Rumah Besar, Hati yang Sepi

“Nanti kamu tinggal di rumahku mulai minggu depan,” kata Arka saat kami duduk di ruang tamu apartemenku yang mungil.

Aku menoleh pelan. “Maksudmu, sebelum pernikahan?”

“Sebagai adaptasi. Supaya kamu nggak kaget setelah semuanya sah.”

Aku mengangguk pelan. Sambil berpikir, kalau rasa sesak ini sudah datang sekarang, bagaimana nanti saat semuanya benar-benar jadi nyata?

“Rumahku tidak terlalu ramai. Hanya ada Bu Nani, sopir, dan kadang keponakanku datang main, itupun kalau lagi sempat.”

Keponakan yang dia maksud tentu saja Farel. Dan aku tidak yakin itu hal yang ingin kudengar malam ini.

***

Hari Minggu pagi, aku menjejakkan kaki di rumah Arka untuk pertama kalinya. Lebih tepatnya sebuah mansion.

Rumah itu berdiri megah dengan sentuhan arsitektur modern, dengan pilar-pilar putih, jendela kaca besar, dan halaman luas yang lebih mirip taman hotel bintang lima. Aku berdiri di ambang pintu, merasa seperti turis di negeri orang.

“Selamat datang,” sambut Bu Nani dengan senyum hangat.

“Kamar Nona Nayra ada di lantai dua, sebelah ruang baca.”

Aku mengikuti Bu Nani menaiki tangga spiral yang terbuat dari kayu mahoni. Kamar yang disiapkan untukku lebih besar dari seluruh apartemen kontrakanku. Ada rak buku kosong, balkon kecil, dan lemari baju yang sudah berisi dress dan blus mahal semua sudah disiapkan Arka.

Aku hanya bisa berdiri terpaku, merasa asing dalam kehidupanku sendiri.

***

Sore harinya, Arka mengajakku makan malam bersama keluarga besarnya.

“Ini hanya makan malam ringan. Mama dan adikku datang. Bukan formal, santai saja,” katanya di mobil.

Tapi begitu aku masuk ke ruang makan, aku tahu itu bukan pertemuan biasa. Semua orang berdandan rapi. Ibu Arka mengenakan kebaya modern. Adik Arka, wanita elegan bernama Dira, menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Dan yang paling mencolok adalah keheningan saat aku duduk.

“Ini Nayra,” kata Arka singkat. “Tunanganku.”

Ibu Arka tersenyum... terlalu tipis. “Ah, akhirnya kamu benar-benar memilih menikah, Arka. Kami semua penasaran, seperti apa gadis yang berhasil... meyakinkanmu.”

Aku mencoba tersenyum. “Terima kasih, Tante. Senang bisa bertemu keluarga.”

Dira mengaduk supnya pelan. “Kamu masih kuliah?”

“Saya baru lulus tahun ini.”

“Wah, muda sekali ya,” ucapnya, datar. “Apa Nayra memang sudah siap menjadi istri, terutama istri seorang Arka Pratama?”

Pertanyaan itu tidak bisa dianggap basa-basi. Aku tahu, Dira tidak sedang bertanya, tapi dia sedang menguji.

Aku menatapnya pelan. “Saya belum sempurna, tapi saya siap belajar. Dan saya tahu, jadi istri bukan soal usia, tapi soal kemauan untuk bertumbuh bersama.”

Dira menaikkan alis. Ibu Arka hanya mengangkat cangkir tehnya tanpa komentar.

Dan makan malam itu berjalan seperti aku adalah tamu yang tak diinginkan.

***

Malam harinya, saat kami sudah kembali ke kamar masing-masing, Arka mengetuk pintuku.

“Boleh masuk?” tanyanya.

Aku membuka pintu. “Ada apa?”

Dia berdiri di ambang pintu, mengenakan kaus abu dan celana santai. Wajahnya lelah, tapi sorot matanya masih sama, penuh kontrol.

“Mereka memang begitu. Tapi jangan biarkan itu menyakiti kamu.”

Aku tersenyum tipis. “Kamu yakin bukan aku yang salah masuk dunia?”

“Bukan. Mereka cuma terbiasa melihatku sendiri. Tiba-tiba aku bawa perempuan ke rumah, dan bilang akan menikah. Mereka terkejut, bukan marah.”

Aku menatap wajahnya, mencoba mencari celah, adakah luka yang dia sembunyikan? Ataukah memang dia terbiasa membungkus semua emosi dengan dingin?

“Apa kamu pernah bahagia, Arka?” tanyaku tiba-tiba.

Dia terdiam. Lalu mengangkat bahu. “Aku nggak tahu. Mungkin... bahagia itu bukan buat semua orang.”

“Lalu kenapa kamu nikah?”

Dia menatapku. “Karena kamu bikin aku ingin percaya... mungkin bahagia itu bisa dicoba.”

Aku tercekat. Tak menyangka mendapat jawaban seperti itu.

“Tapi aku nggak janji akan berhasil,” lanjutnya.

Aku tersenyum samar. “Aku pun tidak.”

Dan malam itu, kami berdiri di ambang pintu masing-masing. Dua orang asing yang saling memberi rumah, tapi masih mencari kunci untuk membuka hati mereka sendiri.

***

Aku memandangi dinding putih kamar baruku. Kosong. Bersih. Rapi. Terlalu sempurna untuk kutinggali.

Di lantai bawah, suara percikan air dari kolam kecil di taman belakang terdengar samar. Rumah ini terlalu tenang. Dan keheningannya membuat pikiranku gaduh.

Sudah tiga hari aku tinggal di sini. Arka nyaris tidak pulang malam. Saat pulang pun hanya untuk bicara sebentar, lalu tenggelam lagi dalam rapat atau dokumen.

