Happy Reading...
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Suasana di ruang makan menjelang mahrib kali ini cukup berisik. Itu karena suara gurauan Ning Kia dan Gus Ali. Ning Kia yang tahu Gus Ali sangat gelian sengaja menggodanya dengan terus menggelitiki Gus Ali terus terusan dan Gus Alipun tidak mau kalah membalas Ning Kia, hingga tawa Ning Kia terus membahana memenuhi seluruh ruangan.
Tidak di pungkiri memang mereka berdua tergolong dekat, meski mereka jarang bertemu, itu karena Gus Ali yang memang sangat penyayang dengan anak kecil. Bahkan dengan anak Gus Hafidz juga deket, padahal notabennya mereka hanya bertemu sekali saja pas dulu Gus Ali mau berangkat ke Yaman. Padahal waktu itu anak Gus Hafidz masih umur 1.5 tahun. Dan dari seluruh saudara hanya Gus Hafidzlah yang tinggal cukup jauh, dan keluar dari Jawa Timur, yakni di Jakarta Selatan.
Suara deheman pelan dari Abi Farid, langsung membuat Gus Ali duduk dengan posisi benar, begitupun dengan Ning Kia yang langsung mendatangi Kakungnya untuk menyambutnya. Dengan di iringi celotehan Ning Kia, Abi Faridpun di ajak duduk oleh Ning Kia dan tanya jawab segera bergulir dari bibir Ning Kia ke Kakungnya, dan segera berhenti saat Bunda Ikah dan Mbak Hafiza membawa masuk masakan untuk buka puasa.
Semua masakan kesukaan Gus Ali, sudah tertata rapi di meja. Ada Botok Tawon, Pepes kemangi, Uyah Asem Pitik, dan belum lagi jenis sayur sayuran yang lainnya. Hingga semuanya memenuhi meja makan ini.
"Mbak Fiza, berapa waktu yang di habiskan untuk membantu Bunda di dapur kali ini.?" Tanya Abi Farid dengan senyum yang mengembang kepada Mbak Hafiza yang baru saja menaruh oseng oseng bunga Pepaya dengan ikan teri kering.
"Tidak lama Bi, hanya satu jam." Jawab Mbak Hafiza dengan tersenyum pula, namun kepalanya menunduk di samping meja yang bersebrangan dengan Gus Ali yang tengah duduk.
"Dan semua ini makanan kesukaan Mas Ali, Abi hanya kebagian oseng oseng bunga Pepaya, sama Tempe." Kembali Abi Farid berkata tapi kali ini dengan mengalihkan pandangannya ke arah Bunda Ikah masih dengan mempertahankan senyuman khas miliknya.
"Abi kan setiap hari makan masakan Bunda, bukan begitu Mbak Fiza.?" Kata Bunda Ikah, namun hanya di jawab dengan senyuman oleh Mbak Hafiza. Bagi Mbak Hafiza sudah sangat terbiasa melihat cinta mereka berdua yang seakan tidak pernah pudar di makan usai, bahkan cendrung bertambah dan bertambah seiring dengan bertambahnya hari di pergantian tahunnya. Bahkan Mbak Hafiza sering melihat Abi Farid dan Bunda Ikah yang makan dalam satu wadah, juga sering atau mungkin Mbak Hafiza juga belum pernah melihat Bunda Ikah ketika buka puasa tanpa di suapi oleh Abi Farid, kecuali saat tindak an.
"Nda, kalau setiap hari. Bunda masak begitu banyak seperti ini untuk Ali, yang ada timbangan Ali berubah dengan cepat, bahkan tidak mungkin akan seperti Abi." Ucap Gus Ali lalu meraih tangan Bunda Ikah dan mendudukan di samping Abinya. "Bunda saja masih puasa untuk Ali hingga saat ini. Jadi, Bunda jangan terlalu capek di dapur." Lanjut Gus Ali begitu Bunda Ikah sudah duduk dan tetap mengenggam tangan Bunda Ikah dengan lembut.
