Happy Reading...
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Kamar bernuansa putih bersih ini, di isi dengan kepulan kepulan asap rokok yang mengudara mencari celah untuk keluar lewat jendela yang tengah terbuka lebar. Dua orang pemuda itu masih asik dengan bedahan kitab Tafsir Jalalen di tangan masing masing, dengan di temani secangkir kopi dan rokok yang terselip di jari jari mereka.
Waktu itu seakan tidak akan pernah cukup, jika seorang alim tengah haus akan Ilmu. Selayaknya mereka berdua yang masih terus saja membaca, menulis dan berdiskusi, dan tak jarang pula sambil tertawa terbahak-bahak. Padahal jam sudah menunjukan pukul 23.00 dan sebagian besar penghuni Pesantren juga sudah lelap seusai dari kegiatan Deresan malam mereka. Kalaupun ada yang masih membuka mata mereka, tentu itu termasuk dari Santri yang Rajin.
Namun, di balik tembok pembatas itu, ada seorang gadis yang masih terjeda, dan mendengarkan kedua saudara yang tengah mencurahkan rindu dengan cara mereka itu dengan helaan nafas dalam sekaligus panjang. Hafiza, ya Hafiza yang masih terjaga dan mendengar sayup sayup suara yang sudah sekian tahun mengetarkan hatinya. Hingga suara itu menghilang seiring dengan di tutupnya jendela yang tidak jauh dari letak kamarnya.
Sementara di dalam ruangan itu, kedua pemuda itu masih bergadang tapi dengan memelankan suara mereka, hingga Bunda Ikah masuk menyuruh mereka untuk Istirahat.
"Sudah malam Mas, ayo lekaslah istirahat." Ujar Bunda Ikah, sambil menutup jendela, lantas menuju kemeja kedua pemuda itu.
"Sebentar lagi Nda, sudah mau selesai." Jawab Gus Ali dan Mas Naufal hampir bersamaan.
"Apa perlu Bunda carikan alasan untuk mengurangi bergadang kalian berdua." Jawab Bunda Ikah.
"Apa itu Nda.?" Tanya Mas Fikri dengan memalingkan kepalanya dari rangkuman kitab yang tengah di tulisnya.
"Istri." Jawab Bunda Ikah dengan santainya sambil mengelus punggung keduanya dengan lembut. Dan sontak karena perkataan Bunda Ikah, Gus Ali langsung meletakan Bolpoin yang di pegangnya dan segera membatasi kitab yang berada di depannya, begitupun dengan Mas Naufal, dan keduanya kompak memeluk tubuh kecil Malaikat mereka. "Terutama untuk Mas Fikri, sudah saatnya nikah, supaya Bude Rany di rumah ada temannya saat di tinggal bergadang disini." Lanjut Bunda Ikah.
"Kalau sudah punya Istri, Enggak mungkin berani bergadang lagi Nda, takut di Gemplang sama Istrinya. ha.ha.ha." Jawab Gus Ali dengan berdiri dan semakin mengeratkan pelukannya pada Bunda Ikah yang sekarang seperti menyusut di balik tubuh tinggi besar milik Gus Ali.
"Istri Sholehah, tidak akan seperti itu." Ucap Mas Fikri.
"Memang sudah di pastikan akan dapat Istri yang sholehah. Wong kita saja belum tentu cukup bekal untuk membimbing ke arah yang yang benar dengan bekal Ilmu yang kita punya." Jawab Gus Ali lagi.
"Sudah, sudah. Sudah malam ini, ayo lekas tidur sana." Tutur Bunda Ikah kepada kedua pemuda itu.
"Ayo, Bunda juga harus Istirahat, jaga kesehatan buat kami semua yang masih selalu menginginkan tangan ini menegadah mendo'akan kami semua tentunya." Ucap Gus Ali sambil mencium kedua telatak tangan Bunda Ikah bergantian.
Tangan Bunda Ikah berlahan terulur, mengarah ke pipi mulus milik Gus Ali dan membelainya pelan lantas beralih ke arah pipi milik Mas Naufal.
"Kalian cepat sekali tumbuh dewasa, seperti baru kemarin Bunda menidurkan kalian di ranjang kalian sendiri dan kalian menangis karena takut tidur hanya berdua." Ujar Bunda Ikah.
"Karena kami tumbuh dengan cinta makanya, tidaka terasa begitu cepat waktu berlalu." Jawab Mas Naufal.
Dengan memeluk erat tubub Bunda Ikah, Mas Ali mengajak Ibundanya keluar dari ruang Perpustakaan dan mengantarnya hingga sampai di depan kamarnya, sementara Mas Naufal sudah lebih dulu masuk ke kamar Gus Ali.
