Happy Reading...
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Di dalam kamar bernuansa putih, Bunda Ikah dan Abi Farid tengah terlibat obrolan, dan sepertinya itu cukup serius sekali, karena terlihat dengan jelas wajah Bunda Ikah yang sedikit gelisah saat mengatakan itu pada Abi Farid. Air mukanya yang biasanya kalem, bijak juga penuh kasih sayang, seperti sedang berfikir sangat keras. Dan itu wajar, karena mereka tengah membicarakan putra semata wayanganya, yang menjadi harapan mereka baik di dunia ataupun di ahirat kelak.
"Pokoknya Abi harus bicara sama, Mas Ali. Masak berkali-kali Bunda tanya, jawabnya suka sama Lily." Kata Bunda Ikah. Abi Faridpun menghela nafasnya dalam dan merangkul bahu istrinya lantas menyandarkannya di bahunya.
"Abi yakin kalau Mas Ali tidak seperti itu Nda. Itu hanya alasan Mas Ali saja, agar bisa lepas dari pembicaraan mengenai perjodohan. Lagipun, kalau dia menyukai, Lily, pasti itu karena mengingatkannya pada masa kecil Zilla yang selalu membuat Mas Ali merasa kehilangan yang begitu berlebihan." Jawab Abi Farid.
"Bunda hanya kwatir saja, Bi. Coba kalau benar jodohnya Lily, mau berapa lama lagi kita menunggu untuk melihat Mas Ali menikah, sekarang saja Lily masih umur Delapan tahun." Jawab Bunda Ikah.
"Ya, tidak akan selama Abi menunghu Bunda, di abaikan berkali kali, dan di.."
"Abiii.." Potong Bunda Ikah dengan sudah mencubit pinggang Abi Farid, lantas mengeratkan tangannya untuk memeluk Abi Farid. "Kini Bunda tau rasanya berada di posisi Almarhum Abah juga Ibuk, saat memilihkan jodoh untuk sampean." Lanjut Bunda Ikah dengan suara yang sendu, lantas semakin mengeratkan pelukannya.
"Ya, Abi juga. Tapi, Mas Ali kita tidak seperti Abi yang masih muda, Mas Ali kita lebih berprinsip seperti Bundanya. Saat kita memilihkan jodoh untuk Mas Ali, maka kita harus ingat seperti apa perjalan kita hingga ada Mas Ali di tengah tengah kita." Ucap Abi Farid dengan mencium kening Bunda Ikah.
"Dan karena itukah. Abi, memberi kebebasan untuk Mas Ali saat ini. Dan membiarkan Mas Ali dan Mas Fikri berangkat ke Jakarta besok dengan membawa kendaraan sendiri." Ujar Bunda Ikah dengan menggeser tubuhnya dan dapat terlihat raut kwatir di wajahnya yang masih ayu.
"Setidaknya kita harus memberi kepercayaan pada Mas Ali, agar Mas Ali juga percaya sama kita, Nda." Jawab Abi Farid.
"Nanti, kalau Mas Ali benar benar ke terima di UIN Jakarta bagaimana, Bi." Rajuk Bunda Ikah, dan dengan segera Abi Farid meraih kedua tangan Bunda Ikah dan menjajarnya di pangkuan Abi Farid.
"Do'a seorang Ibu mampu menguncangkan Asry'." Ucap Abi Farid pelan lantas mencium kedua telapak tangan Bunda Ikah dengan senyum yang mengembang, dan dengan sudah mengerti maksud dari Abi Farid Bunda Ikahpun ikut tersenyum penuh pengertian.
Dengan pelan Abi Farid menggeser tubuhnya, lantas merebahkan kepalanya di pangkuan Bunda Ikah sembari memejamkan matanya Abi Farid terus bertutur mengenai riwayat dan kisah kisah orang tua yang membersarkan anaknya, sementara Bunda Ikah tak henti hentinya membelai rambut Abi Farid yang sudah sebagian besar memutih itu.
"Apa alasan yang di sampaikan Mas Ali, saat minta izin memajukan keberangkatannya besok." Ucap Bunda Ikah, saat Abi Farid sudah hampir tertidur di pangkuan Bunda Ikah.
"Hemmm, Mas Ali bilang kalau mau mampir ke Krapyak soan ke Ndalem Kyai Munif, tapi sebelum itu jelas mapir ke Rumah Mbak Lalanya dulu." Jawab Abi Farid santai seperti
"Nah kan. Bunda sudah menduganya." Jawab Bunda Ikah sambil mendesah berat.
"Biarkan saja, Nda. Sejauh jauhnya burung terbang, pasti nanti akan kembali ke sarangnya. Sama seperti Abi dulu, jauh kemana mana kan tetap kembalinya ke Bunda." Ucap Abi Farid lantas segera kembali dengan posisi duduknya, dan hendak meraih kepala Bunda Ikah. Namun, Bunda Ikah justru cepat berkelit dengan langsung berdiri seraya berucap pelan.