Di sisi lain dari meja itu, di balik kepala yang tertunduk, ada senyum yang terus semakin mengembang melihat prilaku manis dari Gus Ali untuk Ibunya yang hanya bisa di saksikan ketika di dalam Dhalem saja. Karena, saat Gus Ali sudah keluar Dhalem maka Gus Ali akan berubah sangat pendiam, apa lagi jika di hadapan Mbak Mbak Santri. "Alangkah beruntungnya wanita yang akan menjadi Istri dari Gus Ali." bisik hati Mbak Hafiza sambil berlalu kembali dapur.
"Bunda tidak akan capek di dapur, coba kalau ada yang nemenin di dapur pasti akan lebih baik lagi. Betul kan Bi.?" Kata Bunda Ikah dan itu mempu membuat langkah kaki Mbak Hafiza melemah.
"Kan setiap hari di temani sama Mbak Fiza." Sela Ning Kia. Tanpa di sadari ucapan Ning Kia membuat ruang ngilu tersendiri untuk Mbak Hafiza.
"Betul kata Ndhok Kia." Timpal Gus Ali.
"Mas, Bunda rasa Mas Ali tau apa yang Bunda maksud. Iya kan Bi." Kata Bunda Ikah penuh penekan dan semakin membuat langkah Mbak Hafiza melambat lagi. Bahkan untuk sampai di pintu dapur saja seperti berkilo kilo jauhnya.
"Bagaimana bisa tahu, kalau Bunda tidak menjelaskan." Jawab Abi Farid dengan sudah meraih piringnya, dan dengan cepat pula Bunda Ikah sudah meyiapkan isi dari piring Abi Farid dengan masih bertutur mengenai Gus Ali yang sudah umurnya untuk menikah.
"Bunda tidak memilih yang harus punya pesantren besar, atau apapun itu yang di miliki orang tuanya. Yang Bunda dan Abi inginkan dia memiliki Ahlaq yang bagus tidak perlu dukungan nama baik keluarganya karena itu akan malah berisnar baginya. Itu saja sudah lebih dari cukup. Ya kan Bi." Ucap Bunda Ikah lagi, dan itu membuat hati Mbak Hafiza kembali berbunga.
"Insya'Allah." Jawab Abi Farid. "Apa rencana mu Mas, setelah ini." Lanjut Abi Farid mengeluarkan dari topik sebelumnya.
"Ali ada panggilan wawancara di kampus Dek Hafidz mengajar Bi, dan Insya'Allah seminggu lagi Ali akan kesana." Jawab Gus Ali.
"Jangan jauh jauh Mas, kalau di Jakarta Bunda tidak bisa sering sering menjengguk sampean. Mbok ya di UIN Surabaya saja kenapa tho.?" Ucap Bunda Ikah dengan nada yang sedikit sendu.
"Di Surabaya untuk Dosen Tafsir tidak ada tempat kosong, Nda. Lagian di Jakarta kan tidak begitu jauh juga, kan masih jauh di Yaman. Benar kan Bi." Jawab Gus Ali.
"Iya, kalau di Jakarta kan bisa bantu-bantu juga di Pesantren Hafidz, Nda." Jawab Abi Farid.
"Di Surabaya juga bisa bantu di Pesantren Gus Nizam. Biar nanti Bunda yang bicara sama Mas Nayif, siapa tau Gus Nizam bisa bantu kalau Mas Nayif yang bicara." Ucap Bunda Ikah.
"Ali fikir tidak perlu, Nda. Itu akan merepotkan Mas Nayif, dan seperti memanfaatkan hubungan keluarga untuk kepentingan pribadi." Jawab Gus Ali dengan mempertahankan senyum di bibirnya.
"Pokoknya Bunda tidak rela kalau kamu jauh lagi dari Bunda." Kata Bunda Ikah.
"Ya sudah sekarang buka puasa saja dulu." Kata Abi Farid dengan menyuapkan air putih kepada Bunda Ikah bertepatan dengan Adzan mahrib yang tengah berkumandang. Lantas seketika suasa kembali hangat oleh pandangan semuanya, lantaran suapan demi suapan dari Abi Farid kepada Bunda Ikah.