"Istirahat yang cukup Bunda." Kata Gus Ali seusai mencium kening Bunda Ikah, lantas membukakan pintu kamar Bunda Ikah dan dengan ulasan senyum tipis Bunda Ikah menutup pintu kamarnya. Setelah memastikan lampu di kamar Bunda Ikah mati, Gus Alipun bergegas berabalik menuju kamarnya.
Seperti itulah Gus Ali, dia yang jarang terlihat mau berbicara dengan seorang wanita, namun akan bersikap sangat manis jika sudah di hadapan Bundanya dan Mbak Afiqah. Mungkin juga karena sikapnya yang seperti itulah, Mbak Hafiza di buat tidak kuasa menolak perasaannya tumbuh semakin subur tanpa keinginannya.
Berada di dalam kamar bernuansa biru itu, dengan bufet kaca besar di sisi sudut kamar di samping jendela. Bufet itu berisi penuh dengan Kitab Kitab serta buku buku milik Gus Ali, dan Gus Ali baru saja hendak mendekat ke arah Bufet kaca itu, saat Mas Naufal yang tiba-tiba sudah bersuara dengan gaya khasnya.
"Sudah larut, sudah bergadangnya. Nanti, cepat di carikan Istri lho." Ucap Mas Naufal seraya melepas peci yang bertengger di atas kepalanya, lantas menaruhnya di nakas samping ranjang standart milik Gus Ali.
"Mas Fikri saja duluan." Jawab Gus Ali, dan mengurungkan niatnya yang sudah hendak membuka bufet kaca itu, dan berpindah haluan menuju kamar mandi.
Keluar dari kamar, Gus Ali melihat Mas Naufal yang masih memegangi benda pipih di tangannya dengan sedikit bersenandung syi'iran dari sebuha kitab yang terkenal dengan kata-kata cintanya kepada Robnya, dan itu biasa sekali aku dengar ketika Kang Santri sedang jatuh cinta, ataupun Mbak Santri yang sedang jatuh cinta.
"Lekas Istirahat Mas, jangan hanya di pandang saja. Matur sama Abi, sama Bunda, pasti di kasih ijin untuk Ta'aruf. Kalau perlu di khitbah sekalian." Ujar Gus Ali sambil menarik selimut yang masih tertata rapi di ujung ranjang, lantas Gus Alipun segera merabahkan dirinya di samping Mas Naufal.
"Siapa yang Dek Ali maksud." Tanya Mas Naufal dengan memiringkan tubuhnya dan ikut menyelimuti tubuhnya dengan selimut yang telah di buka melebar oleh Gus Ali.
"Al mar'ah ( Seorang wanita )." Kata Gus Ali singkat lalu membalikan tubuhnya membelakangi Mas Naufal. Dan di belakang Gus Ali, Mas Naufal hanya bisa mendengus kesal sambil berujar pelan.
"Enyah, enyahlah kamu. Aroma farfum semerbak mu tidak akan berguna untuk ku. Selamat malam, sudah baca do'a belum." Ucap Mas Naufal pelan, lantas sesudahnya tidak terdengar kata lagi yang keluar dari mereka berdua hingga suara deruan halus nafas keduanya bersahut sahutan, menandakan bahwa mereka telah berselancar ke alam indah yang tanpa batas yakni MIMPI.
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Usai mewakili ngaji subuh Abinya, Gus Ali kembali ke kamarnya dan disana sudah di temui Mas Naufal yang kemungkinan sudah dalam perjalanan pulang. Ahirnya Gus Alipun duduk di meja belajarnya dan membuka beberapa kitab untuk kembali mengulangi materi yang hendak di berikan nanti siang untuk mengantikan Gus Nayif yang hendak pergi hari ini, hingga beberapa hari ke depan.
Tidak butuh waktu lama bagi Gus Ali untuk menenggelamkan dirinya ke kitab di hadapannya, karena itu salah satu kelebihan Gus Ali adalah konsentrasinya saat membaca dan mengingat apa yang di baca atau di lihatnya, dan itu semua adalah turunan dari Abi juga Bundanya tentunya.
Setelah cukup lama menenggelamkan dirinya, ada hal yang mengusiknya. Yakni, bunyi sapu lidi yang bergerak seirama, dan itu membuat Gus Ali bergerak menuju ke jendela dan melonggak ke bawah untuk melihat siapa yang tengah menyapu di halaman belakang rumahnya tersebut.
Tampak dari kamar Gus Ali, dua orang santriwati yang tengah menyapu, yang satu senantiasa fokus dengan pekerjaanya sedang yang satunya sering celingak clinguk memperhatikan ke Asrama Putra. Gus Ali sentiasa memperhatikan kedua Santriwati tersebut hingga pekerjaan mereka usai.