"Bunda akan melihat anak anak, apa masih bergadang dengan tugas dari Abi." Tutur Bunda Ikah, lantas segera berjalan pelan menuju pintu dengan meninggalkan senyum manis untuk Abi Farid yang tengah menggelengkan kepalanya pelan ke arah Bunda Ikah.
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Suara cicitan burung serta kokokan ayam jantan, menambah syahdu pagi di Ndalem Abi Farid. Dan pagi yang biasanya di isi dengan senyum malu malu oleh Mbak Hafiza, pagi ini memudar seiring dengan di lihatnya tas ransel Gus Ali yang sudah berada di samping kursi ruang tamu.
"Kembali pergi." Mungkin itulah yang sedang di pikirkan oleh Mbak Hafiza, dan terus berdiri di samping pintu dapur dengan hati bercampur aduk jadi satu seperti seseorang yang tengah bersembunyi.
Hati Mbak Hafiza semakin terasa rumit lagi, saat terdengar olehnya suara Gus Ali yang sudah berpamitan dengan keluarganya, dan bertambah semakin rumit lagi air mata ikut luruh bersamaan dengan airmata Ning Kia yang akan berpisah dengan Paman kesayangannya.
Pikiran itu saling berebutan mencari kebenarannya, saat dari temoat dia berdiri sekarang dapat terlihat punggung Gus Ali yang tenang menengkan Ning Kia, dan hati Mbak Hafiza juga menginginkan hal itu juga.
"Aku siapa untuknya, aku hanya seorang Khadimah lalu alasan apa yang membuatnya harus berpamitan kepadaku." Lirih batin Mbak Hafiza lantas segera berbalik menuju ke dapur khusus keluarga Ndalem.
Mbak Hafiza membuang lirihan yang tidak tahu diri itu bersama dengan sabun yang membusa di piring, dan menyamarkan semua yang dia dengar dengan gemirik air dari keran yang di biarkan mengalir membasahi piring hingga cipratannya mengenai wajah juga kerudungnya yang di biarkan menjuntai. Hingga tanpa dia sadari ada seseorang yang tengah masuk ke dapur dan memandang punggungnya cukup lama sebelum ahirnya berdehem pelan.
"Dhemm." Suara berbass yang ahirnya mengusik pikiran kalut Mbak Hafiza, tidak dengan segera Mbak Hafiza berbalik, melainkan menata hati juga mimiknya agar tidak tampak kacau, bahkan expresinya bisa di baca orang lain.
"Mbak Fiza, apa ada air dingin." Lanjut Mas Naufal saat Mbak Hafiza sudah membalikan badannya.
"Ada Mas." Jawab Mbak Fiza hendak beranjak dari tempanya.
"Tidak apa Mbak Fiza, saya bisa ambil sendiri." Kata Mas Naufal saat melihat Mbak Hafiza hendak beranjak menuju ke Lemari Es yang letaknya lebih dekat dengan Mas Naufal.
"Enggeh Mas." Jawab Mbak Hafiza kemudian berhenti di tempatnya dengan wajah tertunduk seperti kebiasaanya saat bertemu dengan seorang Laki-Laki.
"Gelasnya Mbak Fiza." Ucap Mas Naufal lagi, dan masih dengan terrunduk Mbak Hafiza mengambilkan gelas untuk Mas Naufal, lantas menaruhnya di atas meja makan kecil yang berada disana, tepat di samping tangan Mas Naufal yang sudah duduk di kursi.
Hening, suara air yang di tuang oleh Mas Naufal seakan berirama begitu keras hingga dapat di dengar oleh mereka berdua yang tengah larut dalam pikiran masing masing, hingga kembali suara Mas Naufal mengusik Mbak Hafiza untuk memperhatikannya.
"Rasa itu seperti air, yang akan berbentuk seperti wadahnya di tempatkan. Jika, karena diam semua akan lebih baik, maka memang itu yang harus dilakukan. Tapi, kadang diam juga bukan karena tidak ada usaha ataupun cara yang sedang di lakukannya, karena ada satu alasan yang membuat harus tetap diam sementara waktu." Ucap Mas Naufal Ambigu, dan seakan itu menelanjangi Mbak Hafiza yang di rumitkan oleh perasaannya.
Tapi tidak bagi Mas Naufal, karena saat Mbak Hafiza mengangkat kepalanya untuk memastikan ucapan itu keluar dari bibir Mas Naufal, yang di dapat justru senyum lembut yang tersungging di bibir Mas Naufal dan membaut jantung Mbak Hafiza berdesir lembut untuk sesaat, dan semua begitu cepat sekali berlalu saat Mas Naufal mulai berdiri dan melanjutkan ucapannya.