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Dua hari berlalu dan seperti kebiasan dulu ketika Gus Ali masih kecil, akan selalu ada acara rutinan Silaturahim bersama seluruh keluarga Maulana, kecuali yang berada di luar kota. Dan acara Jum'ah pagi ini bertepatan sekali bertempat di kediaman Abi Farid.
Sedari habis subuh tadi, entah sudah berapa kali Mbak Hafiza keluar masuk dapur Dhalem guna untuk mempersiapkan segalanya. Kue-kue basah, Buah, cemilan dan beserta temannya sudah tertata rapi di Aula pertemuan. Di samping Aula juga sudah di siapkan meja yang berisikan berbagai masakan yang kali ini dengan perdebatan Khusus Gus Ali meminta Bunda Ikah agar mencari tukang masak dari luar, agar Bunda Ikah tidak terlalu capek.
"Ponakan Hala, makin cakep saja." Kata Ning Lutvi yang baru saja masuk ke Ndalem Bunda Ikah. "Sini Le, tak cubit pipinya." Lanjutnya dengan sudah menjawil pipi Gus Ali.
"Bulek Lutvi apa kabar, kapan tiba di Banyuwangi." Ucap Gus Ali sambil menyalami tangan Ning Lutvi juga suaminya Gus Basith.
"Kemarin, sengaja datang karena penasaran sama Mas Ali, apa masih sama nakalnya kayak dulu waktu kecil." Jawab Ning Lutvi. "Sudah lama sekali yah tidak ketemu sama Mas Ali, kayak e terahir kali pas Nikahnya Mbak Fika, berarti 10 tahun lalu." Lanjut Ning Lutvi sambil menepuk nepuk bahu Gus Ali.
"Coba, apa sekarang masih berani berantem sama Bu Dosen killer." Timpal Gus Basith.
"Iya lho, Bi. Umi jadi penasaran kalau ketemu sama Ndhok Shoffi gimana reaksi mereka berdua apa sudah bisa akur." Jawab Ning Lutvi yang bertepatan dengan Bunda Ikah dan Mbak Hafiza yang masuk ke ruang tamu.
"Apa Ndhok Shoffi sedang pulang.?" Tanya Bunda Ikah sembari menyajikan minuman untuk adiknya itu, setelah sebelumnya bersalaman dan saling memeluk untuk melepaskan rindu. "Mbak Fiza, tolong mbak mbak yang terima tamu suruh bersiap ya." Lanjut Bunda Ikah saat melihat Mbak Hafiza yang hendak beranjak.
"Enggeh Nda." Jawab Mbak Hafiza dan kembali tanpa sengaja manik mata Mbak Hafiza bersitubruk dengan netra teduh milik Gus Ali, saat menganggat kepalanya untuk menjawab Bunda Ikah.
"Saya tadi lihat sama Dek Hilwa, kayaknya sebentar lagi sampai." Jawab Ning Lutvi, "Iya, Mas Mimi dimana, Mbak.?"
"Di belakang, sedang kasih makan ikan, Gus Basith kalau mau nyusul.? Sebelum yang lain pada datang." Ucap Bunda Ikah.
"Iya Mbak." Jawab Gus Basith lantas beranjak, begitupun Gus Ali hendak beranjak namun dengan cepat tangan Gus Ali sudah di tarik oleh Ning Lutvi.
"Ponakan Hala, kayak Mas Mimi masih muda ya Mbak. Manis." Ucap Ning Lutvi, dan masih memegang tangan Gus Ali. Dan hanya di tanggapi oleh Bunda Ikah dengan senyum saja. Kemudian setelahnya mereka tetap terlibat obrolan hingga sebuah suara yang sangat di tunggu tunggu datang juga.