Gus Ali hendak berbalik dari jendela, saat tiba-tiba mata bulat milik Mbak Santri yang sedari tadi menunduk itu di angkat dan bersitubruk dengan netra teduh milik Gus Ali untuk seperkian detik, dan nyatanya Mbak Santri tersebut memilih untuk kembali menunduk dan melangkah pergi dari tempatnya, begitupun dengan Gus Ali.
Gus Ali kembali duduk di tempatnya, sembari memikirkan satu dua hal, lantas berjalan pelan menuju ke bufet kaca di ujung kamarnya. Tangan Gus Ali sudah terulur hendak meraih laci di depannya, namun seperti ada sebuah keraguan saat tangannya sudah menyentuh handle dari laci tersebut, dan dengan helaan nafas dalam Gus Alipun ahirnya membuka laci tersebut.
Sebuah Geogle ( kaca mata renang ) berwarna biru muda terlihat disana, dan dengan sangat pelan Gus Ali meraihnya lalu membawa langkahnya kembali ke meja belajarnya. Dengan netranya yang tak sedetikpun meninggalkan kaca mata renang tersebut.
Sebuah kenangan yang terjadi lima tahun silam kembali mengusik hatinya di saat kaca mata renang itu berada di tangannya. Dimana waktu itu Gus Ali yang tengah di ajak ikut liburan keluarga Mbak Zilla ke sebuah water park di kota Jogja.
Mbak Zilla, ataupun orang lain tidak pernah tau jika Gus Ali fobia dengan air yang menggenang, bahkan Gus Ali akan terasa sangat sesak saat kakinya sudah menyentuh air yang kedalamannya di bawah lututnya. Tapi, karena rasa tanggung jawabnya terhadap Aby putra dari Mbak Zilla, dia rela menyeburkan dirinya di kolam renang anak itu demi menyelamatkan Aby saat hendak tenggelam.
Na'as, yang terjadi malah Gus Ali lah yang di selamatkan oleh orang lain. Karena, saat Gus Ali berhasil meraih tubuh kecil dari Aby dna berjalan membawanya kepinggir kolam, justru tubuhnya gemetaran hebat dan bayangan wajah Juju yang membiru memenuhi kepalanya lantas membuat dirinya tiba-tiba limbung tepat saat Aby sudah di raih oleh dr.Rama.
Dan Gus Ali terengah engah di dalam air dengan memorinya yang tengah berusaha berenang sekuat tenaga untuk menyelamatkan Juju. Antara sadar dan tidak sebuah tangan lembut seorang wanita menariknya keluar dari air, dan membawanya kembali ke pinggir kolam.
Tepukan pelan terus mendarat di pipi Gus Ali sampai dia mendapatkan kesadarannya, dan saat Gus Ali membuka matanya tampak kerumunan orang yang sedang mengitarinya dan seraut wajah tersenyum lega di sampingnya. Gadis kecil usia mungkin masih 15 tahunan dengan kostum renang sebuah sekolah SMP di Jogja, tersenyum lembut ke arahnya. Demi apapun Gus Ali tidak pernah bisa melupakan senyum gadis itu, senyum yang seolah mengejek sekaligus heran, karena seorang pria berusia 20 tahun tenggelam di kolam renang anak anak.
Nuril. Begitulah teman gadis itu memanggilnya dan dengan tergesa-gesa dia berdiri dan menjatuhkan kaca mata renangnya di samping tubuh Gus Ali. Dan kini kaca mata renang itu berada di tangannya dengan senyum gadis itu yang masih segar di ingatan Gus Ali.
Jika hati bisa di suruh untuk jatuh cinta kepada siapa, seharusnya Gus Ali memilih untuk jatuh cinta dengan Mbak Hafiza seperti Mas Naufal. Yang sudah jelas kepandaiannya, kearifannya, kebaikan ahlaqnya, juga sudah di kenalnya sedari dulu. Tapi, nyatanya hati Gus Ali masih mengingat senyum Nuril gadis misterius pemilik kaca mata renang di tangannya saat ini.
Bersambung...
####
Hemm, Nuril. Siapa kamu, semanis apa senyum mu, hingga membuat Cucu Emak masih mengingatnya meski sudah lima tahun berlalu...
Like, Coment dan Votenya masih di tunggu....
Love Love Love...
💖💖💖💖💖💖
By: Ariz kopi
@maydina862
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 78 Episodes
Comments
༄👑💗e¢¢e ρтħš αямч💗👑࿐
penasaran dengan jodohnya
2021-04-26
1
Bayangan Ilusi
Aakh... jadi pen cepet2 liat mereka ketemu😘
2021-04-25
1
Daffodil Koltim
Nuril? smoga engkaulah tulang rusuk gus ali!,,,,
2021-02-01
1