"Semangat belajar, Aku akan menunggu." Ucap Mas Naufal saat hendak beranjak dari tempatnya, tanpa memberi kejelasan kepada Mbak Hafiza akan kalimat terahirnya, " Aku akan menunggu.". Yang membuat Mbak Hafiza terpaku di tempatnya, dan menyisakan beribu tanya baginya. Karena, baru kali ini Mas Naufal berbicara secara pribadi dengan bahasa yang jauh dari kebiasaannya, atau seperti bahasa seorang Laki-Laki kepada seseorang yang di sukainya.
Mbak Hafiza terus memandang punggung tegap milik Mas Naufal hingga menghilang di balik pintu, dan tidak lama setelah itu Mbak Hafiza sudah kembali mendengar nada suara Mas Naufal yang seperti biasanya, yakni penuh canda.
Di ruang tengah itu, semua keluarga sedang berkumpul, satu persatu dari mereka terus memberi wejangan kepada Gus Ali dan Mas Naufal agar berhati hati di jalan, serta mematuhi rambu rambu lalu lintas, juga tidak ketinggalan Gus Nayif yang memberi tahu Mas Naufal agar tidak memelih jalan poros untuk perjalan kali ini, karena ini adalah weekend, jelas akan sangat rame.
Di satu sisi, tangan Bunda Ikah seakan enggan sekali melepaskan lengan Gus Ali, hingga Abi Farid meraih tangan Bunda Ikah untuk melepaskan tangan Putra semata wayang mereka.
"Sudah Nda, akan terlalu siang buat mereka." Ujar Abi Farid saat meraih tangan Bunda Ikah.
"Iya Nda. Ini kan juga bukan pertama buat Mas Ali dan Mas Naufal pergi." Kata Ning Afiqah, lalu memberikan putra dalam gendongannya kepada Gus Nayif lantas melangkah menuju ke Bunda Ikah dan membelai punggung Bunda Ikah lembut.
"Hemm, apa Ali mesti kembali seperti Ali yang dulu, agar Bunda cepat cepat mengirim Ali ke Pesantren." Ucap Mas Ali dengan merangkul tubuh Bunda Ikah dan menyembunyikannya di dada Gus Ali yang bidang.
"Sudah Mas, sudah siang, nanti akan malam sampai di Semarang." Ucap Abi Farid dengan membelai punggung keduanya. "Sudah Nda. Masak tidak malu sama Ndhok Kia." Lanjut Abi Farid dengan menyeka airmata Bunda Ikah yang merebak di ujung mata.
"Mas, sudah ngabari Mbak Zilla, kalau mau mampir kesana.?" Tanya Ning Afiqah.
"Belum, biar jadi kejutan." Jawab Mas Ali.
"Mas, mana bisa seperti itu, nanti kalau Mbak Zilla tidak ada, atau sedang sibuk. Sekarang kan lagi liburan." Kata Ning Afiqah lagi. "Biar nanti Mbak yang kasih kabar ke Mbak Zilla, kalau momongannya mau datang kesana." Lanjut Mbak Afiqah.
Ahrinya setelah drama panjang itu, Gus Ali dan Mas Naufal meninggalkan pelataran Pesantren Al-Ma'aly dengan di iringi do'a oleh kedua orang tuanya. Bersama kepulan asap dari kendaraan yang membawa Gus Ali, Bunda Ikah menyandarkan kepalanya di bahu Abi Farid.
"Ayo masuk." Ucap Abi Farid pelan dengan menarik tangan Bunda Ikah, wanita yang selama ini telah mengabdikan diri sebagai Istri, kekasih juga sekaligus partner yang memerikan seluruh kebahagian untuk keluarga Maulana.
"Bi, bagaimana dengan Mbak Hafiza.?" Ucap Bunda Ikah saat mereka sudah berada di dalam rumah. Abi Farid menatap lekat mata Bunda Ikah, kemudian menaruh kedua tangannya di bahu Bunda Ikah sebelum ahirnya beliau mengulas senyumnya
"Akan tiba saatnya nanti, biarkan Mbak Hafiza menyelesaikan pendidikan ya dulu." Jawab Abi Farid dengan bijak, lantas mengajak Bunda Ikah untuk melanjutkan aktifitas pagi seperti biasa saat ada atau tidak ada Gus Ali.
Bersambung...
####
Gus Ali, sampaikan salam saya buat dr.Ganteng yah, saat nanti mampir ke rumah Mbak Zilla.
Like, Coment and Votenya masih di tunggu...
Love Love Love...
💖💖💖💖💖💖
By: Ariz kopi
@maydina 862
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
༄👑💗e¢¢e ρтħš αямч💗👑࿐
berdesis
2021-04-26
1
Bayangan Ilusi
Ouch.. berbahaya.
aku akan menunggu, kata mas nauval
2021-04-25
1
lambe turah
wah mas ali suka nya sama ndok lily... hihihihi
2021-03-01
1