehatan. Titip salam buat suami kamu" Ucap Bunda.
"Iya Bun. Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikum salam."
TUT
Tangisan Anin memecah seketika setelah sambungan telfon terputus. Sungguh, dadanya terasa begitu sesak setiap kali berbohong pada abang dan bundanya.
Hal inilah yang membuat Anin selalu bertahan dengan kondisi ini, Anin tidak mau membuat abang dan bundanya kecewa jika mereka tau yang sebenarnya tentang kehidupan Anin. Anin tidak mau abang dan bundanya khawatir.
Karena Anin juga sadar, dari awal memang ini semua sepenuhnya salah Anin. Anin menyesal tidak pernah mendengarkan kata bundanya dan tetap untuk kekeh melanjutkan studynya di Jakarta. Hingga seperti ini lah kehidupan Anin semenjak gadis itu berurusan dengan pria yang bernama Stevan.
Anin selalu tersiksa tanpa merasakan bahagia seperti saat Anin tinggal bersama abang dan Bundanya di Jogja. Tapi semua juga sudah tidak ada gunanya lagi, nasi sudah menjadi bubur, dan Anin hanya bisa melewati semua ini yang entah sampai kapan akan berakhir.
"Maafin Anin Bunda. Maafin Anin abang" Lirih gadis itu memukul dadanya yang kian terasa sesak. Tanpa Anin sadari, seseorang telah memperhatikan dirinya sedari tadi dari ambang pintu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Yamet Yy
ini alfi kek pengen ngilangin gengsinya stev ga zii dhdjsnamshsh
2022-03-18
1
Cicih Sophiana
aq 5ahan lian Anin thor😭😭😭
2021-10-18
0
Eni Trisnawati Mmhe Winvan
hedeeeh bener bener iris bawang
2021-10-06
0