"Assalamu'alaikum." Ucapnya dengan lantang. "Sedari di jalan saya terus saja batuk batuk, dan ternyata benar saya sedang di Ghibahin." Ucap Ning Shoffi yang terkenal paling bar bar, di antara para Ning di meluarga Maulana, bahkan dia juga sangat jauh berbeda dengan Kakaknya Syiffa yang sangat pemalu. Namun kata katanya langsung terhenti saat melihat Gus Ali yang tengah duduk di samping Ning Lutvi.
"Pi, itu lawanmu sudah datang." Timpal Bunda Wawa dari belakang tubuh gempal Ning Shoffi. Mereka semua saling tertawa begitu melihat expresi Ning Shoffi yang berubah pias saat melihat Gus Ali.
Setelah mereka saling bersalaman dan menanyakan kabar masing masing, kembalilah mereka semua terlibat obrolan hingga beberapa lamanya. Tapi, baik Ning Shoffi ataupun Gus Ali hanya diam saja mendengarkan mereka mengobrol. Namun saat obrolan itu membahas kisah kecil mereka Ning Shoffi langsung angkat bicara.
"Kali ini saya tidak akan tertindas oleh Mas Man Man." Ucap Ning Shoffi dengan yakin. "Tubuh krepeng gitu, kena senggol dikit saja udah jatuh pastinya." Lanjutnya.
"Yakin.?" Ucap Gus Ali singkat.
"Boleh di coba." Jawab Ning Shoffi dengan sudah mengendurkan kancing lengan tangannya.
"Opi." Kata Bunda Wawa pelan, dan itu sontak membuat Ning Shoffi merengut sambil berujar yang membuat semua makin tertawa.
"Bunda, Shoffi tidak suka di panggil Opi. Itu mengingatkan kekalahan Shoffi dari Mas Man Man." Jawabnya.
"Ngaku kalah ya." Jawab Gus Ali.
"Enggak, siapa bilang." Jawab Ning Shoffi lagi.
"Dan ahirnya pertunjukan di mulai." Kata Ning Lutvi masih dengan senyum yang mengembang.
"Kalian ini sudah pada dewasa, Ndhok Shoffi saja sudah mau menikah, kok ya masih saja berantem kalau ketemu." Ucap Bunda Ikah.
"Iya lho Mbak heran saya, yang lebih saya heran lagi Shoffi yang enggak berubah sedikit lembut, padahal dua saudaranya saja lembut lembut." Timpal Bunda Wawa.
"Belum Dek Wawa, nanti kalau sudah ketemu sama Mas Bojo juga lembut. Sama kayak Mas Ali nanti, kalau sudah ketemu sama belahan jiwanya juga bakalan berubah. Biarkan saja itu jadi cerita untuk anak anak mereka kelak." Kata Ning Lutvi.
"Gimana Mas Ali. Sudah ketemu belum sama Calon makmumnya." Kata Bunda Wawa.
"Semua sudah pasti mikir ulang, saat di lamar oleh Mas Man Man." Kata Ning Shoffi pelan sambil cekikikan.
"Entahlah pilihannya yang kayak gimana." Ucap Bunda Ikah.
"Nanti kalau sudah saatnya pasti datang juga." Jawab Bunda Wawa. "Memang pilihan Mas Ali yang kayak gimana.?" Tanya Bunda Wawa kepada Mas Ali.
"Mungkin yang seperti anak Mbak Zilla, Lily." Ucap Gus Ali santai dan segera berdiri dari tempatnya duduk lantas beranjak meninggalkan mereka semua yang masih terbengong bengong dengan ucapan Gus Ali.
Bersambung...
####
Waduh kok Lily, bisa bisa pas jalan bareng Lily di kira Bapaknya dung Mas Ali.
Like, Coment dan Votenya di tunggu...
Love Love Love...
💖💖💖💖💖💖
By: Ariz kopi
@maydina862
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
uyiz & ruby
sllu trsenyum saat nda sm abi brmesraan
2021-07-17
1
༄👑💗e¢¢e ρтħš αямч💗👑࿐
next
2021-04-26
1
Bayangan Ilusi
ahahahahhw... jan Lily donk gus..
2021-04-25
1