Gabriel mengusap punggung Anin lembut. Gadis itu benar-benar merasa kasihan pada sahabatnya itu. Namun, Gabriel juga tidak tahu harus berbuat apa dalam masalah Anin ini. Gabriel juga ikut bingung dengan apa yang dirasakan oleh sahabatnya. Ingin rasanya Gabriel membunuh seorang Stevan sekarang ini juga karena sudah membuat sahabatnya tersiksa.
"Nin, lo nggak bodoh. Lo nggak bodoh Nin. Gue yakin, siapapun yang ada di posisi lo saat itu, gue yakin dia juga pasti bakan ngelakuin hal yang sama kaya lo. Siapa sih dulu di sekolah kita yang nggak tertarik sama Stevan?"
"Jika Stevan melakukan hal yang sama ke mereka, gue yakin mereka juga bakal kaya lo. Mereka juga nggak bakalan bisa mikir panjang saat itu karena saking bahagia dan nggak percayanya."
"Sekarang, mending lo fokus dulu sama kuliah lo Nin. Lo nggak usah mikirin dia yang nggak mikirin lo sama sekali. Yang harus lo lakuin saat ini, nikmatin aja masa muda lo. Lo anggap aja lo memang belum punya suami. Dengan begitu, dan perlahan, lo juga pasti akan tau jawabannya. Jawaban kenapa Stevan ngelakuin itu semua."
Anin menoleh. "Kalo sampai kapanpun gue nggak nemuin jawabannya, apa gue akan hidup kaya gini terus El? seumur hidup?"
El memegang bahu Anin. "Nin, lo nggak usah mikir terlalu jauh dulu. Lo nggak perlu mikir kedepannya. Sekarang mending lo fikirin untuk saat ini. Sekarang lebih baik lo fokus dulu sama apa yang gue bilang barusan. Lo berhak bahagia Nin. Kita masih muda, dan kita juga nggak tau kedepannya bakal seperti apa"
Anin hanya diam. Gadis itu berusaha mencerna ucapan El. apakah bisa Anin melakukan itu semua? apakah bisa Anin bahagia dengan melupakan statusnya sebagai seorang istri? apakah Anin mampu hidup bahagia sementara di hatinya masih banyak tanda tanya yang belum terjawab? Entahlah. Hanya Anin yang tau jawabannya saat ini.
***
Anin baru saja selesai membayar Taxi. Gadis itu sejenak berdiri di depan rumahnya. Bukan, bukan rumah Anin, tapi rumah pemberian mertua Anin untuk Anin dan juga Stevan.
Kehidupan Anin memang jauh lebih mewah dari biasanya semenjak gadis itu menikah dengan Stevan. Tapi hal itu justru tidak membuat Anin bahagia, melainkan membuat Anin lebih menderita.
Menghembuskan nafas, Anin memutuskan untuk segera masuk ke dalam rumah yang cukup besar tersebut. Anin segera menaiki anak tangga menuju kamar. Setelah sampai di depan kamar, Anin terdiam sejenak sebelum gadis itu memutuskan untuk masuk.
Dari ambang pintu, Anin melihat Stevan tengah fokus belajar di meja belajar yang ada di dalam sana. Karena tidak ingin mengganggu, Anin memutuskan untuk kembali keluar kamar.
Anin kembali menuruni anak tangga menuju lantai bawah tanpa pamit pada Stevan. Sementara Stevan, pria itu hanya menatap pintu kamar setelah kepergian Anin.
Di ruang tengah, Anin tidak lagi menampaki siapa siapa. Mungkin Bi Ana sudah tidur. Pikir Anin.
Anin segera masuk ke dalam kamar tamu. Ya, kamar tamu menjadi tempat pelarian Anin. Beberapa barang-barang Anin seperti baju juga ada beberapa di sana. Karena ini bukanlah kali pertama Anin memilih menginap di kamar tamu karena tidak ingin mengganggu konsentrasi Stevan yang sedang belajar.
Karena Anin tau, menjadi mahasiswa kedokteran itu tidaklah mudah. Bahkan membutuhkan konsentrasi yang tinggi dalam memahami mata kuliah.
Anin segera menaruh tas nya di tempat semestinya. Gadis itu segera berlalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum gadis itu melanjutkan belajar dan mengerjakan tugasnya.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Stevan yang baru saja selesai mengerjakan tugas-tugasnya, melirik jam yang menempel di dinding, kemudian pandangan pria itu beralih ke arah belakang, tepatnya ke arah tempat tidur. Stevan menatap kasur yang masih tertata rapi. Stevan masih belum mendapati Anin kembali.