Aku mengerti dia sibuk. Tapi aku juga bukan boneka pajangan. Aku tidak diminta menikah untuk sekadar duduk cantik di rumah besar.

Aku berdiri dan mengambil beberapa lukisan kecil yang dulu kubeli dari pelukis jalanan. Kubuka koper, mulai menyusun buku-bukuku di rak. Lalu menaruh foto kecil Mama dan Papa di meja samping tempat tidur.

Aku belum bisa menyebut tempat ini sebagai rumah. Tapi setidaknya, aku ingin membuatnya sedikit lebih ‘aku’.

***

Sore itu, saat sedang menggantung satu lukisan bunga matahari di dinding, suara ketukan membuatku menoleh.

“Masuk,” kataku.

Pintu terbuka dan muncullah sosok yang tak kusangka akan kulihat di rumah ini.

“Farel?”

Dia berdiri di ambang pintu, mengenakan hoodie dan ransel di punggung. Rambutnya sedikit berantakan, ekspresinya penuh keraguan.

“Lo ngapain di sini?” tanyaku pelan.

“Om Arka manggil. Dia minta bantu urus desain interior ruangan baru di kantor,” jawabnya. “Dan... gue dengar Lo udah pindah ke sini.”

Aku mengangguk. “Iya, buat adaptasi katanya.”

Farel masuk pelan, menatap kamar yang kini mulai berisi. “lo beneran tinggal di rumah ini? Sama dia? Di bawah atap yang sama?”

Aku menelan ludah. “Kita masih di kamar terpisah.”

Dia menghela napas. “Gue nggak ngerti, Nay. Gimana bisa Lo nerima semua ini kayak ini hal biasa?”

Aku menatapnya tajam. “Karena hidup gue nggak biasa, Rel. Karena gue nggak punya banyak pilihan seperti lo.”

Farel mendekat, berhenti di depan lukisan yang belum sempat kupaku. Tangannya menyentuh bingkai kayu, lalu menatapku.

"Lo tahu gue masih peduli kan?”

Aku menarik napas panjang.

“Farel, tolong jangan ngomporin emosi yang bahkan belum sempat gue urus.”

“Kalau lo butuh tempat kabur, lo tahu di mana gue,” ucapnya lirih, lalu keluar sebelum aku sempat menjawab.

***

Malam itu, saat aku turun untuk makan malam, Rania datang lagi.

Dia duduk di ruang tamu, berbincang ringan dengan Ibu Arka dan Dira. Wajah mereka tampak jauh lebih hangat dibanding saat aku hadir di rumah ini.

Aku berdiri di ujung tangga, tidak ingin turun. Tapi terlalu telat. Rania sudah menoleh ke arahku.

“Nayra,” sapanya manis.

“Akhirnya ketemu lagi. Aku ke sini mau kasih undangan pembukaan galeri baruku. Aku kira... kamu juga akan diundang, kan?”

Aku turun pelan, mencoba tetap tenang. “Terima kasih, tapi sepertinya aku belum pantas hadir di tempat sekelas itu.”

“Oh, jangan gitu. Kamu kan sekarang tunangan Arka. Harus mulai belajar bersosialisasi.”

Nada bicaranya sopan. Tapi setiap katanya seperti ditaburi garam ke luka.

Ibu Arka tersenyum tipis. “Rania memang sudah seperti anak sendiri. Kami masih sering bertemu.”

Dan di detik itu, aku sadar. Rumah ini... belum tentu akan jadi milikku. Bukan karena ukuran atau properti. Tapi karena hati orang-orang di dalamnya.

***

Malam semakin larut saat aku duduk di balkon kamar. Arka akhirnya pulang. Kudengar suara mobilnya. Tapi aku tak turun menyapa. Biarkan dia sibuk dengan dunianya, dan aku dengan resahku.

Tak lama, ponselku bergetar.

Arka: Kamu sudah tidur?

Nayra: Belum, ini lagi ada dibalkon.

Arka: Maaf aku terlambat lagi. Besok pagi kita sarapan bareng. Aku yang masak.

Aku membaca pesannya berulang-ulang. Arka... memasak?

Kugigit bibir. Lalu membalas.

Nayra: Oke. Aku tunggu.

***

Pagi itu, dapur rumah yang biasanya sepi terasa hidup. Arka mengenakan celemek putih dan mengaduk telur di wajan. Bau roti panggang menyebar, mengimbangi keheningan yang biasanya mendominasi.

“Kamu bisa masak?” tanyaku setengah tak percaya.

Dia mengangguk pelan.

“Cuma menu sarapan. Tapi cukup untuk bikin kamu duduk manis dan makan.”

Aku duduk, memperhatikan caranya menyusun makanan ke piring. Semua begitu presisi. Rapi. Seperti dirinya.

“Rania datang lagi semalam,” kataku tiba-tiba.

Arka meletakkan sendok. “Aku tahu.”

“Kamu nggak keberatan dia dekat sama keluargamu?”

“Dia bagian dari masa lalu. Tapi mereka... belum bisa melepaskannya.”

Aku menatapnya.

"Apa kamu juga belum?”

Dia tak langsung menjawab. Lalu berkata, “Aku sudah melepaskan. Tapi bekasnya tidak hilang begitu saja.”

Aku mengangguk. Lalu bertanya pelan.

“Apa kamu akan bisa cinta lagi?”

Dia menatapku lama.

“Mungkin tidak. Tapi aku ingin belajar.”

Dan pagi itu, dengan dua piring sarapan di meja dan jarak sejauh lengan di antara kami, aku sadar... Arka memang tidak menjanjikan cinta.

Tapi dia mencoba memberiku ruang.

Dan mungkin... itu permulaan yang cukup.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!