Stevan menutup buku bukunya. Kemudian dia segera berdiri dan keluar dari kamar menuruni anak tangga. Tujuan utama Stevan saat ini adalah kamar tamu. Karena Stevan sangat tahu dan yakin bahwa Anin pasti sedang berada di kamar tamu saat ini.
Stevan membuka pintu berwarna putih itu perlahan. Kemudian dia berdiri di ambang pintu saat pintu sudah sedikit terbuka. Stevan memperhatikan seisi kamar, ia melihat Anin sudah tertidur di lantai dengan kepala di atas tempat tidur, karena di dalam sana memang tidak ada meja khusus untuk belajar.
Anin tampak tertidur masih memegang pulpen di tangannya. Gadis itu sepertinya tadinya juga sedang mengerjakan tugas.
Stevan masuk ke dalam kamar tersebut perlahan. Pria itu berjongkok di samping Anin, memperhatikan wajah Anin sesaat, sebelum pria itu mengambil pulpen yang ada di tangan Anin.
Stevan memasukkan barang-barang anin kembali ke dalam tas. Detik kemudian, pria itu mengangkat tubuh Anin ala Bridal Style dan memindahkan gadis itu ke atas tempat tidur.
Tangan Stevan menarik selimut untuk menyelimuti tubuh Anin. Tatapan mata itu, tatapan yang sungguh sangat sulit untuk diartikan. Apa yang sebenarnya yang ada di fikiran Stevan?
Stevan hendak keluar dari kamar tersebut. Namun, suara Anin yang tengah mengigau membuyarkan lamunan Stevan hingga membuat Stevan kembali menoleh.
"Bunda.."
"Bunda.."
"Bunda Anin pengen pulang. Anin kangen Bunda, Anin pengen peluk Bunda. Anin capek Bunda" Racau Anin saat mata gadis itu masih terpejam. Di alam bawah sadarnya, air mata Anin menetes tanpa permisi, dan Stevan, melihatnya dengan jelas.
Stevan kembali mendekat pada Anin. Tangan Stevan menyibakkan rambut Anin yang menutupi sebagiah wajahnya. Kemudian, tangan Stevan bergerak menghapus air mata itu dengan sangat hati-hati agar Anin tidak terbangun.
Beberapa saat kemudian, Stevan segera keluar dari kamar tersebut, belalu menaiki anak tangga untuk kembali ke kamarnya.
Di kamar, Stevan mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang. Pandangan Stevan kini teralih ke arah nakas. Dia mengambil benda tersebut dari atas nakas.
Benda yang tidak lain adalah figura yang menampakkan foto pernikahannya dan Anin. Senyum itu, senyum itu terlihat benar-benar bahagia. Mereka seperti pasangan yang benar-benar saling mencintai di foto tersebut.
Stevan memperhatikan foto tersebut sejenak. Tatapan pria itu sendu dan kosong. Tidak ada yang bisa membaca apa yang sedang difikirkan oleh Stevan.
Menit kemudian, Stevan menaruh kembali figura tersebut dengan hati-hati di atas nakas. Kemudian Stevan membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Kali ini, Stevan tidur ke arah bantal guling yang ada di samping dirinya, tepat dimana Anin biasa tertidur.
Stevan berlama lama menatap bantal guling tersebut sebelum mata pria itu benar-benar terpejam dan berlalu ke alam mimpi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
nrllxx
dasar kutub utara kmu stev😅
2022-06-07
0
Ariana
q udah pernah baca TPI agak lupa gimana ceritanya,kayak nya Stevan itu diancam m seseorang,kalau orang 2 yang disayangi akan di sakitin makanya sikapnya kaya gitu ma Anin seolah dia nggak cinta padahal cinta banget,semua demi melindungi sia non ,kalau nggak salah sih gitu ceritanya,soalnya agak lupa😂😂
2021-10-18
0
Cicih Sophiana
mungkin ya mungkin ini sih perkiraan aq, Stiven menghindari Anin karena mereka masih blm cukup umur,klo sekarang mereka sering bermesraan takut terlanjur hamil,sedangkan mereka masih pd kuliah... bener ngak sih thor hehehe...
2021-10-18
0